Minggu, 29 Mei 2011

IMAN KRISTEN VS KARMA

IMAN KRISTEN VS KARMA (Denny Teguh Sutandio)
IMAN KRISTEN VS KARMA

oleh: Denny Teguh Sutandio



Teman saya yang beragama Kristen dan non-Kristen pernah mengupdate statusnya di BlackBerry Messenger (BBM) dengan mengatakan bahwa ternyata karma itu ada. Apa itu karma? Dari mana konsep karma itu muncul? Bagaimana orang-orang “Kristen” zaman ini menafsirkan karma? Apa kata Alkitab tentang karma?


I. KARMA: ASAL USUL DAN AJARANNYA
Karma atau dalam bahasa Pali: kamma yang berasal dari India kuno ini berarti konsep “aksi” atau “perbuatan” yang dalam agama India dipahami sebagai sesuatu yang menyebabkan seluruh siklus kausalitas (yaitu, siklus yang disebut “samsara”). Konsep ini dijaga kelestariannya di filsafat Hindu, Jain, Sikh dan Buddhisme.[1] Di dalam Buddhisme, karma berarti “niat untuk melakukan perbuatan.”[2] Karma bisa melalui pikiran (perbuatan yang dilakukan dengan pikiran), ucapan (perbuatan yang dilakukan dengan ucapan), dan badan (perbuatan yang dilakukan dengan badan). Selanjutnya, dalam Buddhisme, hukum karma berarti hukum sebab akibat. Di dalam Samyutta Nikaya dinyatakan: “Sesuai dengan benih yang ditabur, demikian pulalah buah yang dituai. Mereka yang menanam kebajikan akan tumbuh kebahagiaan.”[3] Lalu, jika kita melihat kondisi dunia kita, bukankah bisa terjadi sebaliknya (yang baik malahan menderita, yang jahat malahan sukses)? Menanggapi hal demikian, Bhikkhu Utamo Thera dalam artikelnya Hukum Karma menjelaskan,
“Kalau hukum karma diumpamakan sebagai sebuah sawah yang mempunyai tanaman padi dan jagung, di mana tanaman padi dan jagung tersebut mempunyai usia panen yang berbeda, maka tanaman jagung tentu akan panen terlebih dahulu daripada tanaman padi. Demikian pula perbuatan baik dan buruk. Kalau kita sudah berbuat baik tetapi masih menderita, ini disebabkan karena perbuatan baik kita belum saatnya dituai/dipanen. Dalam hal ini kita memetik buah dari perbuatan buruk terlebih dahulu. Jadi semua itu ada waktunya, walaupun adakalanya masih bisa dipercepat sampai batas-batas tertentu.”[4]

Oleh karena itu, Bhikkhu Utamo Thera menggolongkan karma dari segi waktu, fungsi, dan bobot. Dari segi waktu, ada 4 kategori karma:[5]
a). Karma yang langsung berbuah
Misalnya kita mencuri helm milik orang lain, karena helm kita dicuri seseorang. Supaya tidak ketahuan, kita mengendarai sepeda motor dengan kecepatan tinggi walaupun lampu lalu lintas berwarna merah. Akhirnya kita ditangkap polisi. Terpaksa kita harus membayar tilang Rp 15.000, - (padahal harga sebuah helm hanya Rp 10.000,-). Ini adalah karma yang langsung berbuah.
b). Karma yang berbuah agak lama tetapi masih dalam satu kehidupan.
Misalnya orang yang melakukan meditasi hingga tingkat jhana yang tinggi sekali, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma.
c). Karma yang berbuah pada kehidupan-kehidupan yang berikutnya.
Misalnya orang yang sering mendengarkan Dhamma pasti akan terlahir di alam sorga dalam kehidupan-kehidupan yang berikutnya. Mengapa demikian? Dengan mendengarkan Dhamma berarti kita melatih dana perhatian. Pikiran, ucapan dan perbuatan kita terjaga dengan baik pada saat itu. Kita bisa mengerti dan melaksanakan Dhamma. Bahkan hal ini amat sesuai dengan salah satu sutta Sang Buddha, bahwa mendengarkan Dhamma pada saat yang tepat adalah berkah utama.
d). Karma yang tidak sempat berbuah karena kehabisan waktu atau kehilangan kesempatan untuk berbuah.
Sering ada orang yang mengatakan bahwa tercapainya Nibbana apabila karma baik dan buruk telah habis. Padahal karma itu tidak mungkin habis karena jumlahnya tidak terbatas. Tetapi karma bisa dipotong! Kita bisa merasakan karma apabila kita mempunyai badan dan batin, artinya kita dilahirkan. Kalau kita tidak dilahirkan kembali, kesempatan untuk merasakan karma baik dan buruk menjadi tidak ada. Akhirnya ada karma yang tidak sempat berbuah.

Dari segi fungsi, karma dibagi menjadi:[6]
a). Fungsi karma yang melahirkan
Misalnya: ada orang yang dilahirkan dalam kondisi mempunyai banyak penyakit. Kenapa terjadi demikian? Sesuai dengan benih yang ditanam, demikian pula buah yang dituainya; karena ada penyiksaan maka bisa terlahir sakit-sakitan.
b). Fungsi karma yang mendukung à mendukung fungsi karma yang melahirkan. Misalnya: selain terlahir di keluarga yang miskin, dia juga terlahir dalam keadaan cacat. Ini adalah karma yang mendukung.
c). Fungsi karma yang mengurangi à berhubungan dengan perbuatan kita saat ini. Misalnya: meskipun miskin dan cacat, orang tersebut mempunyai sila yang baik.
d). Fungsi karma yang memotong
Karena silanya baik, ucapannya baik, tingkah lakunya baik, maka ada orang yang simpati kepadanya. Orang tersebut diberi pekerjaan yang sesuai dengan keadaannya. Ini adalah karma yang memotong, artinya bertentangan dengan yang sedang terjadi. Karma juga berhubungan dengan perbuatan saat ini. Apa yang terjadi pada saat ini, itulah yang menentukan karma kita. Jadi karma bukanlah nasib! Karma masih bisa diperbaiki dan diubah dengan melihat fungsi karma karena karma adalah niat berbuat. Perbuatan itulah yang paling penting!

Menurut bobotnya, karma dibagi menjadi:[7]
a). Bobot karma super berat
Karma super berat yang baik misalnya; orang yang mencapai jhana, setelah meninggal langsung terlahir di alam brahma; atau memperoleh pañña yang berarti tercapainya Nibbana. Sedangkan super berat yang buruk ada 5 (lima) yaitu membunuh ayah, membunuh ibu, membunuh seorang Arahat, melukai Sammasambuddha, dan memecah belah Sangha. Apabila salah satunya dilakukan maka setelah meninggal orang tersebut langsung terlahir di alam neraka.
b). Karma yang muncul pada saat kematian
Di dalam pikiran akan terjadi satu seleksi pada saat proses kematian yaitu mengingat perbuatan yang pernah berkesan di dalam diri kita. Misalnya; sebelum meninggal, seseorang teringat bahwa dia sering mendengarkan Dhamma, sering bertemu bhikkhu-bhikkhu dan meninggal dalam keadaan bahagia maka orang tersebut akan terlahir di alam bahagia. Sebaliknya kalau kesannya tidak baik, orang tersebut dapat terlahir di alam menderita.
c). Kalau di dalam proses kematian itu tidak ada yang berkesan atau tidak sempat terpikir, misalnya karena meninggal dalam keadaan koma maka yang berbuah adalah kebiasaannya. Umpamanya orang yang mempunyai kebiasaan latah maka seandainya setelah meninggal terlahir menjadi manusia, dia akan menjadi orang yang suka humor.
d). Bobot yang super ringan atau kecil à apabila karma yang super berat, karma pada saat kematian, dan karma kebiasaan tidak muncul maka karma yang super ringan yang akan berbuah. Misalnya: pada suatu waktu kita melihat ada paku payung di jalan lalu kita singkirkan supaya tidak mencelakakan orang lain. Ini adalah bobot yang super ringan. Apabila bobot yang super ringan ini muncul pada saat kematian dan kita merasa bahagia karena bisa menolong orang lain maka kita akan terlahir di alam bahagia.

Dengan kata lain, konsep karma dapat disingkat dengan pernyataan berikut, “Hidup kita ditentukan oleh diri kita sendiri, bukan oleh suatu makhluk adikuasa.”[8] Di artikel yang sama, si penulis mengungkapkannya dengan jelas, “Sang Buddha menekankan bahwa kita lah yang menentukan hidup kita sendiri. Kita juga bisa seperti Buddha dan setara dengan Buddha untuk mencapai kebijaksanaan tertinggi atau penerangan sempurna dengan segenap usaha, semangat, ketekunan, dan pengetahuan sendiri. Kita dapat bertekad untuk mencapai ke Buddha an dengan segala apa yang kita miliki. Oleh sebab itu, berbahagialah kita karena kita pun bisa mencapai kesucian seperti guru junjungan kita. Hal yang sangat jarang dalam kepercayaan lain yang melemahkan posisi manusia yang telah jatuh ke dalam Lumpur Dosa dan hanya oleh kekuatan tetentu saja baru bisa keluar dari sana.”[9]

Lalu, apa akibat dari karma?
“Akibat dari karma buruk adalah tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan, dan binatang). Contoh karma buruk yang dapat menyebabkan seseorang terlahir di alam neraka antara lain: membunuh orangtua kandung, membunuh orang suci/ Arahat/Bodhisattva, dan melukai Buddha. Sedangkan akibat dari karma baik adalah tumimbal lahir di alam manusia atau surga. Sedangkan para Buddha, Arahat dan Bodhisattva yang sudah mencapai Pencerahan Sempurna memperoleh karma tidak bergerak, namun Bodhisattva yang karena welas-asihnya untuk menyeberangkan semua makhluk yang menderita dapat saja bertumimbal lahir lagi di alam manusia.”[10]

Bagaimana caranya kita mengetahui karma pada hidup manusia?
“Memang proses bekerjanya karma tidak dapat kita amati atau dibuktikan secara ilmiah, namun prinsip bahwa kita akan menuai sesuai dengan apa yang kita tanam itulah yang penting untuk kita renungkan. Proses bekerjanya karma hanyalah dapat dipahami sepenuhnya oleh seorang Buddha atau Yang Telah Tercerahkan. Untuk mengetahui karma dari kelahiran kita sebelumnya, maka renungkanlah berbagai kejadian baik berupa penderitaan [dukkha] ataupun kebahagiaan [sukkha] yang menimpa kita dalam kehidupan saat ini. Sehingga kita tidak tersudut ke dalam suatu kondisi di mana kita harus mencela orang lain sewaktu menderita ataupun terlalu menjunjung orang lain sewaktu kita berbahagia. Karma yang berbuah dalam kehidupan ini apakah menghasilkan kebahagiaan ataupun penderitaan haruslah kita syukuri sebagai makin berkurangnya timbunan karma kita sehingga makin terbukalah peluang untuk kita keluar dari arus kelahiran dan kematian. Namun demikian kitapun tidak perlu terjebak pada sikap pesimistik dengan menyalahkan kehidupan sebelumnya yang menciptakan karma buruk pada kehidupan saat ini karena Buddhisme tidak mengajarkan fatalisme yaitu suatu sikap yang menyalahkan segala sesuatu kejadian sebagai kodrat, takdir ataupun nasib. Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.”[11]





II. KONSEP “KRISTEN” BERKENAAN DENGAN KARMA
Berkenaan dengan karma, ternyata orang-orang di luar penganut agama Hindu dan Buddha pun terpengaruh oleh ajaran ini, tidak terkecuali beberapa (atau banyak?) orang “Kristen”. Demi kompromi dengan agama lain (dengan dalih “toleransi”), maka beberapa (atau banyak?) orang Kristen menyetujui tanpa berpikir kritis dengan konsep karma (bahkan yang mengkritisi konsep karma akan dicap “menghakimi”), bahkan ada yang menambahinya dengan konsep Alkitab tentang tabur tuai (Gal. 6:7). Apalagi beberapa hamba Tuhan/pemimpin gereja yang matre, hukum tabur tuai dipakai untuk mengeruk keuntungan dengan mengajar, “Berilah persembahan, maka Tuhan akan melipatgandakan 100x lipat.” Seolah-olah Tuhan bisa diperintah dan harus menaati apa yang manusia kehendaki.




III. TINJAUAN KRITIS IMAN KRISTEN TERHADAP KONSEP KARMA
A. Presuposisi Karma: Konsep Tuhan yang Tak Berpribadi
Sebelum membahas tinjauan iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab menyoroti konsep karma, maka kita akan mencoba berpikir kritis dan logis tentang karma. Kalau kita perhatikan kembali asal mula konsep karma, maka sangat jelas bahwa karma lahir dari Hinduisme yang nantinya mempengaruhi Buddhisme. Di dalam Hinduisme dipercaya, “Tuhan (Hyang Widhi), yang bersifat Maha Ada, juga berada di setiap makhluk hidup, di dalam maupun di luar dunia (imanen dan transenden). Tuhan (Hyang Widhi) meresap di segala tempat dan ada di mana-mana (Wyapi Wyapaka), serta tidak berubah dan kekal abadi (Nirwikara)… Tuhan yang Tunggal (Esa) itu dipanggilnya dengan banyak nama sesuai dengan fungsinya. Ia dipanggil Brahma sebagai pencipta, Wisnu sebagai pemelihara dan Ciwa sebagai pelebur/pemralina. Banyak lagi panggilannya yang lain.”[12] Sedangkan di dalam Buddhisme dipercaya, “Yang Mutlak (Tuhan) dalam agama Buddha tidaklah dipandang sebagai sesuatu pribadi (punggala adhitthâna), yang kepada-Nya umat Buddha memanjatkan doa dan menggantungkan hidupnya. Agama Buddha mengajarkan bahwa nasib, penderitaan dan keberuntungan manusia adalah hasil dari perbuatannya sendiri di masa lampau, sesuai dengan hukum kamma yang merupakan satu aspek Dhamma.”[13] Kedua agama ini TIDAK mempercayai Allah yang berpribadi, sehingga tidak heran, penganut kedua agama ini mempercayai bahwa tujuan akhir hidup manusia bukan di tangan Tuhan, tetapi di tangan manusia sendiri. Sebelum kita mengaitkan konsep Tuhan mereka dengan konsep karma, maka ada baiknya kita membahas tentang konsep Tuhan mereka terlebih dahulu.

Kedua agama ini TIDAK mempercayai konsep Tuhan yang berpribadi, maka tentunya mereka hanya mempercayai bahwa Tuhan itu roh. Dan mereka percaya bahwa Tuhan yang adalah roh itu berada di mana-mana dan tidak bisa dilihat dan didengar (konsep Hinduisme). Pertanyaan saya selanjutnya:
Pertama, jika Tuhan itu berwujud roh saja yang tidak bisa dilihat dan didengar, dari mana Hinduisme bisa muncul? Bukankah Hinduisme percaya bahwa Tuhan itu hanya roh yang tidak bisa didengar dan dilihat?
Kedua, jika Tuhan hanya berwujud roh, bagaimana mungkin Buddhisme mengajarkan bahwa Tuhan itu, “Yang Mutlak, Yang Tertinggi, Yang Maha Suci, dan akhir tujuan semua mahluk.”[14] Coba pikirkan: Pertama, Jika Tuhan diklaim Yang Mutlak, dengan dasar apa kita mengetahuinya (problema epistemologi), padahal Tuhan dalam agama ini diklaim tidak bisa dideskripsikan (agama Buddha memandang Yang Mutlak dalam aspek nafi (meniadakan segala sesuatu yang dapat dipikirkan)[15])? Apa bedanya Tuhan dengan setan yang sama-sama roh yang juga tidak bisa dideskripsikan? Jika mereka menjawab, dari perbuatannya, pertanyaan saya selanjutnya adalah bagaimana kita dapat membedakan bahwa kalau dari Tuhan itu benar, sedangkan dari setan itu salah? Kalau mereka menjawab, hati nurani, saya bertanya lagi, apakah hati nurani menjamin suatu tindakan itu benar atau salah? Bukankah hati nurani juga bisa dipengaruhi oleh tradisi dan kebudayaan tertentu? Di sini, mereka akan mengalami kebuntuan cara berpikir. Kedua, jika Tuhan diklaim sebagai akhir tujuan semua manusia, sedangkan manusia sendiri berpribadi, mungkinkah Tuhan itu tak berwujud pribadi? Jika mereka menjawab bahwa Tuhan tidak menciptakan manusia, melainkan ada dengan sendirinya melalui hukum alam, mereka PASTI berhadapan dengan kebuntuan cara berpikir: mungkinkah dari sebuah hukum yang mati dapat menghasilkan manusia yang berpribadi? Logika sederhananya adalah mungkinkah dari sebuah hukum gravitasi yang MATI dapat menghasilkan benda atau bahkan manusia?


B. Kaitan Konsep Tuhan Tak Berpribadi Dengan Karma
Selanjutnya, konsep Tuhan mereka jika dikaitkan dengan karma akan semakin terlihat kacau. Hukum karma mengajarkan bahwa hidup manusia itu ditentukan oleh manusia itu sendiri. Pertanyaannya adalah jika mereka benar-benar mempercayai Tuhan itu ada dan Mahakuasa, pertanyaan saya adalah mengapa Tuhan tersebut tidak memelihara hidup manusia malahan manusia yang harus mengontrol hidupnya sendiri? Bukankah “Tuhan” yang demikian adalah Tuhan yang tak berkuasa, meskipun mereka mengakui bahwa Tuhan itu Mahakuasa? Konsep ini mirip seperti konsep dalam Kekristenan arus theologi Arminian yang mengajarkan bahwa keselamatan bisa hilang. Jika keselamatan yang katanya dari Allah itu bisa hilang, sungguh mengasihankan Allah seperti ini karena tak mampu memelihara apa yang telah dikerjakan-Nya sejak awal.


C. Kelemahan Konsep Karma
Sekarang, kita akan menyoroti secara spesifik tentang hukum karma itu sendiri. Hukum karma mengajarkan bahwa jika seseorang di kehidupan sekarang berbuat baik, maka di kehidupan akan datang ia akan menjadi manusia, sedangkan jika tidak, maka di kehidupan akan datang, ia akan menjadi binatang atau makhluk lain yang rendah. Atau hukum karma mengajarkan hal lain: apa yang kita tabur di kehidupan sekarang akan kita tuai di kehidupan selanjutnya. Misalnya, kalau kita mengalah, maka kita akan menuai keuntungan. Ada juga karma yang tidak langsung terjadi demikian, namun menunggu waktu (baca pembagian karma dari segi waktu di atas). Akibat konsep ini, maka sebuah website Buddhis mengatakan bahwa jika di kehidupan saat ini seseorang itu tampan/cantik, maka itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu telah berbuat baik, sebaliknya jika di kehidupan saat ini orang itu jelek, itu karena di kehidupan sebelumnya, orang itu berbuat jahat.

Mari kita analisa:
Pertama, kaburnya konsep tentang karma. Karma mengajarkan sebab akibat, X mengakibatkan Y, Y disebabkan X, dst, pertanyaan saya adalah siapa/apakah yang menjadi penyebab utama (penggerak yang tidak digerakkan/unmoved mover)? Jika mereka berkata, hukum alam, pertanyaan berikutnya, bukankah hukum alam itu sesuatu yang mati? Mungkinkah dari yang mati mengakibatkan yang hidup? Setelah itu, sebab akibat pasti memiliki akhir yang tidak bisa menyebabkan hal lain, maka siapa/apakah yang menjadi akibat terakhir?

Kedua, kaburnya standar dan kriteria klasifikasi karma. Di atas disebutkan bahwa ada karma baik dan buruk, maka pertanyaan saya, dengan standar apa mengukur baik dan buruk tersebut? Kedua, apakah kriteria menyebut tindakan membunuh sebagai karma buruk? Membunuh semua makhluk hidup, termasuk binatang adalah sesuatu yang buruk? Mari kita pikirkan secara logis. Jika membunuh nyamuk itu suatu dosa, maka logikanya adalah biarkan nyamuk itu menggigit manusia dan mengakibatkan manusia itu mengidap penyakit. Jika nyamuk itu nyamuk yang mengakibatkan penyakit demam berdarah atau penyakit berbahaya lainnya, maka membiarkan untuk TIDAK membunuh nyamuk justru mengakibatkan manusia sakit dan meninggal. Jika satu manusia dibiarkan digigit nyamuk, maka otomatis manusia lain juga demikian, akibatnya banyak manusia akan meninggal karena digigit nyamuk yang menurut iman Buddhisme tidak boleh dibunuh. Bukankah akibat ini tidak sesuai dengan pernyataan Buddhisme sendiri, “Biarlah semua makhluk berbahagia”?

Ketiga, kaburnya akibat karma. Di atas dijelaskan bahwa akibat karma buruk adalah “tumimbal lahir di tiga alam penderitaan (neraka, hantu kelaparan, dan binatang).” Menanggapi hal ini, saya mengajukan beberapa pertanyaan: Pertama, dari mana seorang Buddhis mengetahui bahwa ada tiga alam penderitaan? Lebih tajam lagi, dari mana muncul 3 alam penderitaan tersebut? Ada dengan sendirinya? Atau hukum alam (MATI) yang menciptakannya? Kedua, ada alam hantu kelaparan. Bagi saya, ini adalah suatu kekontradiksian nama. Hantu adalah sesuatu yang bersifat roh yang tidak bisa didengar dan dilihat, maka masa mungkin ada roh yang kelaparan? Kalau yang kelaparan itu pasti adalah sesuatu yang berpribadi seperti manusia.

Keempat, kaburnya proses kerja karma. Di atas sudah disebutkan bahwa proses bekerjanya karma itu tidak dapat dibuktikan secara ilmiah, berarti di titik pertama, konsep ini sudah tidak logis. Selanjutnya, proses kerja karma dapat diketahui tatkala kita merenungkan penderitaan dan kebahagiaan pada saat ini (dan tentunya mengaitkannya dengan kehidupan masa lalu), akibatnya kita tidak mudah menghina orang lain yang menderita atau menyanjung mereka yang berbahagia. Akibat ini di satu sisi ada baiknya, karena akibat ini membukakan kepada kita tentang realitas hidup di dunia (penderitaan dan kesukaan), namun juga ada salahnya. Kalau kita tidak menghina orang lain yang susah atau memuji orang lain yang berbahagia, berarti kita berada di dalam kondisi cuek atau tidak peduli.[16]
Selanjutnya, dikatakan bahwa konsep karma ini tidak mengakibatkan manusia menjadi pesimistis, karena, “Buddhisme mengajarkan suatu tuntunan buat kita untuk melihat kehidupan saat ini sebagai alam kehidupan yang memungkinkan manusia untuk berlatih diri keluar dari lingkaran kehidupan dan kematian.” Sebenarnya penjelasan ini TIDAK menjawab apa pun, mengapa? Karena: Pertama, konsep karma memang mengakibatkan manusia menjadi pesimistis dan percaya pada adanya karma atau takdir yang sudah ditentukan oleh hukum alam. Kedua, meskipun mereka menolak karma mengakibatkan manusia menjadi pesimistis dan percaya pada takdir, mau tidak mau mereka pasti menghadapi fakta bahwa ajaran karma mengakibatkan mereka menjadi egois (manusia harus berjuang sendiri tanpa perlu memikirkan orang lain). Dan keegoisan ini mengakibatkan seorang Buddhis tidak akan menolong orang lain yang kesusahan. Karena tidak ditolong, maka secara otomatis orang yang kesusahan ini akan meratapi “nasib”nya dan tentunya menjadi seorang pesimistis.[17] Jika ada orang Buddhis menolong orang lain yang kesusahan, dengan dasar apa mereka melakukannya? Welas asih? Bukankah mereka mengatakan bahwa setiap orang memiliki karmanya sendiri? Apa kaitan welas asih dengan karma? Keegoisan itu sendiri berkontradiksi dengan 2 ajaran Buddhisme: kehendak yang benar (belas kasihan) dan “semoga semua makhluk berbahagia”.


D. Iman Kristen Menyoroti Karma: Kedaulatan Allah dan Dosa Vs Karma
Iman Kristen yang sesuai dengan Alkitab TIDAK mengenal konsep karma. Mengapa? Karena iman Kristen dengan jelas dan logis mempercayai bahwa Allah itu adalah Allah yang berpribadi (sekaligus roh) yang menciptakan alam semesta ini, memeliharanya, dan kelak akan menyempurnakannya. Allah yang berpribadi ini adalah Allah Trinitas yaitu 3 pribadi Allah di dalam 1 esensi Allah. Lebih rasional untuk mempercayai bahwa ada Pencipta alam semesta ini ketimbang mempercayai bahwa alam semesta ini jadi dengan sendirinya atau adanya hukum alam, mengapa? Karena jika alam semesta ini jadi dengan sendirinya atau segala sesuatu bergantung pada hukum alam, berarti alam semesta ini tetap mati dan dari mana kita bisa memiliki standar etika/moralitas? Apakah logis mempercayai dari sebuah hukum alam yang MATI keluarlah sebuah standar etika/moralitas? Allah yang berpribadi yang mencipta alam semesta ini juga menciptakan manusia pada hari keenam sesuai dengan gambar dan rupa-Nya, sehingga manusia dalam beberapa hal mirip Allah dengan menyandang atribut-atribut-Nya yang bisa dikomunikasikan, seperti: kebenaran, keadilan, kejujuran, dll, meskipun tidak bisa 100% sempurna seperti Allah. Karena manusia diciptakan oleh Allah, maka sudah seharusnya, manusia hidup oleh dan untuk Dia saja. Setelah mencipta, Allah tidak meninggalkan ciptaan-Nya, namun memelihara ciptaan-Nya (termasuk manusia), sehingga segala sesuatu terjadi di alam semesta terjadi di dalam kehendak-Nya yang berdaulat. Lebih logis mempercayai adanya pemeliharaan Allah di dalam alam semesta daripada percaya bahwa alam semesta ini HANYA diatur oleh hukum alam, mengapa? Karena jika alam ini diatur HANYA oleh hukum alam, bagaimana mungkin jarak antara matahari dengan bumi bisa tetap? Apakah hukum alam bisa mengatur jarak antara bumi dan matahari dengan sendirinya? Jika bisa, dengan cara bagaimanakah hukum alam melakukannya? Kembali, Allah yang mencipta dan memelihara manusia juga adalah Allah yang menetapkan, “manusia ditetapkan untuk mati hanya satu kali saja, dan sesudah itu dihakimi,” (Ibr. 9:27) Jika Pencipta manusia telah menetapkan bahwa manusia itu mati satu kali dan setelah itu dihakimi, hak apa manusia berani memberontak lalu mengajar bahwa manusia bisa hidup reinkarnasi di dunia akan datang?

Manusia yang telah dicipta Allah ini karena tidak taat pada perintah Allah, maka mereka jatuh ke dalam dosa. Semua orang tanpa percaya kepada Allah Trinitas atau Alkitab pun PASTI mempercayai bahwa semua manusia itu telah berdosa. Jika manusia berdosa, maka secara logis pun manusia itu tidak bisa berbuat baik dengan sendirinya, karena perbuatan baik yang dikerjakannya pun telah dirusak dosa. Tidak usah jauh-jauh, mari kita perhatikan tingkah laku anak kecil. Coba ajari anak kecil untuk berkata benar/jujur atau memberi kepada temannya, lalu bandingkan dengan anak kecil lain yang diajar untuk berkata dusta, manakah yang lebih cepat untuk ditiru oleh anak kecil? Meskipun lingkungan mempengaruhi, namun pengaruh lingkungan seharusnya bisa dinetralisir oleh pendidikan keluarga, namun fakta yang terjadi adalah anak kecil lebih mudah untuk meniru yang salah ketimbang yang benar. Jika fakta dosa manusia terjadi demikian rusaknya, masihkah manusia membanggakan diri untuk berpikir, bertindak, dll yang benar?

Dosa manusia mengakibatkan manusia harus mengalami kematian (maut). Dosa manusia tidak mungkin bisa diselesaikan dengan cara manusia, karena jika bisa diselesaikan dengan cara manusia berbuat baik, maka perbuatan baik itu pun sudah tidak baik, karena tujuan akhirnya bukan untuk kebaikan, namun untuk menyelesaikan dosa. Kedua, perbuatan baik seperti apa yang bisa menyelesaikan dosa? Apakah karena seorang narapidana telah berbuat baik selama di penjara, maka ia bisa dibebaskan dengan mudahnya? Berpikirlah logis. Karena tidak bisa diselesaikan dengan cara manusia, maka Allah yang pertama kali berinisiatif menyelamatkan manusia berdosa dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa umat-Nya. Karya Kristus disalib adalah karya yang mendamaikan Allah yang Mahakudus dengan manusia yang berdosa, sehingga melalui karya-Nya, kita dapat masuk ke dalam Kerajaan Sorga.

Karena kita telah diciptakan oleh Allah dan umat-Nya telah ditebus oleh-Nya, maka umat-Nya dipimpin oleh Roh-Nya untuk hidup bagi Allah. Hidup bagi-Nya berarti hidup yang bersandar mutlak pada pemeliharaan-Nya dalam hidup kita. Itulah namanya beriman. Apakah doktrin/ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya mengakibatkan kita menjadi malas karena kita berpikir bahwa segala sesuatu sudah ditentukan oleh Allah? TIDAK! Ajaran pemeliharaan dan kedaulatan-Nya justru menguatkan kita tatkala harus menghadapi penderitaan dan kesusahan hidup sekaligus mendorong kita bangkit dari keterpurukan kita. Iman Kristen khususnya dalam perspektif theologi Reformed yang mempercayai kedaulatan Allah atas segala sesuatu TIDAK mengajarkan fatalisme atau takdir-isme dan menjadikan orang-orang Kristen khususnya Reformed menjadi malas atau terima nasib! Justru, iman Reformed yang mengajarkan kedaulatan Allah, juga mengajarkan tanggung jawab sebagai respons manusia terhadap kedaulatan-Nya, sehingga tidak heran, di mana iman Reformed diajarkan dengan ketat, di situ kita melihat sumbangsih besar yang dihasilkan dari para penganutnya yang bekerja keras demi kemuliaan-Nya. Sedangkan mereka yang menganut konsep takdir mengakibatkan hampir tidak ada sumbangsih signifikan yang dihasilkan, karena mereka sudah diindoktrinasi bahwa hidup mereka entah miskin atau kaya sudah ditetapkan Tuhan atau sudah ada karmanya.


E. Iman Kristen Menyoroti Karma: Hukum Allah Vs Karma
Jika iman Kristen menolak hukum karma, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang diajarkan baik dalam Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru? Apa beda hukum tabur tuai dengan hukum karma?

Perlu ditegaskan kembali bahwa hukum karma adalah sebuah hukum yang mati yang tidak memiliki kuasa apa pun. Kalau pun kita tidak mempercayai bahkan menolak hukum ini, kita tidak akan meninggal. Mengutip Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M.,
“karma bukanlah ketentuan moral. Ia adalah sistem pembalasan saja; ia tidak memiliki muatan yang memberi tahu kita apa yang harus dilakukan. Ia adalah pelaksanaan, bukan hukum moral; ia adalah sistem hukuman tanpa badan pembuat undang-undang. Ia tidak personal, hukum moral tentang hubungan tindakan/konsekuensi.”[18]
Dari penjelasan di atas, kita semakin mengerti bahwa hukum karma sebenarnya adalah sebuah hukum tanpa ada pemberi hukum (seperti tempat pengadilan tanpa seorang hakim atau sebuah hukum negara tanpa adanya pembuat dan penegak hukum), tidak personal/berpribadi, dan lagi tidak berisi hal-hal apa saja yang harus manusia lakukan. Berarti dengan sendiri, hukum karma itu adalah sebuah hukum yang mati tanpa ada sumbernya. Jika demikian, mengapa manusia harus percaya adanya hukum karma? Bisakah Anda membayangkan jika seorang hakim mendakwa seorang narapidana dengan hukum yang tak ada pembuatnya? Atau logiskah jika seorang menteri mengeluarkan sebuah keputusan/peraturan yang tak ada pembuatnya? Jika hukum negara Indonesia bisa ada dengan sendirinya, justru kita tidak akan mempercayainya, karena itu suatu hal yang tidak logis.

Lalu, bagaimana halnya dengan Alkitab yang mengajarkan prinsip yang mirip seperti hukum karma? Misalnya: “"Jika engkau baik-baik mendengarkan suara TUHAN, Allahmu, dan melakukan dengan setia segala perintah-Nya yang kusampaikan kepadamu pada hari ini, maka TUHAN, Allahmu, akan mengangkat engkau di atas segala bangsa di bumi. Segala berkat ini akan datang kepadamu dan menjadi bagianmu, jika engkau mendengarkan suara TUHAN, Allahmu:” (Ul. 28:1-2) Bukankah konsepnya adalah kalau kita taat pada Tuhan, maka Tuhan akan memberkati? Bagaimana pula dengan Galatia 6:7b, “…Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”? Kalau kita memperhatikan seluruh prinsip Alkitab, maka kita dapat melihat bahwa hukum dari Allah yang berpribadi ini berbeda total dengan hukum karma. Allah yang berpribadi memberikan hukum-hukum-Nya termasuk Dasa Titah (Kel. 20:1-17) dan perintah-perintah Tuhan Yesus sebagai peraturan dan dasar etika bagi umat-Nya. Hukum-hukum-Nya ini meskipun merupakan hukum yang mati, namun hukum-hukum ini tetap menandakan ada Pembuat hukum yaitu Allah sendiri, sehingga standar etika dan hukuman menjadi jelas. Hukum Allah yang sama juga berlaku dan ditegaskan kembali di dalam Perjanjian Baru. Pertama-tama, Kristus sendiri mengajar umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya. Di dalam Matius 7:12 yang terkenal dengan The Golden Rule, Kristus berfirman, “Segala sesuatu yang kamu kehendaki supaya orang perbuat kepadamu, perbuatlah demikian juga kepada mereka.” Setelah mengajar seorang ahli Taurat untuk mengasihi Allah, maka Ia berfirman, “Kasihilah sesamamu manusia seperti dirimu sendiri.” (Mat. 22:39) Itu adalah hukum terutama dan kedua dalam hukum Taurat. Di dalam Roma 12:7-21, Rasul Paulus mengajarkan kita prinsip pelayanan yang berlandaskan kasih Allah. Di dalam Galatia 6:1, Paulus juga menasihati jemaat Galatia untuk menasihati sesama jemaat yang melakukan pelanggaran sambil tetap menjaga diri. Itu semua menunjukkan bahwa Kekristenan mengenal hukum Allah yang bersumber dari Allah sendiri. Hukum tersebut adalah hukum kasih.

Meskipun dituntut untuk menaati hukum Allah, kita tidak bisa melakukannya dengan kemampuan kita sendiri, sehingga mutlak diperlukannya anugerah Allah yang memampukan kita sebagai umat-Nya untuk menaati hukum-hukum Allah. Setelah mengajar jemaat Filipi untuk mengerjakan keselamatan mereka, maka Rasul Paulus mengingatkan mereka, “Allahlah yang mengerjakan di dalam kamu baik kemauan maupun pekerjaan menurut kerelaan-Nya.” (Flp. 2:13) Dengan kata lain, kemauan untuk umat-Nya untuk berbuat baik demi kemuliaan-Nya pun dapat terjadi tatkala Allah yang berinisiatif terlebih dahulu mendorong/memimpin umat-Nya, sehingga tidak ada jasa baik manusia yang patut dibanggakan tatkala harus berbuat baik. Perbuatan baik umat Tuhan merupakan respons terhadap anugerah Allah di dalam penebusan oleh karya Kristus, sehingga perbuatan baik SEJATI dilakukan bukan demi mendapatkan sesuatu (kehidupan yang lebih baik, keselamatan, dll), tetapi karena sudah mendapatkan sesuatu. Inilah bedanya agama yang berpusat pada anugerah Allah vs agama yang berpusat pada kehebatan diri manusia berdosa.

Pertanyaan selanjutnya, bagaimana dengan hukum tabur tuai yang mengatakan bahwa kalau kita taat kepada Tuhan pasti diberkati, sedangkan kalau tidak taat kepada Tuhan pasti sengsara? Perjanjian Lama di Ulangan 28 dan 29 mengajar hal demikian, namun perlu diingat, itu hanya sepenggal ajaran Alkitab. Alkitab TIDAK berisi hanya Ulangan 28 dan 29, namun dari Kejadian s/d Wahyu, sehingga alangkah berbijaksananya jika kita memperhatikan keseluruhan pengajaran Alkitab secara komprehensif. Mazmur 73 merupakan bagian Alkitab yang mencerahkan kita bahwa justru anak-anak Tuhan hidup sengsara, sedangkan mereka yang tidak mengenal Allah hidup senang, namun penampakan senang pada hidup orang yang tak mengenal Allah itu sebenarnya merupakan tindakan Allah yang membiarkan mereka kelak untuk hancur dan binasa (ay. 18-19). Di dalam Perjanjian Baru, Tuhan Yesus yang taat kepada apa yang Bapa perintahkan pun BUKANlah seorang yang kaya secara jasmani, bahkan Ia pernah mengatakan kepada seorang yang berseru hendak mengikut-Nya, “Serigala mempunyai liang dan burung mempunyai sarang, tetapi Anak Manusia tidak mempunyai tempat untuk meletakkan kepala-Nya.” (Mat. 8:20) Rasul Paulus yang taat dan setia kepada Tuhan pun harus mengalami penderitaan yang berat (2Kor. 11:24-27) bahkan mengalami penyakit yang tidak disembuhkan Tuhan (2Kor. 12:7-9). Begitu juga dengan para rasul lainnya, seperti Petrus yang menurut tradisi disalib terbalik. Kesemuanya ini mengajarkan kepada kita bahwa mengikut Kristus TIDAKlah mudah (Mat. 16:24). Namun demikian, Ia menjanjikan hidup yang berkelimpahan kepada mereka yang hidup di dalam dan bagi Kristus (Yoh. 10:10b). Hidup yang berkelimpahan TIDAK boleh ditafsirkan berkelimpahan secara materi, karena konteksnya TIDAK menunjukkan hal tersebut. Hidup berkelimpahan berarti hidup yang terus-menerus berlimpah-limpah akan pengertian iman dan anugerah Allah, sehingga umat-Nya dimampukan untuk tetap teguh dan kuat di tengah penderitaan yang mengancam hidup mereka. Dengan kata lain, meskipun harus menderita aniaya karena nama Kristus, kita dimampukan untuk berkata seperti Paulus berkata, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm. 8:18) Jaminan dan janji Allah yang luar biasa ini TIDAK akan mungkin bisa dijumpai di agama, filsafat, kebudayaan, tradisi, sains, dll apa saja, karena jaminan dan janji Allah ini hanya diberikan oleh Allah yang berpribadi (sekaligus roh) kepada umat-Nya di dalam Kristus.

Bagaimana pula dengan hukum tabur tuai menurut konsep Paulus di Galatia 6:7b, “Karena apa yang ditabur orang, itu juga yang akan dituainya.”? Ayat ini sering ditafsirkan bahwa kita harus berbuat baik, supaya nantinya juga menuai yang baik juga. Benarkah tafsiran ini? Di dalam menafsirkan Alkitab yang bertanggung jawab, satu ayat TIDAK bisa dilepaskan begitu saja dari konteksnya, maka mengerti ayat 7b TIDAK bisa dilepaskan dari ayat 8 yang menjelaskannya, “Sebab barangsiapa menabur dalam dagingnya, ia akan menuai kebinasaan dari dagingnya, tetapi barangsiapa menabur dalam Roh, ia akan menuai hidup yang kekal dari Roh itu.” Dengan kata lain, konteksnya jelas yaitu perbedaan hidup oleh Roh vs hidup oleh daging (bdk. Gal. 5:16-26). Umat pilihan-Nya dipimpin oleh Roh Kudus untuk hidup oleh Roh, sehingga hasil akhirnya adalah hidup kekal, sedangkan mereka yang tidak dipilih hidup oleh daging dan tentunya hasil akhirnya adalah kebinasaan.




IV. KESIMPULAN DAN TANTANGAN
Hukum karma adalah sebuah hukum yang ditegakkan oleh manusia yang tentunya memiliki problematika dan kelemahan, sehingga adalah berbijaksana bagi kita sebagai manusia untuk tidak memusatkan hidupnya pada sebuah hukum mati yang tak ada pembuatnya, lalu kembali kepada Tuhan Allah yang berpribadi yang menciptakan hukum-hukum-Nya sebagai standar etika yang jelas dan mutlak bagi manusia. Saat ini, jika Anda masih mempercayai hukum karma, saya menantang Anda untuk memikirkan kembali konsep karma yang Anda pegang: bisakah konsep karma dihidupi secara logis dan praktis di dalam kehidupan sehari-hari? Bagi Anda yang sudah Kristen, namun masih suka “jajan” konsep dari agama lain, saat ini bertobatlah dan kembali kepada Kristus dan Alkitab!

Akhir kata, adalah berbijaksananya jika kita mendengar dan menaati apa yang Rasul Paulus katakan kepada jemaat di Tesalonika, “Ujilah segala sesuatu dan peganglah yang baik.” (1Tes. 5:21) Amin. Soli Deo Gloria.
Catatan Kaki:
[1] http://id.wikipedia.org/wiki/Karma
[2] Yang Mulia Bhikkhu Uttamo Thera, Hukum Karma, seperti dikutip dalam http://www.artikelbuddhis.com/hukum-karma.html
[3] Ibid.
[4] Ibid.
[5] Ibid.
[6] Ibid.
[7] Ibid.
[8] http://kmbui.net/index.php?option=com_content&task=view&id=62&Itemid=34
[9] Ibid.
[10] http://www.nshi.org/Buddhisme/Indonesia%20Buddhisme/Hukum-Karma.htm
[11] http://alietan.com/buddhism/?p=3
[12] Anak Agung Gde Oka Netra, Pokok-pokok Keimanan Agama Hindu (1), dikutip dalam: http://www.parisada.org/index.php?option=com_content&task=view&id=481&Itemid=96
[13] http://www.artikelbuddhis.com/hakekat-agama-buddha-bag-1.html
[14] Ibid.
[15] Ibid.
[16] Prof. Norman L. Geisler, Ph.D. dan Ronald M. Brooks, Th.M. dalam bukunya Ketika Alkitab Dipertanyakan (2006) menjelaskan sikap tidak peduli dari penganut konsep karma, “Ketika Buddha Gautama meninggalkan lingkungan aman di rumah dan menemukan kejahatan dan penderitaan yang ada dalam dunia, ia harus menghadapi konflik moral antara mengizinkan Hukum Karma untuk dijalani atau melakukan perbuatan baik yang bersangkut paut dengannya. Kesimpulannya adalah bahwa seseorang harus bersikap acuh tak acuh. Orang harus kehilangan perhatiannya terhadap orang lain, dengan menyadari bahwa: (1) tidak ada perbedaan riil antara kebaikan dan kejahatan dan (2) segala sesuatu ada sebagaimana seharusnya. Sebab itu, entah seseorang menolong penderitaan itu atau mengabaikannya, ia harus melakukan hal itu dengan sikap tidak peduli sepenuhnya – seolah-olah melakukan satu tindakan sama dengan melakukan tindakan satunya. Apa pun jalan yang Anda ambil, itu akan dipandu oleh takdir. Tidak masalah apa yang Anda lakukan, selama Anda tidak peduli mana yang benar atau yang salah.” (hlm. 289)
[17] Pertanyaan lebih lanjut, perlukah kita terus-menerus membantu orang yang berkekurangan? TIDAK PERLU! Karena kalau kita membantu mereka secara material terus-menerus, mereka akan menjadi malas bekerja dan terus menadah bantuan kita saja. Namun bukan berarti kita tidak usah membantu orang yang berkekurangan. Lalu, bagaimana caranya? Dalam beberapa hal, kita perlu membantu mereka yang berkekurangan, namun sambil membantu secara material, kita sambil membantu mereka dengan menciptakan lapangan pekerjaan, sehingga mereka bisa bekerja dan tidak terus-menerus mengharapkan bantuan material dari kita saja.
[18] Norman L. Geisler dan Ron Brooks, Ketika Alkitab Dipertanyakan, terj. Jhony The (Yogyakarta: Yayasan ANDI), hlm. 286-287.
Posted by Denny Teguh Sutandio at 7:51 PM 2 comments
Labels: Alkitab Vs Agama/Kebudayaan/Filsafat
06 November 2010
KRISTEN MISTIK: Tinjauan Kritis dan Tantangan (Denny Teguh Sutandio)
KRISTEN MISTIK:
Tinjauan Kritis dan Tantangan

oleh: Denny Teguh Sutandio



PENDAHULUAN
Di abad modernisme, khususnya abad Pencerahan, manusia lebih menekankan fungsi rasio, sehingga apa pun yang tidak sesuai dengan rasio dianggap bukan kebenaran sejati. Matinya modernisme ditandai dengan Perang Dunia 1 dan 2. Namun sayangnya, matinya modernisme TIDAK menyadarkan manusia kembali kepada Tuhan, malahan justru tambah parah. Setelah meninggalkan modernisme, manusia sekarang masuk ke dalam zaman postmodern. Di zaman ini, ide postmodernisme muncul. Di satu sisi, ide ini mengandung sisi positifnya yaitu menyadari bahwa rasio bukan segala-galanya dan mengembangkan kemampuan manusia yang bukan hanya sisi kognitif saja (selain IQ, saat ini kita mengenal istilah: EQ, SQ, dll), namun di sisi lain, ide ini juga mengandung sisi negatif, yaitu kaburnya batasan yang jelas (Pdt. Joshua Lie, Ph.D. {Cand.} menyebutnya: borderless). Postmodernisme kemudian saat ini disisipi dengan sebuah gerakan yang kerap kali disebut: Gerakan Zaman Baru (New Age Movement) yang merupakan sebuah perkawinan antara filsafat Barat (rasionalisme dan empirisisme) dan filsafat Timur ditambah Monisme (percaya bahwa segala sesuatu itu satu atau dengan bahasa agama, segala sesuatu menuju “tuhan” yang sama) dan Pantheisme (percaya bahwa segala sesuatu itu adalah “allah”). Kalau kita telusuri, ide Gerakan Zaman Baru (GZB) sebenarnya mirip dengan ide dalam Buddhisme dan Taoisme yang menekankan pentingnya persatuan dengan alam.




KRISTEN MISTIK: PENGARUH GERAKAN ZAMAN BARU
Sebagai sebuah gerakan yang muncul kira-kira 40-50 tahun yang lalu, GZB telah merembes ke dalam segala bidang kehidupan manusia, mulai dari kesehatan, pendidikan, sains, bahkan agama, khususnya Kekristenan. Reiki, Kundalini, Yoga, dll digemari oleh banyak orang, bahkan tidak terkecuali orang “Kristen”. Bahkan menurut pengakuan salah seorang Kristen yang pernah mencoba Reiki dan Kundalini, pemimpin gereja baik dari Protestan maupun Katolik mencoba Reiki dan Kundalini. Meskipun GZB merupakan perkawinan antara filsafat Barat dan Timur, namun kalau kita memperhatikan dengan teliti, unsur filsafat Timur yang lebih menonjol. Oleh karena itu, saya menyebut zaman ini sebagai zaman mistik. Bahkan Kekristenan pun secara sadar atau tidak sadar telah diracuni oleh mistisisme ala GZB. Ciri-cirinya:
Pertama, mengaburkan antara Allah dan manusia. Kekristenan sejati sesuai dengan Alkitab mengajarkan bahwa meskipun menyandang gambar dan rupa-Nya, manusia dan Allah TETAP berbeda secara kualitatif. Namun karena diracuni oleh GZB, maka beberapa Kristen mulai menganut konsep bahwa Allah dan manusia itu satu adanya. Misalnya, ada yang mengatakan bahwa karena kita ada di dalam Kristus dan Kristus di dalam kita, maka apa yang kita katakan itu yang Kristus katakan. Bahkan yang lebih ekstrem lagi, ada seorang pendeta yang berani mengatakan bahwa kita adalah allah-allah kecil (little gods). Sebuah kekonyolan terjadi, jika Allah dan manusia itu sama, mengapa di gereja si pendeta tersebut, si pendeta dan jemaatnya masih berdoa kepada Allah, dll? Bukankah logisnya, mereka menyuruh jemaatnya untuk berdoa kepada diri mereka sendiri yang adalah “Allah”?


Kedua, mementingkan kuasa kata-kata. Karena manusia dianggap sebagai allah-allah kecil, maka tidak heran, banyak Kristen bahkan pemimpin gereja berani mengajarkan bahwa kata-kata orang Kristen memiliki kuasa untuk mendatangkan berkat atau kutuk, oleh karena itu, selalu katakan kata-kata positif. Jadi, ketika ada orang yang sakit kanker, para penganut berpikir positif ini menyuruh orang yang sakit tersebut berkata, “Saya tidak pernah dan tidak boleh sakit.” Namun apakah setelah mengatakan hal tersebut, pengidap kanker tersebut menjadi sembuh? Dalam beberapa hal, sebagai orang Kristen, memang adalah bijak jika kita lebih banyak berkata-kata positif untuk menegur dan membangun orang dan mengurangi kata-kata negatif, karena kata-kata negatif kebanyakan melemahkan semangat orang (namun TIDAK berarti TIDAK boleh berkata-kata negatif), namun ketika kita terlalu menekankan mutlaknya kata-kata positif dan menghilangkan sama sekali kata-kata negatif, bagi saya itu terlalu naif! Coba buktikan: jika Anda pergi ke dokter untuk berobat, kemudian dokter mengatakan bahwa Anda sakit malaria atau TBC, lalu Anda mengatakan, “JANGAN dokter, dokter gak boleh bilang gitu. Bilang dong, saya sehat!” Setelah Anda berkata demikian, saya jamin, si dokter akan menelpon petugas rumah sakit jiwa untuk membawa Anda untuk segera direhabilitasi, wkwkwk.


Ketiga, larisnya roh-roh lain. Karena berfokus pada persatuan dengan alam, maka beberapa (banyak) orang Kristen dan pemimpin gereja mengalihkan perhatiannya pada dunia roh. Rev. Prof. Cornelius Van Til, Ph.D. di dalam bukunya Pengantar Theologi Sistematik mengatakan bahwa sebuah khotbah yang berpusat pada Allah menghindarkan jemaatnya dari: keduniawian (worldliness) dan kedunia-lainan (other-worldliness). Namun karena banyak khotbah hari ini tidak berpusat pada Allah, maka tidak heran, terciptalah suatu generasi “Kristen” yang maniak dengan dunia roh. Hari-hari ini, buku yang bertemakan dunia roh, dunia santet, dll laris di kalangan Kristen dan penulis bukunya ramai diundang di gereja. Bahkan seorang teman saya “Kristen” dan tentunya bersama dengan beberapa orang Kristen yang berasal dari gereja yang suka dengan dunia roh mengatakan bahwa beberapa orang Kristen diberi karunia untuk melihat setan. Saya terkaget-kaget, di Alkitab TIDAK ada satu orang pun yang diberi karunia dari Tuhan untuk melihat setan! Anehnya, koq melihat setan bisa bangga ya, apa motivasi orang yang bisa melihat setan? Kemudian, setelah melihat setan, mau diapain? Mau ditengkingin satu per satu? Tugas orang Kristen dan pemimpin gereja seharusnya memberitakan Injil dan mengajar iman Kristen, sekarang berubah menjadi gemar menengking setan (ada setan mati lampu, setan air mampet, dll). Saya TIDAK anti dengan pengusiran setan, namun saya paling tidak suka mengatakan apa-apa sebagai setan. Guci tua yang ada gambar naganya dianggap setan, tetapi herannya salah satu mata uang negara tertentu yang ada gambar naganya, mengapa uang tersebut tidak dibakar? Di Alkitab, ada tulisan naga di kitab Wahyu, apakah kitab Wahyu perlu dibakar juga? Gara-gara sibuk dengan urusan setan dan kroni-kroninya, Kekristenan mulai dialihkan oleh setan sendiri dari mimbar yang seharusnya memberitakan firman menjadi mimbar yang suka membuka kedok setan, sehingga jemaat bukan makin mengerti firman, tetapi makin mengerti dan mendalami setan.


Keempat, larisnya para pelayan roh-roh lain. Karena roh-roh lain juga laris, maka tidak heran para pelayan roh-roh tersebut juga laris. Beberapa orang Kristen merasa TIDAK bersalah apa-apa tatkala mereka mendatangi peramal nasib atau dukun untuk meminta petunjuk entah itu petunjuk agar kariernya lancar atau enteng jodoh, dll. Bagaimana tidak, seorang tacik yang melayani dalam tim pembesukan jemaat di salah satu gereja Injili di Surabaya mendatangi seorang peramal! Mereka tidak menyadari bahwa peramal lebih tidak bisa diandalkan ketimbang Allah. Mari buktikan: peramal tetap adalah manusia yang terbatas dan berdosa, apakah ia bisa meramal sampai 10 bahkan 100 tahun kemudian? Kata seorang rekan saya, ada seorang peramal perempuan yang kerap kali masuk televisi hanya bisa meramal sampai tahun 2012, kenapa hanya bisa sampai 2012? Apa setelah dia melihat film 2012? Aneh-aneh ae, hahaha. Kedua, biasanya isi ramalan itu merupakan isi yang umum. (alm.) Pdt. Ir. Amin Tjung, M.Th. pernah mengatakan bahwa ada seorang yang mau buka perusahaan datang ke peramal, si peramal menasihati bahwa ia harus hati-hati. Gak usah pergi ke peramal pun, orang lain juga bisa menasehati hal yang sama, cape dech… Ketiga, apakah si peramal itu sendiri bisa meramal kehidupannya yang akan datang? Jika tidak bisa, ngapain ngeramal orang lain?


Kelima, larisnya sarana yang dipakai oleh roh-roh lain. Selain para pelayan roh-roh lain, roh-roh lain juga menggunakan sarana-sarana tertentu yang disakralkan. Banyak orang Kristen hari-hari ini mensakralkan barang-barang tertentu atau tempat tertentu, misalnya: berdoa lebih afdhol kalau di bukit doa, mutlaknya minyak urapan sebagai sarana kesembuhan, dll. Berdoa di bukit doa tidaklah salah, namun jika sudah memutlakkannya lalu mengajar bahwa jika berdoa di bukit doa maka pasti dikabulkan Tuhan itu sudah memberhalakan tempat dan jangan salahkan jika iblis gemar tinggal di sana. Di Alkitab Perjanjian Baru, tidak ada satu ayat pun yang mengajar minyak urapan sebagai media kesembuhan. Ada pendeta yang menafsirkan kata “minyak” di Yakobus 5:14 sebagai minyak urapan. Minyak di situ artinya minyak sebagai obat dan di seluruh Injil, Kristus TIDAK pernah satu kali pun menggunakan minyak sebagai sarana menyembuhkan orang sakit. Nah, yang aneh, pendeta yang kerap kali gembar-gembor minum kopi dan sarapan sama Tuhan Yesus, koq bisa gak sehati ama Tuhan Yesus: Kristus TIDAK pernah menggunakan minyak urapan, koq si pendeta malah memberhalakan minyak urapan? Yang error itu sebenarnya siapa toh? HeheheJ

Sarana lain yang dipakai roh-roh lain adalah tradisi mistik Timur. Kalau kita melihat di Tiongkok, orang-orang Tionghoa percaya dengan shio. Shio ini sebenarnya merupakan tanda supaya orang bisa mengetahui dia lahir pada tahun apa dan usianya sekarang berapa. Namun dalam perkembangannya, shio disisipi muatan mistik dengan mengatakan bahwa orang yang shionya babi itu penidur, perempuan yang shionya macan itu tidak laku (karena keras), bahkan ada yang membanggakan diri bahwa orang yang shionya kambing itu perhatian, mengerti, lemah lembut, dll (maklum gak ada yang muji dia), hahaha. Ada juga yang mengajar bahwa orang yang shio X jiong dengan orang yang shionya Y. Tetapi begitu ditunjukkan fakta bahwa ada seorang pendeta yang bershio babi namun bukan penidur, orang yang memuja shio ini mengatakan bahwa itu mungkin babi air atau babi tanah. Hahaha. Yang lebih ekstrem, seorang pendeta supaya kelihatan “rohani” mengatakan bahwa shionya shio Yesus (bukan rohani, tetapi justru menghina Yesus dengan menyamakan-Nya dengan binatang). Di dalam tradisi Indonesia juga kita sering mendengar bahwa jangan berdiri di depan pintu saat maghrib, jangan buang air kecil di bawah pohon besar (lha ya jelas, pesing toh, wkwkwk), dll. Semuanya ini juga masih dipercaya dan dilakukan oleh beberapa orang Kristen.




IMAN KRISTEN DAN MISTIK
Apakah berarti iman Kristen tidak mengandung unsur mistik? Tentu ada, tetapi yang disoroti di sini, iman Kristen bukan iman mistik yang buta, tetapi iman “mistik” yang obyektif dan ada dasarnya. Di dalam ajaran Alkitab yang dikembangkan oleh seorang theolog, kita mengenal doktrin persatuan mistis orang percaya dengan Kristus (mystical union with Christ). Kita juga mengenal beberapa tokoh mistik Kristen, misalnya: Bernard of Clairvaux dan Thomas à Kempis yang terkenal dengan bukunya The Imitation of Christ. Mereka berdua mengajarkan iman Kristen secara mistis, namun mistik versi mereka berdasarkan Alkitab, karena mengajarkan doa, kontemplasi/meditasi (merenungkan firman Tuhan, bukan mengosongkan pikiran), dll. Mistisisme Kristen yang Alkitabiah ini seharusnya menyadarkan kita pentingnya kesalehan (pietas) hidup kita. Saya terus terang takut dan kuatir dengan beberapa orang Kristen yang terlalu gemar berkutat di dalam hal-hal theologi, mereka kebanyakan menjadi kering dalam hal kerohanian: malas saat teduh, berdoa, rendah hati bersekutu dengan sesama saudara seiman, dll, sebaliknya mereka menjadi arogan, gemar mengkritik sini sana dan ahli dalam berdebat. Namun ingatlah mistik versi Kristen yang sesuai dengan Alkitab BERBEDA dari mistisisme ala GZB yang anti hal-hal rasional dan cenderung subyektif (meskipun beberapa istilah yang dipakai antara versi Alkitab dan versi GZB hampir sama).

Dunia yang dipenuhi oleh semangat mistisisme ala GZB TIDAK seharusnya membuat orang Kristen menjadi ikut-ikutan! Sebagai pengikut Kristus, kita diperintahkan untuk diubah pola pikir kita untuk mengerti kehendak Allah (Rm. 12:2) dengan cara berfokus kepada Kristus (Kol. 2:8). Hidup Kristen yang berfokus kepada Kristus berarti hidup yang men-Tuhan-kan Kristus dan tunduk di bawah otoritas Alkitab. Tunduk di bawah otoritas Alkitab berarti diawali dengan belajar Alkitab baik-baik dan bertanggung jawab, lalu menguji segala sesuatu di dunia ini dengan dasar Alkitab (1Tes. 5:21).

Bagaimana dengan kita? Masihkah kita sebagai orang Kristen percaya pada tradisi dan ajaran-ajaran yang tidak bertanggung jawab yang melawan Alkitab? Saatnya kembali kepada Alkitab dan fokuskan iman dan hidup kita kepada Kristus, Kakak Sulung kita. Ujilah tradisi, ajaran, dan filsafat dunia dengan Alkitab: terimalah yang positif dan buanglah yang negatif (melawan Alkitab). Amin. Soli Deo Gloria.
Posted by Denny Teguh Sutandio at 6:34 AM 0 comments
Labels: Alkitab Vs Agama/Kebudayaan/Filsafat
22 October 2010
AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN (Pdt. Sapto Harsoyo, D.Min.)
AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN

oleh: Pdt. Sapto Harsoyo, D.Min.



HAKEKAT AGAMA
Pada saat agama dipahami terkait dengan perenungan yang paling hakiki dalam diri setiap manusia.1 maka pembicaraan mengenai agama di samping bersifat universal juga bersifat sangat mendasar. Tidaklah berlebihan apabila dikatakan bahwa manusia adalah makhluk religius yang dalam dirinya mereka memiliki kesadaran dan antusiasme bathiniah terhadap wilayah-wilayah keagamaan. Sebagaimana yang dikomentarkan oleh Nafisul Atho, salah satu pemerhati bidang hubungan antar agama di Indonesia terhadap interest utama Emile Durkheim terhadap Sejarah Agama-Agama,2 bahwasannya dalam bentuknya yang paling primitif pencarian-pencarian serta perwujudan-perwujudan terhadap dimensi keagamaan merupakan realitas sosiologis manusia di manapun mereka berada. Agama selalu ada pada saat ada manusia.

Masih dalam dimensi sosiologi agama, adalah penegasan Atho mengenai ketetapan realitas agama dalam diri manusia, “Individu boleh saja meninggal dunia, ataupun generasi berlalu dan digantikan oleh yang lain (baru), akan tetapi kekuatan ini (pen. kepercayaan pada satu kekuatan) akan hidup terus dan tetap sama. Ia menghidupi setiap generasi, baik yang sekaran ini, yang telah lalu, maupun yang akan datang. Ia dapat disebut dewa dalam kepercayaan totemik, bersifat impersonal, tanpa nama, tanpa hikayat, imanen di sunia ini dan tersebar melekat pad benda yang tak terhitung banyaknya.”3

Tidak disangkali memang di tengah suara bulat mengenai realitas menetap dari fenomena agama dalam peradaban manusia, maka kita juga mendapati pertanyaan kritis dari arus pemikiraan yang mempertentangkan universalitas agama dalam masyarakat. Fenomena agama dalam masyarakat telah mendapatkan pertanyaan ulang dalam realitasnya. Misalnya, walaupun secara mendasar para sosiolog agama modern seperti Durkeheim dan Freud mengakui mengenai universalitas fenomena agama, namun pada umumnya fenomena agama dalam diri manusia dipahami sebagai “ungkapan cita-cita sosial masyarakat itu sendiri.”4 Sebagaimana disimpulkan David W. Shenk sebagai berikut:
“Karya Sigmund Freud, The Future of an Illusion, yang diterbitkan hanya sekitar satu setengah dasawarsa setelah karya klasik Durkheim, tiba pada kesimpulan yang sebagian besar sama. Freud memakai perangkat-perangkat penelitian psikoanalisa. Ia percaya bahwa agama adalah sebuh proyeksi atas dasar kebetuhan seseorang akan seorang ayah. Dia menemukan bahwa seorang dewa disembah untuk memenuhi peran figure sang ayah dalam keluarganya.”5

Shenk melanjutkan analisanya mengikuti asumsi sosiologis dari para sosiolog agama dengan mengungkapkan satu persepsi “modern” dari para filsuf Yunani kuno tentang morfologi dewa-dewa,
“Bagi sejumlah filsuf Yunani, sepertinya dewa-dewa yang orang sembah sungguh merupakan ciptaan-ciptaan pikiran manusia, Xenophanes dengan sinis mengamati bahwa jika sapi, singa atau kuda dapat membuat dewa-dewa, maka para dewa akan menyerupai sapi, singa atau kuda. Ide filsuf-filsuf Yunani Kuno ini bahwa para dewa adalah perluasan imajinasi manusia luar biasa modernya. Penelitian anthropologis dan psikologis abad kedua puluh telah menunjukkan bahwa ide-ide tentang yang ilahi dalam budaya-budaya berbeda hampir seluruhnya merupakan psikoproyeksi dari nilai-nilai dan kebutuhan-kebutuhan yang dirasakan sebuah masyarakat…”6

Pergumulan mengenai validititas dan obyektivitas eksistensi agama-agama dalam masyarakat akan senantiasa menjadi tantangan bagi masa depan agama-agama di dunia. Studi tentang agama -agama secara umum dirincikan oleh Douglas Davis meliputi dua pendekatan,7 yakni pendekatan kepercayaan dan pendekatan keilmuan. Yang dimaksud dengan pendekatan kepercayaan adalah menyangkut studi tentang esensi dari agama tertentu yang di dalamnya meliputi studi tentang theologi, nilai-nilai etika serta perwujudan perilaku peribadatan agama. Sedangkan pendekatan keilmuan adalah usaha pendekatan secara ilmiah terhadap fenomena agama-agama.

Pada umumnya pendekatan ini merupakan tindakan analisis terhadap fenomena agama tertentu melalui jalur keilmuwan, misalnya pendekatan antropologis. Anthropolog E. E. Evans-Pritchars berpendapat bahwa agama adalah “what religion does”.8 Sedangkan psikologist William James memaknai agama sebagai “a value in helping man to live a positive and courageous live”.9 Pendekatan evolusionistik terhadap fenomena-fenomena agama pada umumnya menjadi pendekatan yang dipakai oleh para sosiolog terutama Emili Durkheim yang pada intinya meneliti fenomena agama yang perwujudannya melalui proses interaksi konsep dalam dinamika kebudayaan masyarakat.

Dengan demikian agama dapat dipahami sebagai perwujudan proses pergumulan internal manusia terhadap nilai-nilai dan kebutuhan yang paling hakiki, yang perwujudannya meliputi seluruh kelengkapan antara wilayah material dan immaterial, sebagaimana pemahamanan terhadap makna kebudayaan, bahwa kebudayaan selalu merupakan perwujudan antara kultus dan kultur. Kultus meliputi segala fomat ideologi dan kultur adalah perwujudan khasad mata yang dalam konteks agama adalah mengakomodasi segala bentuk ritual keagamaan.

Pengertian agama bisa diperluas hingga pada wilayah format nilai dan ideologi, sehingga walaupun sebuah ideologi tertentu tidak terwujudkan dalam ungkapan ritual yang bersifat agamawi maupun kepercayaan, namun apabila ideologi dipahami merupakan hasil dari pertimbangan-pertimbangan mendalam terhadap hakekat kebenaran maka hal itu bisa dikategorikan sebagai agama minimal sebuah bentuk kepercayaan.


AGAMA DAN DINAMIKA MASYARAKAT10
Identitas dan dinamika masyarakat terkait langsung dengan agama. Dalam pengertiannya yang luas, tidak ada satupun identitas dan dinamika masyarakat tanpa dikaitkan dengan agama dan nilai yang dianut oleh masyarakatnya. Lobi-lobi dan tarik ulur kebijaksanaan dalam pemerintahan manapun sebagai pemproduk kebijaksanaan masyarakat senantiasa dilatar belakangi asumsi nilai dan kepercayaan tertentu. Agama dan kepercayaan senantiasa menjadi jiwa dari seluruh kompleksitas pola dan perilaku masyarakat dari berkeluarga, pendidikan, bisnis, pengelolaan alam, kesehatan, hiburan, seni, pola-pola sosialisasi, nutrisi, manajemen waktu, ibadah, politik, hukum, dsb. Pendeknya seluruh kompleksitas perilaku masyarakat. Pada saat Filsuf Perancis Antoine Destutt de Tracy memberikan identifikasi khusus terhadap istilah “ideology” sebagai “la theorie des theories”, It was the queen of sciences since it necessarily preceded all of the sciences which of necessity utilized ‘ideas’”,11 maka dapat dipahami bahwa gagasan nilai dan format kepercayaan senantiasa menjadi motivasi dan dinamisasi masyarakat. Agama dan kepercayaan senantiasa bersifat universal, dan senantiasa ada dalam masa depan setiap bangsa.

Dalam konteks masyarakat Indonesia misalnya, walaupun interpretasi terhadap Ideologi Pancasila sebagai dasar filosofi bangsa juga telah menghasilkan berbagai multi tafsir, namun secara umum dan mendasar diakui bahwa perwujudan bernegara, berbangsa dan bermasyarakat dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia didasari dan diinspirasi oleh filsafat dan ideologi Pancasila. Dalam konteks masyarakat global Shenk memberikan pernyataan yang menegaskan dinamika masyarakat dalam perwujudan agama dan kepercayaan dengan seruan agar “Komunitas global tidak boleh terus menerus mengabaikan hubungan yang peka antara komunitas manusia dan alam. Secara sensitif kita harus sadar akan komitmen-komitmen keagamaan dan ideologis yang menunjang serta menginformasikan hubungan-hubungan itu.”12

Paul F. Knitter memberikan komentar perihal peranan agama dalam dinamika masyarakat sebagai berikut:
“Dalam berbagai simbol dan naratif yang sangat berbeda-beda, agamamenawarkan kepada para pengikutnya suatu visi tentang pengharapan – pengharapan bahwa mereka dan dunianya bisa berbeda, bisa mengalami transformasi, bisa menjadi lebih baik. Agama berhadapan dengan dunia apa adanya, mengungkapkan berbagai kekurangannya (penderitaan, ketidakadilan, dosa), serta menyatakan bahwa dunia dan kondisi umat manusia tidak harus mengalami semua hal itu karena berbeda.”13

Geddes MacGregor dalam bukunya Introduction to Religious Philosophy14 menyinggung aspek penting dalam agama yakni dimensi Aesthetika dalam perwujudan pengalaman beragama, di mana dia menunjukkan adanya dimensi dan ekspresi keindahan dalam perwujudan kehidupan beragama para pengikutnya. Penghayatan dan perilaku beragama para penganutnya senantiasa terkandung ekspresi dan harapan tentang tatanan masyarakat yang indah, dan tertib.

Setidaknya, dalam konteks theologi kristiani. iman dan dinamika masyarakat senantiasa menjadi pokok pergumulan dalam realitas kehidupan masyarakat sebagai penganut kepercayaan dan nilai tertentu. Franz Magnis-Suseno15 menunjukkan setidaknya tiga aspek mendasar dalam inti kepercayaan kristiani yang secara otomatis bersinggungan langsung dengan dinamika masyarakat yakni, nilai martabat manusia sebagai persona, yang menggaris bawahi penarikan konsekwensi paling logis dari setiap kepercayaan terhadap nilai dan perwujudan nilai terhadap makna personalitas manusia; solideritas, tumbuh dan berkembangnya kesadaran akan keumatan dan masalah kemiskinan, yang bisa diperluas dalam dimensi yang utuh terhadap segala aspek kemisikinan dan kesengsaraan manusia.

Eksistensi agama dan dinamika masyarakat setidaknya merangkumkan “peranan” agama dalam memberikan arah dari dinamika masyarakat terkait dengan aspek-aspek berikut:
Agama dan Moralitas Masyarakat
Istilah “moral” dipahami sebagai norma nilai, yang di dalamnya terkandung ide-ide tentang keutamakan hidup, yang pada gilirannya akan menghasilkan penilaian etis terhadap yang benar dan yang salah. Dalam theologi Kristen fenomena agama dan moralitas dalam diri manusia dipandang sebagai realitas yang essensial yang ada dalam diri manusia. Itulah sebabnya hal kesadaran tentang yang baik dan yang buruk, yang walaupun dalam kenyataannya akan menghasilkan multi interpretasi dan multi aplikasi, akan selalu menjadi bentuk perwujudan pola pikir dan perilaku masyarakat. Pengertian “gambar dan rupa Allah yang diterapkan dalam diri manusia adalah salah satu pemahaman dan penghayatan sentral dalam iman Kristen.

“sebagai kesimpulannya dapat dikatakan bahwa gambar dan rupa Allah ini mencakup: (a) Dalam jiwa atau roh manusia yaitu dalam kualitas kesederhanaan, spiritualitas, tidak dapat dilihat, dan kekal. (b) Dalam kekuatan fisik manusia sebagai keberadaan rasional dan moral, yaitu intelektual dan kehendak dan segala fungsinya. (c) Dalam integritas intelektual dan moral dari natur manusia yang terungkap dalam pengetahuan yang benar, kebenaran, dan kesucian, Efesus 4:24; Kolose 3:10; (d) Dalam tubuh, bukan sebagai substansi material tetapi sebagai alat yang sesuai dengan jiwa, yang juga kekal, yang sebagai alat yang olehnya manusia dapat menguasai makhluk ciptaan yang lain. (e) Dalam kuasa manusia atas bumi.”16

Itulah sebabnya hal pergumulan manusia agamis atau ideologis dalam usahanya untuk memahami, merumuskan dan mewujudkan nilai-nilai moral dalam kehidupan akan senantiasa ada. Dalam peradaban dan kebudayaan masyarakat ide-ide moralitas, ajaran-ajaran moral dan usaha perwujudan perilaku bermoral senantiasa menjadi inti dari sebuah peradaban dan kebudayaan.17


Agama dan Pembangunan Masyarakat
Interest perihal agama dan kepercayaan serta keterkaitannya dengan pembangunan masyarakat menjadi pokok yang senantiasa menarik untuk dibicarakan. Konsep dan wujud pembangunan masyarakat tidak bisa disangkali senantiasa terwujud dalam proses penghayatan iman dalam pergumulannya dengan masalah-masalah sosial. Seorang teolog kristen Asia Masao Takenaka18 dalam tulisannya: Christian Art in Asia: Sign of a Renewal, menyimpulkan pandangan M. M. Thomas terkait dengan”living theology in Asia” dengan paparan sebagai berikut:
“Participating in the emerging theological discussion of churches in Asia, M.M. Thomas has summarized the thrust of “living theology in Asia” in the following way: 1) A living theology is always “situasional” or cotextual. 2) The content of a living theology is the discernment of what God-in-Christ is doing in the situation and the interpretation of the truth and meaning of Jesus Christ in terms of the situation and self-understanding. 3) The stuff of living theology is the life and witness the laity in the lay world and the fellowship of the churches”s congregations responding to Christ to save the secular neighborhood. 4) There is the need of the new understanding of the meaning of orthodoxy and heresy with respect to Christian Theology”

Pergumulan pembangunan masyarakat yang holistik senantiasa merupakan perwujudan dari perilaku kehidupan agamawi para penganutnya.19


Agama dan Problema Transformasi Nilai
Agama, kepercayaan dan nilai senantiasa diperhadapkan pada tantangan perubahan dan pergeseran. Kecepatan informasi global, kemajuan infrastuktur, berbagai tekanan dan tantangan hidup memperhadapkan nilai anutan pada kemampuannya memberi jawab terhadap masalah-masalah kehidupan. Transformasi nilai, pergeseran dan tantangan perubahan pandangan hidup semakin tidak terelakkan. Perpindahan penganut agama akan menjadi fenomena yang makin aktual yang membutuhkan respons secara proporsional oleh tatanan nilai dan kepercayaan apa saja dewasa ini.

Dalam dimensi dinamika budaya, perubahanan nilai yang didalamnya mengandung perjumpaan, interaksi, dan dialektika nilai merupakan realitas yang wajar dalam perilaku sosial. Bahkan bagi sebagian masyarakat yang memiliki interes terhadap keutuhan dan kebersamaan global, dialetika nilai telah menjadi ultimasi fokus sebagai cara terapi terhadap penyakit disharmonisasi sosial. Dalam konteks ini, pada saat dialektika nilai diyakini sebagai terapi mujarab terhadap konflik nilai, maka nilai-nilai otentik atau yang disebut “visi asali” yang telah mewujudkan tradisi hidup keumatan (“peoplehood”) sering dipahami tidak memadai dalam memberikan respons perubahan sehingga membutuhkan “visi baru” terhadap nilai yang lebih akomodatif, kreatif dan segar.20 Transformasi nilai memang sebuah fakta dari kehidupan itu sendiri, bagaimana setiap pemegang nilai senantiasa diposisikan dalam kondisi dinamis yang tak terelakkan. Setiap individu atau kelompok masyarakat penganut nilai harus memberikan respons yang semestinya terhadap natur trasformatoris nilai-nilai dalam kondisi masyarakat yang terus bergerak secara dinamis.21


Agama dan Konflik Sosial
Inti dari agama adalah interpretasi nilai. Sehingga apabila agama direlasikan dengan konflik dalam masyarakat, problem utamanya adalah terletak pada bagaimana para penganut agama merumuskan interpretasi terhadap kepercayaannya baik dalam ranah ide maupun dalam praktek berkehidupan. Data singkat yang dipaparkan Shenk sangat cukup untuk memberikan gambaran bagaimana praktek beragama amat sering sangat erat dikaitkan dengan konflik sosial:22
“Terlalu sering kita memakai agama-agama kita untuk mengumpan sikap intoleransi bahkan kebencian-orang muslim versus orang Budha di Burma, Katolik versus Protestan di Irlandia Utara. Sikh versus Hindu di Punjab, Muslim Syi’ah versus Muslim Suni di Irak, Budha versus Hindu di Sri Lanka, Marxis versus Budha di Tibet, Muslim versus Kristen di Libanon, Yahudi versus Muslim di Yerusalem, Muslim versus Kristen di Nigeria, orang-orang Kristen kepausan versus orang-orang Kristen Orthodox di Yugoslavia, Marxisme versus Gereja di Cina. Setiap komitmen terhadap kesejahteraan hidup global memberikan sebuah mandat kepada semua komunitas keagamaan dan ideologis: hiduplah dalam damai, satu dengan yang lain.Tidak mengejutkan bahwa UNESCO menyelenggarakan sebuah simposium “Tidak Ada Perdamaian Dunia Tanpa Perdamaian Keagamaan (Paris, Februari 1989).”

Nampaknya masalah perdamaian dan kebersamaan sejati menjadi wilayah yang sangat membutuhkan perhatian dalam perwujudan perilaku beragama sepanjang jaman. Agama dan nilai-nilai norma yang di dalamnya selalu mengandung kebenaran “azasi” bagi pemeluknya, selalu diperhadapkan pada kebutuhan relevansi, yakni bagaimana kehidupan dalam peradaban mendapatkan fondasi dan ruang geraknya yang proporsional. Sifatnya yang eksklusif dan inklusif dari nilai-nilai norma itu sangat membutuhkan pengertiannya yang azasi dan relevansinya yang presisi, kalau tidak demikian fenomena agama sebagai sumber konflik masyarakat bisa jadi akan menjadi axiomatik.




AGAMA DAN FINALITAS KRISTEN
Mengutip pandangan Alvin Plantingga, Joseph Tong menegaskan pembedaan natur dari agama dan kepercayaan dalam konteks finalitas Kristen dari sudut pandang pengertian antara Penyataan Umum (General Revelation) dan Theologi Alamiah (Natural Theology).23 Dalam hal ini Penyataan Umum dipahami sebagai Penyataan Diri Allah kepada manusia melalui alam, sedangkan theologi natural adalah hasil dari spekulasi manusia terhadap Allah atau perihal hakekat kebenaran. Dalam proses usaha pemahaman terhadap keber-Ada-an Allah, maka finalitas pemahaman terhadap Dirinya melibatkan kegenapan dari penyataan Allah yakni kesaksian alam dan kesaksian Kristus yang terwujud melalui Alkitab dan karya pencerahan Roh Kudus. Di luar hal tersebut Theologi Alamiah, hanya akan menghasilkan spekulasi konsep tentang Allah atau nilai.

Lebih lanjut terkait dengan tantangan finalitas terhadap seluruh agama, kepercayaan dan nilai di tengah masyarakat, Joseph Tong mengungkapkan lima tantangan fundamental yang harus dijawab yakni24:
Foundational Challence: yang mengaktulisasi pengalaman iman agama di dalam Allah yang hidup; Natural Challence: yang mengaktulalisasi posisi manusia sendiri terhadap alam dan kehidupan, apakah manusia menjadi tuan atau sebaliknya budak alam dan manusia sebagai penerima mandat Allah sebagai pengelola; Social Structural Challence: yang mengaktualisasi pembedaan antara Humanisme dan kekristenan humanis, Epistemological Challence: Rasionalisasi melawan Revelationalisasi; serta Ultimate Challlence: nihilisme-natural melawan teleologisme-theologis. Pada akhirnya masalah finalitas agama dan kepercayaan dalam sudut pandang kekristenan sangat ditentukan pada masalah natur, otoritas dan penafsiran terhadap Alkitab. Natur Alkitab dikaitkan dengan tindakan penyataan Allah, di mana Alkitab adalah kebenaran Allah yang dibahasakan.25 Sedangkan Otoritas Alkitab adalah komitmen penerimaan kedaulatan Alkitab sebagai sumber kebenaran utama dan Penafsiran terhadap Alkitab, yang di dalamnya mengandung persetujuan terhadap prinsip penafsiran Alkitab yang semestinya. Memang pada akhirnya interpretasi terhadap Alkitab secara semestinya hanya dimungkin dalam konteks yang inklusif, yakni dalam komunitas kekristenan, hal tersebut seperti diungkapkan oleh Tong sebagai berikut:
“Bible is to be studied in the context community, where we have to listen seriously to the interpretations of other Christian and expect to hear God’s word through them. The community is the whole people of God On Christian heritage and legacy of Christian wealth in the interpretation of Scripture.”26

Sebetulnya dalam posisinya yang paradox nilai-nilai kristiani senantiasa dalam posisi obyektif-subyektif. Obyektif karena nilai-nilai Kristen dibangun atas dasar Wahyu, yakni penyingkapan Diri Allah kepada umat, dan subyektif karena jelas tafsir terhadap Wahyu bukanlah Wahyu itu sendiri. Namun demikian hal itu bukan berarti kekristenan tidak memungkinan adanya validitas kebenaran, sebab hal-hal yang pokok dalam kebenaran memang sudah dinyatakan dalam wahyu yakni wahyu umum yang mendapat bimbingan dan pencerahan oleh wahyu khusus.

Nilai-nilai kristiani yang juga bisa disebut sebagai theologi Kristen mendapatkan dua panggilan tugas yang mendasar yakni pertama, mengusahakan tafsir terhadap Alkitab dengan fokus mengusahakan semaksimal mungkin menemukan maknanya yang otentik, yakni sesuai dengan apa yang dimaksudkan oleh penulis teks Alkitab pertamanya, menyusunnya sehingga menjadi ajaran Kristen yang utuh, serta yang kedua, mewartakan secara kontekstual hasil tafsirannya. Berdasarkan pertimbangan relasi proporsional antara Wahyu umum dan Wahyu khusus, maka theologi Kristen dalam tugas pewartaannya harus mengfungsikan diri pada panggilan pengudusan dan penyelamatan terhadap nilai-nilai agama dan kepercayaan yang ada di tengah masyarakat, sehingga setidaknya theologi Kristen bersama-bersama nilai-nilai lain yang ada dalam masyarakat mendapatkan nilai-nilai yang final dalam Alkitab.



Catatan Kaki:
1. Istilah “religi” telah menghasilkan berbagai interpretasi, dalam dimensi filosofi, John R. Everett menyimpulkan ungkapan makna dari sudut pandang filsafat sebagai “a superstitius structure of incoherent metaphysical notions” dengan bentuk-bentuk karakter yang paling pokok antara lain: penyembahan, ide pemisahan antara yang sacral dan profane, kepercayaan pada realitas roh, kepercayaan pada Ilah atau Ilah-ilah; penerimanaan pada penyataan supranatural, dan pertanyaan perihal keselamatan”. John R. Everett, dalam Encyclopedia Americana, Volume, XXII; Americana Coporation (1964); hlm. 342.
2. Nafisul Atho, dalam Emile Durkheim, Sejarah Agama (Penerbit IRCiSoD; Yogjakarta; 1992), hlm. 9
3. Ibid.
4. David W. Shenk, Ilah-Ilah Global (BPK Gunung Mulia; Jakarta: 1995), hlm. 4
5. Ibid
6. Ibid
7. Douglas David, The Study of Religion; dalam R. Pierce Beaver (et.all); Erdman’s Handbook to The World’s Religions (Grand Rapids:Will. B. Erdmans, 1982) hlm. 11.
8. Ibid
9. Ibid
10. Agama senantiasa menyangkut posisi interpretative dalam wujud operatifnya. Hal tersebut seperti dipaparkan oleh Joseph Tong yang mengkategorikan praktek keagamaan setidaknya dalam katagori “Religions-Anthropocentricsm” dan “Religions-Theocentricsm” Joseph Tong dalam Seminar “Kekristenan Awal, Homogen atau Heterogen”, Universitas Pelita Harapan, Sidoarjo, (6 Nopember 2008).
11. Andrew Vincent, Modern Political Ideologies (Great Britain: T. J. Press, 1992), hlm. 1-3.
12. David W. Shenk, Ibid., hlm. 38.
13. Paul F. Knitter, Satu Bumi Banyak Agama (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1995), hlm. 106.
14. Geddes MacGregor; Introduction to Religious Philosophy (Boston: Geddes MacGregor, 1959), hlm. 326.
15. Franz Magnis-Suseno: Beriman Dalam Masyarakat: Butir-Butir Theologi Kontekstual (Kanisius: Yogyakarta, 1995), hlm. 120-125.
16. Louis Berkhof, Theologi Sistematika 2 Doktrin Manusia (Jakarta: LRII, 2001), hlm. 2:56.
17. Leo D. Lefebure menyinggung teori mimesis (imitasi) dan kekerasan dari Rene Girard (sejarawan, kritikus sastra dan athropolog Perancis) yang berasumsi bahwa motif peniruan dan rivalitas adalah motif utama agama-agama yang memiliki tradisi korban penumpahan darah. Korban penumpahan darah dalam ritus merupakan jalan terwujudnya pendamaian. Dengan kata lain ide–ide ke alahan pada dasarnya dikaitkan dengan peniruan, rivalitas dan kekerasan. Namun demikian Lefebure menyanggah asumsi Girard dengan membuktikan bahwa pada kenyataannya nilai-nilai ucapan syukur dan pemujaan akan keindahan sangat menonjol dalam motif ritus-ritus peribadatan. (band. Leo D. Lefebure, Penyataan Allah, Agama dan Kekerasan (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2003), hlm. 25-41).
18. Masao Takenaka, “Christian Art in Asia: Sign of a Renewal” dalam Douglas J. Elwood (ed.), Asian Christian Theology, Emerging Themes (U.S.A.: The Wesminster Press, Philadelphia, 1980), hlm. 170-171.
19. Dewasa ini beberapa isu pembangunan masyarakat yang sangat erat hubungannya dengan ide-ide keagamaan sangat ramai dibicarakan, misalnya masalah undang-undang pornografi, masalah poligami, dsb.
20. David W. Shenk, Ibid., hlm. 19.
21. Dialetika nilai kadang didentifikasi dengan istilah “sinkretisme’ atau “fusi” di mana istilah-istilah ini telah menghasilkan interpretasi dan respons yang beragam.
22. Shenk, hlm. 35-36.
23. Joseph Tong, “Systematic Theology and Pastoral Ministry”, Syllabus and Class Notes (Pacet: International Center of Theological Studies, 2008), hlm. 12.
24. Ibid., hlm. 4-5
25. Ibid.
26. Ibid.




Sumber:
STULOS 9/1 (April 2010), hlm. 103-114
(http://www.sttb.ac.id/2007/newLook/uploads/07%20AGAMA%20DAN%20FINALITAS%20KRISTEN%20%28Sapto%20Harsoyo%29%20103-114.pdf)




Profil Pdt. Dr. Sapto Harsoyo:
Pdt. Sapto Harsoyo, B.Th., S.Th., M.Div., M.Th., D.Min. yang lahir pada tanggal 24 Juli 1962 adalah Rektor Sekolah Tinggi Theologi Injili Efrata, Sidoarjo. Beliau menyelesaikan studi Bachelor of Theology (B.Th.), Sarjana Theologi (S.Th.), dan Master of Divinity (M.Div.) di Sekolah Tinggi Theologi Institut Injil Indonesia (STT I-3), Batu, Malang; Master of Theology (M.Th.) dan Doctor of Ministry (D.Min.) di International Center For Theological Studies, Pacet, Mojokerto.




Editor dan Pengoreksi: Denny Teguh Sutandio
Posted by Denny Teguh Sutandio at 7:36 AM 0 comments
Labels: Alkitab Vs Agama/Kebudayaan/Filsafat
15 October 2010
SAMAKAH SEMUA AGAMA? (Denny Teguh Sutandio)
SAMAKAH SEMUA AGAMA?

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.”
(Yoh. 14:6)



PENDAHULUAN: Pluralitas Vs Pluralisme
Kita hidup di dalam zaman yang merayakan pluralitas. Di satu sisi, fakta tentang pluralitas adalah sebuah fakta nyata yang harus kita akui, karena di sekitar kita terdapat berbagai macam keanekaragaman, khususnya agama. Di Indonesia saja, kita menjumpai ada 6 agama resmi yang diakui. Namun di sisi lain, kita menjumpai banyak orang yang karena terlalu menekankan pluralitas, akhirnya masuk ke dalam paham pluralisme dan terakhir berakibat fatal yaitu sinkretisme: mencampuradukkan semua ajaran agama. Ide dasar yang mereka percayai adalah semua agama itu sama dan menuju ke satu tujuan yang sama. Ide ini sedikit banyak dipengaruhi oleh paham Gerakan Zaman Baru yang merebak di sekitar kita dengan paham bahwa segala sesuatu itu satu (monisme). Yang paling celaka jika ada orang Kristen bahkan pemimpin gereja yang ikut-ikutan mempercayai bahwa semua agama itu sama saja dan menuju ke Tuhan yang sama. Benarkah semua agama itu sama?




SEMUA AGAMA ITU SAMA?: Analisis Presuposisional
Secara presuposisi, jika ada orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama, maka Pdt. Dr. Stephen Tong mengatakan bahwa orang tersebut tidak mengerti masing-masing agama secara menyeluruh. Mungkin saja yang dia mengerti hanya kulit luar dari masing-masing agama yang akhirnya mengarahkannya untuk mengambil kesimpulan bahwa semua agama itu sama. Di sisi lain, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama memiliki ketidakkonsistenan paradigma dan kebahayaan tersendiri. Kalau mau konsisten, orang yang mengatakan bahwa semua agama itu sama (baik) harus juga menekankan bahwa semua agama itu sama jahatnya. Jika kekonsistenan ini dipertahankan, maka ia sedang menghakimi semua agama dan pertanyaan lebih lanjut, dengan standar apa dia menghakimi semua agama? Tentu standar diri! Jika standar diri yang dipakai sebagai standar kebenaran, layakkah diri yang relatif dan terbatas menjadi standar kebenaran obyektif yang absolut? Di sini letak kegagalan cara berpikir para penganut semua agama itu sama.




SEMUA AGAMA ITU SAMA?: Analisis Kebenaran
Sebelum menjawab pertanyaan benarkah semua agama itu sama, mari kita berpikir sebentar tentang kebenaran yang diklaim ada di dalam agama.
Pertama, kebenaran itu ada. Kebenaran sejati pasti dan harus ada. Jika kebenaran sejati tidak ada, ngapain orang meneriakkan sesuatu yang tidak ada? Bukankah itu suatu keanehan logika.

Kedua, kebenaran itu mutlak. Karena kebenaran sejati itu harus dan pasti ada, maka kebenaran sejati harus mutlak, karena ia harus menjadi standar kebenaran lainnya yang relatif.

Ketiga, kebenaran itu satu. Jika kebenaran sejati itu ada dan mutlak, maka kebenaran sejati HARUS satu, karena sebuah kemutlakan bersumber dari satu, bukan banyak. Jika kebenaran itu banyak, maka kebenaran tidak bisa menjadi sesuatu yang mutlak.

Keempat, kebenaran itu bersifat kekal. Kebenaran yang ada dan satu pasti adalah kebenaran yang bersifat kekal, karena kebenaran tersebut bukan hanya menjadi patokan bagi kebenaran relatif, namun juga harus melampaui ruang dan waktu.

Kelima, kebenaran itu paradoks, BUKAN berkontradiksi! Jika kebenaran itu mutlak, satu dan kekal, maka kebenaran itu TIDAK mungkin berkontradiksi dengan dirinya sendiri. Di sini, saya mengaitkan kebenaran dengan fungsi logika. Logika/rasio memang bukan ilah manusia, namun manusia harus menggunakan seefektif mungkin rasio yang diberikan Tuhan untuk memikirkan kebenaran. Apa itu kontradiksi? Sebuah hukum logika mengajarkan bahwa pada saat dan tempat yang sama, A tidak mungkin juga non A, jika A = non A, maka itu namanya berkontradiksi. Jika kebenaran mutlak saja berkontradiksi, bagaimana kebenaran itu bisa dijadikan kebenaran mutlak? Bukankah nantinya kebenaran mutlak identik dengan kebenaran relatif yang perlu dipertanyakan keabsahannya? Jika kebenaran tidak berkontradiksi, maka kebenaran sejati adalah kebenaran yang paradoks: seolah-olah kelihatan berkontradiksi, namun sebenarnya tidak. Paradoksikal kebenaran sejati menandakan keagungan kebenaran sejati karena tidak mungkin dimengerti oleh logika manusia biasa.

Keenam, kebenaran itu universal. Artinya, kebenaran sejati berlaku di seluruh dunia. Sungguh suatu ketidakmasukakalan jika mengatakan bahwa ada agama yang mengklaim kebenaran namun “wahyu” yang diklaimnya sebagai kebenaran itu hanya dipahami di dalam suatu bahasa “khusus”.

Ketujuh, kebenaran itu bersifat moral. Adanya universalitas kebenaran sejati menuntun kita mengerti bahwa di dalam kebenaran sejati pasti mengandung unsur-unsur moralitas yang agung. Tidak mungkin ada agama yang mengklaim ada kebenaran, namun mengajar para penganutnya untuk membunuh orang lain atas nama agamanya.




SAMAKAH SEMUA AGAMA?: Analisis Obyektif
Setelah mengerti tentang 7 syarat kebenaran sejati, maka kembali ke pokok pikiran kita: benarkah semua agama itu sama? Coba pikirkan beberapa ajaran dari agama-agama berikut ini. Saya akan memberikan sebuah analisis singkat tentang agama-agama dari dua segi: sumber kepercayaan, keselamatan, dan moralitas.
1. Mengenai Sumber Kepercayaan
Ada agama yang mempercayai bahwa alam semesta ini diciptakan oleh Tuhan yang berpribadi 1, ada juga agama yang mempercayai bahwa Allah tersebut berpribadi 3 namun 1 hakikat. Yang lain percaya bahwa Tuhan hanya 1 namun menyatakan dirinya ke dalam berbagai macam bentuk (muncullah dewa/i). Sedangkan agama lain membingungkan. Menurut survei saya sendiri di situs resmi yang berkaitan dengan agama ini, agama yang membingungkan ini ada yang mengatakan bahwa ia tidak percaya adanya Tuhan, karena segala sesuatu terjadi menurut hukum alam, namun ada situs lain yang mengatakan bahwa agama ini percaya adanya Tuhan, namun Tuhan tersebut TIDAK berpribadi. Mari kita analisa satu per satu.

Jika ada agama yang mengatakan bahwa tidak ada Tuhan, yang ada hanya hukum alam. Sekarang, tanyalah kepada penganut hukum alam ini, apakah hukum alam itu sesuatu yang hidup atau mati? Jika ia berkata, MATI, tolong tanya, bagaimana dari sesuatu yang mati bisa keluar makhluk yang hidup (manusia)? Contoh sederhana, mungkinkah dari sebuah hukum grativasi ala Einstein dapat menghasilkan seorang manusia? (lebih sederhana lagi: mungkinkah dari sebuah kursi menghasilkan seorang wanita yang cantik?) Jika mungkin, apa yang mengakibatkan sesuatu yang mati dapat menghasilkan sesuatu yang hidup?

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa hanya ada satu Tuhan namun banyak wujud melalui dewa/i, tanyakan kepada penganut agama ini, jika ada banyak dewa/i bahkan yang berkontradiksi (misalnya: dewa pencipta dan dewa pengrusak), satu Tuhan seperti apa yang muncul? Jika satu Tuhan tersebut baik, pertanyaan selanjutnya, mengapa dalam wujudnya muncul dewa pengrusak?

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa hanya ada satu pribadi Tuhan, lalu Tuhan tersebut mengatakan mengasihi manusia, pertanyaan selanjutnya adalah bagaimana kita mengetahui bahwa Tuhan yang satu pribadi tersebut mengasihi manusia? Kasih PASTI membutuhkan lebih dari satu pribadi, yaitu: subyek dan obyek kasih.


2. Mengenai Keselamatan
Semua agama mengakui bahwa semua manusia itu berdosa dan membutuhkan jalan keluar, namun jalan keluar dari dosa ini berbeda-beda menurut masing-masing agama. Semua agama di luar Kekristenan mengajarkan bahwa jalan keluar dari dosa adalah berbuat baik. Salah satu agama tersebut mengajarkan bahwa berbuat baik ditunjukkan dengan menjalankan ibadah tertentu di bulan “suci” tertentu, menunaikan ibadah khusus di luar negeri, dll. Agama yang lain mengajarkan bahwa berbuat baik ditunjukkan dengan menghilangkan segala keinginan. Agama ini mengajarkan bahwa hidup adalah penderitaan; penderitaan ada karena adanya keinginan akan kesenangan dan kemakmuran; maka jika ingin lepas dari penderitaan, maka buanglah segala keinginan; dan keinginan bisa dihilangkan dengan Delapan Jalan (sistem pendidikan agama dan ajaran moral dari agama ini). Benarkah berbuat baik itu merupakan satu-satunya solusi dari dosa manusia? Mari kita uji satu per satu.

Jika ada agama yang mengajarkan berbuat baik sebagai solusi terhadap dosa manusia, maka perbuatan baik tersebut dilakukan bukan dengan motivasi kebaikan itu sendiri, namun motivasinya untuk diselamatkan/masuk Sorga (kalau orang ini akhirnya tidak diselamatkan, masihkah orang ini berbuat baik?). Menurut seorang filsuf atheis Grika, kebaikan tersebut TIDAK sungguh-sungguh baik, karena kebaikan sejati adalah kebaikan yang dilakukan dengan motivasi dan tujuan untuk kebaikan itu sendiri.

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa berbuat baik dilakukan dengan membuang segala keinginan yang “jahat” dan menghilangkannya dengan Delapan Jalan, bukankah metode Delapan Jalan itu sendiri merupakan sebuah cara lain untuk menambahkan keinginan yang berbeda (baik)? Bukankah masih tetap ada keinginan? Adalah suatu absurditas jika ada orang yang mengatakan bahwa orang harus menghilangkan keinginan, padahal untuk mengatakan hal ini pun, orang tersebut memiliki suatu keinginan di dalam hati dan otaknya. Sama tidak masuk akalnya jika ada orang yang mengatakan bahwa segala sesuatu itu adalah ilusi, di titik pertama, kita yang mendengar pernyataan itu TIDAK usah menyetujui pandangan itu bahkan orang itu pun tidak perlu dihargai, karena orang itu dan perkataan yang diucapkannya adalah sebuah ilusi. Apakah kita kengangguran meladeni suatu ilusi yang mengatakan sebuah ilusi?


3. Mengenai Standar Moralitas
Selain keselamatan, sumber kepercayaan juga mempengaruhi cara berpikir dan bertindak, termasuk moralitas. Suatu agama yang tidak memiliki dasar kepercayaan yang kokoh menghasilkan standar moralitas yang relatif dan berkontradiksi dengan dirinya sendiri! Agama yang mempercayai adanya satu pribadi Tuhan mengajarkan bahwa pria boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita (maksimal 4), namun harus diperlakukan secara adil, sedangkan ada agama yang mengajarkan bahwa tidak menikah itu lebih suci. Agama lain yang mempercayai 3 pribadi Allah di dalam 1 hakikat mengajarkan bahwa 1 pria hanya boleh menikah dengan 1 wanita, selain itu dianggap berzinah. Agama lainnya yang percaya kepada hukum alam mengajarkan bahwa segala sesuatu itu diizinkan asalkan sesuai dengan hukum alam (salah satunya: sel sperma dengan sel telur). Mari kita pikirkan bersama.

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa pria boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita (meskipun dengan alasan harus diperlakukan secara adil), tolong tanya, apakah diizinkan wanita menikah dengan lebih dari 1 pria? Jika tidak boleh, apa standarnya? Kedua, pria boleh menikah dengan lebih dari 1 wanita namun harus diperlakukan dengan adil, apa batasan adil di sini? Apakah adil berarti masing-masing wanita/istri diberi kepuasan seks, uang, dll yang sama dari si suami? Batasan adil ini didasarkan pada standar apa? Obyektif atau subyektif? Ataukah sebenarnya ajaran ini dinyatakan sebagai legitimasi dari kebejatan si pendiri agama yang ingin menikahi lebih dari 1 wanita bahkan menikahi istri dari anak angkatnya sendiri? Ketiga, secara fakta, kita melihat banyak wanita yang menganut agama ini menangis dan sedih ketika mengetahui bahwa suaminya berzinah dan menikahi gadis lain. Ini membuktikan secara hati nurani, agama ini sudah tidak beres.

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa tidak menikah itu lebih suci, tolong tanya, apa itu suci dan apa standar kesucian? Siapa yang menentukan standar kesucian tersebut: Allah ataukah manusia? Jika Allah, tentu standarnya adalah wahyu-Nya, yaitu Alkitab, apakah ajaran demikian diajarkan secara tegas dan jelas di dalam Alkitab? Bisakah ditunjukkan dengan penggalian isi Alkitab secara teliti tentang larangan menikah bagi mereka yang melayani Tuhan? Bagaimana dengan Rasul Petrus yang menikah (Mat. 8:14—ibu mertua Petrus: berarti Petrus menikah)? Apakah berarti Rasul Petrus TIDAK suci?

Jika ada agama yang mengajarkan bahwa segala sesuatu diizinkan asalkan sesuai dengan hukum alam (misalnya pertemuan antara sel sperma dan sel telur), maka bagaimana dengan free-sex? Seorang teman saya yang menganut agama ini melegalkan kloning dengan dasar pikir bahwa sel sperma dan sel telur bertemu, maka itu benar, pertanyaan lebih tajam lagi, jika demikian, apakah free-sex itu benar? Bukankah free-sex juga merupakan pertemuan sel sperma dengan sel telur? Jika free-sex itu tidak benar, pertanyaan lebih tajam lagi, apa standar mengatakan bahwa sesuatu itu benar atau tidak benar? Hukum alam? Bukankah hukum alam itu sesuatu yang MATI?




SAMAKAH SEMUA AGAMA?: Kesimpulan dan Tantangan
Setelah menyelidiki dua hal di atas, apa kesimpulan kita? Samakah semua agama? TIDAK. Agama yang mengakui adanya satu Tuhan yang berpribadi tentu TIDAK bisa dipersamakan dengan agama yang TIDAK mengakui adanya Tuhan atau agama yang mengakui adanya 3 pribadi di dalam satu hakikat Allah.

Jika semua agama TIDAK SAMA, maka di manakah letak kebenaran sejati? Kebenaran sejati TIDAK terletak di tangan manusia, karena jika terletak di tangan manusia, pasti rusak dan hancur, sebagai buktinya, saya telah memverifikasi validitas pola pikir agama-agama di atas dan sebagai hasilnya, mereka menjumpai gang buntu yang tidak bisa diselesaikan. Jadi, di mana letak kebenaran sejati? Kebenaran sejati hanya ada di dalam tangan Allah yang menciptakan langit dan bumi serta memeliharanya. Allah yang berpribadi yang adalah 3 Pribadi Allah di dalam 1 esensi adalah Allah sejati yang merupakan Sumber Kebenaran. Mengapa? Karena:

Pertama, hanya Allah yang BERPRIBADI yang bisa menciptakan alam semesta dan manusia. Alam semesta adalah sesuatu yang mati yang relatif dan manusia adalah “sesuatu” yang hidup yang relatif, maka tentu alam semesta dan manusia TIDAK ada dengan sendirinya seperti yang dipercayai secara konyol oleh teori Big Bang, namun dicipta oleh Pencipta. Pencipta alam semesta dan manusia ini tentu HARUS merupakan Pencipta yang berpribadi yang hidup, karena tak mungkin dari sesuatu yang mati bisa menghasilkan sesuatu yang mati dan hidup. Mungkinkah dari sebuah kursi menghasilkan dengan sendirinya sebuah meja dan seorang pria tampan? Silahkan pikir sendiri.

Kedua, Allah yang berpribadi ini adalah 3 pribadi dalam 1 esensi/hakikat Allah. Allah sejati selain berpribadi haruslah lebih dari 1 pribadi, namun TIDAK boleh terlalu banyak. Mengapa? Karena kalau hanya satu pribadi, bagaimana membuktikan bahwa Tuhan mengasihi manusia? Bukankah kasih itu membutuhkan subyek dan obyek kasih? Kedua, kalau pribadi yang banyak bahkan beratus-ratus dan beribu-ribu, pasti akan terjadi konflik yang berkepanjangan. Jika antar dewa/i saja berkonflik, adakah standar etika yang bisa dibangun? Tidak ada jalan lain, Allah sejati adalah Allah yang berjumlah 3 pribadi di dalam 1 esensi/hakikat Allah (Trinitas/Tritunggal). Mempercayai Allah Trinitas LEBIH Alkitabiah dan LEBIH masuk akal ketimbang mempercayai satu pribadi Allah atau banyak pewujudnyataan “Allah” atau bahkan: hukum alam!

Ketiga, Allah yang berpribadi dan Trinitas tersebut menyatakan diri-Nya kepada manusia. Supaya kita bisa mengenal Allah secara tuntas (meskipun tidak 100% sempurna), maka Allah memilih untuk menyatakan diri-Nya kepada manusia melalui dua sarana: wahyu umum (berupa: alam dan hati nurani) kepada semua manusia tanpa kecuali (yang diresponi dengan munculnya: agama, kebudayaan, dan sains) dan wahyu khusus (berupa: Kristus dan Alkitab) kepada beberapa manusia yang merupakan umat pilihan-Nya saja. Di dalam Alkitab dan Kristuslah, kita menjumpai finalitas Kekristenan yang mempercayai bahwa Allah sejati adalah 3 pribadi di dalam 1 esensi Allah dan Allah ini menyatakan diri-Nya secara khusus di dalam Pribadi Tuhan Yesus yang daripada-Nya kita belajar banyak hal yang agung tentang Allah dan kehendak-kehendak-Nya serta apa yang Kristus inginkan dari kita sebagai anak-anak Allah. Kristus ini bukan hanya memberitakan tentang Allah kepada kita, Ia sendiri adalah Allah yang menjelma menjadi manusia (tanpa meninggalkan natur Ilahinya) menebus dosa-dosa manusia dengan mati disalib dan bangkit pada hari ketiga, sehingga melalui kematian dan kebangkitan-Nya dari antara orang mati, ada keselamatan sejati melalui penebusan dosa. Di dalam Kekristenan yang Alkitabiah, keselamatan didapat bukan karena kita yang berbuat baik, namun karena Kristus yang telah berbuat baik bagi kita untuk menyenangkan Allah (anugerah Allah). Jika semua pendiri agama hanya menunjukkan jalan keselamatan dan kebenaran, maka hanya Tuhan Yesus Kristus yang dengan berani dan tegas mengatakan, “Akulah jalan dan kebenaran dan hidup. Tidak ada seorangpun yang datang kepada Bapa, kalau tidak melalui Aku.” (Yoh. 14:6)

Bagaimana dengan kita? Bagi Anda yang belum menerima Kristus hari ini atau masih meragukan iman Kristen Anda, izinkanlah Roh Kudus bekerja saat ini juga untuk melembutkan Anda dengan mencerahkan hati dan pikiran Anda tentang keagungan dan finalitas Kristus sebagai satu-satunya Juruselamat dan Kebenaran sejati. Bukalah hati dan pikiran Anda, terimalah Tuhan Yesus Kristus sebagai satu-satunya Tuhan dan Juruselamat dalam hidup Anda. Amin.

4 komentar:

  1. saya kira anda tidak mengerti sepenuhnya Buddha Dhamma.. dan anda pun mencoba menilai ajaran Buddha dengan pemikiran ajaran Kristen.. saya rasa itu tepat.. Anda terlalu cepat mengambil kesimpulan dari sempitnya pengetahuan anda.. membicarakan masa lalu tidak akan habis.. seperti pertanyaan lelucon.. "yang manakah duluan Ayam atau telur ayam?" .. jauh lebih bijaksana adalah mengetahui secukupnya masa lalu, dan bergeraklah ke masa depan yg cerah..

    BalasHapus
  2. maaf salah ketik ..
    * ..saya rasa itu TIDAK tepat..

    BalasHapus
  3. Apakah kata kata Yesus sendiri pernah anda renungkan Yesus mengatakan bahwa Aku adalah gembala yang baik, aku akan menggembalakan domba domba milikKu dan domba domba bukan milikKu yang mau mendengarkan suaraKu. Suara Tuhan adalah kasih barang siapa tidak bisa mengasihi sesamamu manusia mana mungkin engkau akan mengasihi Aku. Setiap manusia yang melakukan kasih dengan tulus akan diterima oleh Tuhan sebagai muridnya

    BalasHapus
  4. Apakah selain nasrani tidak boleh ke surga? , Bagaimana dengan orang orang yang menjalankan hukum kasih sebelum Abraham apakah masuh neraka?

    BalasHapus