Minggu, 29 Mei 2011

ANALISA KRITIS TERHADAP KITAB-KITAB INJIL NON-KANONIK

ANALISA KRITIS TERHADAP KITAB-KITAB INJIL NON-KANONIK (1): INJIL YUDAS

Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 27 Maret 2007
Yakub Tri Handoko, Th. M.
Kontroversi seputar Injil Yudas mulai mencuat ke publik melalui pemberitaan National Geographic pada bulan April 2006, walaupun beberapa sarjana mengaku sebelumnya pernah melihat atau ditawari naskah kuno tersebut oleh pedagang barang kuno. Pasca pemberitaan ini, bak bola salju, isu tentang Injil Yudas terus menggelinding memancing reaksi dari berbagai kalangan. Berbagai seminar mulai diadakan, baik dalam tingkat populer (untuk jemaat awam) maupun akademis (untuk para teolog). Bagaimana proses ditemukannya Injil Yudas? Apakah manuskrip itu benar-benar otentik (kuno)? Bagaimana konsep tentang Yesus dalam Injil Yudas? Apakah pengaruhnya bagi kekristenan? Bagaimana kita menyikapi isu ini? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi fokus pembahasan kita kali ini.
Penemuan Injil Yudas
Keberadaan Injil Yudas seharusnya tidak menimbulkan kekagetan yang luar biasa bagi orangKristen, seolah-olah kitab ini baru diketahui sekarang. Irenaeus, bapa gereja yang hidup pada abad ke-2 M, dalam bukunya Against Heresies pernah menyebut keberadaan Injil Yudas, walaupun ia tidak mencatat apa isi kitab kuno itu. Dia hanya menyatakan kalau kitab ini adalah sesat dan sejarah fiktif (fictitious histories).
Isu modern tentang Injil Yudas berkaitan dengan sebuah penemuan kitab kuno yang di dalamnya terdapat Injil Yudas di dekat El Minya, Mesir, pada tahun 1970-an oleh seorang pencari barang kuno Mesir yang sekarang sudah meninggal dunia. Manuskrip Injil Yudas yang ditemukan ditulis dalam bahasa Mesir Coptic pada awal abad ke-4 M (teks asli dari Injil Yudas dipercaya ditulis dalam bahasa Yunani pada pertengahan abad ke-2 M). Tahun 1978 orang tersebut menjual kitab kuno ini kepada Hanna, kolektor barang kuno di Kairo. Sekitar tahun 1980 sebagian besar koleksi Hanna, termasuk kitab kuno yang berisi Injil Yudas itu, dicuri melalui sebuah upaya perampokan dan dibawa keluar dari Mesir. Setelah berkoordinasi seorang kolektor barang antik di Genewa, Hanna akhirnya berhasil mendapatkan kitab itu kembali.
Hanna adalah orang pertama yang menunjukkan kitab kuno ini kepada para ahli dan mereka mengakui otentisitas dan signifikansi dari barang kuno tersebut. Pada tahun 1983, Stephen Emmel dan dua orang temannya yang ahli dalam tulisan-tulisan kuno dipanggil untuk menyaksikan manuskrip ini di sebuah hotel di Genewa, namun ketiganya dilarang untuk mengambil foto atau catatan. Ketiganya langsung mengenali bahwa manuskrip itu sangat tua dan penting, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa kitab itu berisi Injil Yudas (mungkin karena mereka hanya diberi waktu 30 menit untuk melihat kitab kuno itu). Pertemuan tersebut berakhir tanpa adanya transaksi karena harga 3 juta dollar US yang diminta Hanna
dianggap terlalu tinggi. Tahun 1984 Hanna mencoba menjual kitab kuno itu lagi di Amerika.
Usaha ini kembali gagal dan Hanna akhirnya menyimpan kitab itu di sebuah kotak deposit keamanan (safe-deposit box) di Hicksville, New York selama 16 tahun. Akhirnya seorang pedagang barang antik dari kota Zurich yang bernama Frieda Nussberger- Tchacos membeli kitab kuno tersebut pada bulan April 2000. Ia selanjutnya menyerahkan barang itu kepada Beinecke Rare Book and Manuscript Library untuk diuji dan bila memungkinkan sekalian dijual. Seorang ahli papirus dari Universitas Yale yang bernama Robert Babcock meneliti barang itu dan memastikan bahwa Tchacos memiliki salah satu
salinan/terjemahan Injil Yudas yang selama ini hanya diketahui para sarjana dari pernyataan bapa gereja Irenaeus. Sekalipun penemuan ini sangat mencengangkan, namun Universitas Yale tidak mau membeli kitab itu.
Tidak lama kemudian, Tchacos berusaha menjual kepada seorang pedagang barang kuno dari Amerika bernama Bruce Ferrini. Tchacos diberi sebuah cek kosong. Dari pengalaman ini ia yakin bahwa Ferrini tidak memiliki cukup uang untuk membeli barang kuno itu. Dengan bantuan beberapa pedagang barang kuno yang terkenal, Tchacos berhasil mendapatkan kembali kitab itu dari tangan Ferrini. Setelah dua kali kegagalan dalam usaha menjual kitab kuno ini dan karena keadaan kitab itu yang makin memburuk, Tchacos pada bulan Februari 2001 menyerahkan kitab ini kepada Maecenas Foundation for Ancient Art di Basel, Swiss, untuk direstorasi dan diterjemahkan. Organisasi ini selanjutnya bekerja sama dengan National Geographic Society (Washington) dan Waitt Insttitute for Historical Discoveries (California).
Selanjutnya manuskrip Injil Yudas tersebut dipamerkan kepada publik di National Geographic Museum, sebelum akhirnya dikirim ke Cairo’s Coptic Museum untuk disimpan secara permanen.
Isu seputar Injil Yudas semakin menjadi wacana publik melalui pemberitaan National Geographic maupun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun 2006 (The Gospel of Judas. Edited by Rodolphe Kasser, Marvin Meyer, and Gregor Wurst with Additional Commentary by Bart D. Ehrman. Washington, D.C.:National Geographic Society, 2006). Di Indonesia, terjemahan Injil Yudas diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada tahun 2006 juga.
Otentisitas
Otentisitas berhubungan dengan pertanyaan apakah manuskrip Injil Yudas yang ditemukan benar-benar berasal dari abad permulaan (kuno). Pertanyaan seperti ini sangat wajar dikemukakan, karena beberapa penemuan arkheologi yang dulu diklaim berasal dari abad kuno ternyata hanyalah produk abad-abad yang lebih modern. Beragam jenis pengujian ternyata memang menunjukkan bahwa manuskrip Injil Yudas yang ditemukan benar-benar berasal dari abad permulaan.
1. Pengujian radiocarbon (C14) di laboratorium Universitas Arizona di Tucson terhadap papirus dan kulit pengikat kitab menunjukkan kisaran tahun 220-340 M. Sebagai informasi, laboratorium ini adalah laboratorium yang sama yang dipakai untuk mengukur usia Naskah Laut Mati.
2. Analisa forensik terhadap tinta secara ekstensif dan tes gambar multispektral merujuk pada periode yang sama.
3. Bukti kontekstual – isi, gaya bahasa dan jenis huruf – menunjukkan bahwa manuskrip ini sejaman dengan berbagai naskah Gnostik kuno yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir. Semau naskah tersebut kemungkinan besar ditulis pada abad ke-3 dan ke-4 M.

Dari beragam jenis pengujian di atas, otentisitas manuskrip Injil Yudas yang ditemukan merupakan hal yang tidak bisa dibantah. Apa yang ditemukan memang berasal dari abad permulaan. Tingkat kemungkinan adanya seseorang pada abad modern yang menuliskan manuskrip tersebut adalah sangat kecil: ia harus memiliki papirus dan tinta kuno; ia juga harus menguasai tata bahasa Coptic yang hanya dikuasai oleh segelintir ahli saja; ia harus mengikat semua lembaran tersebut dengan kulit kuno.
Walaupun manuskrip Injil Yudas yang ditemukan memang berasal dari abad kuno, namun hal ini tidak berarti apa yang ditulis adalah benar dan berotoritas. Kita perlu mengetahui bahwa ada banyak tulisan kuno - sebagian bahkan jauh lebih kuno daripada Injil Yudas - yang sekarang berhasil ditemukan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa semua yang tertulis di dalamnya adalah benar. Kekunoan suatu tulisan tidak berkaitan dengan ketepatan isi dari tulisan tersebut. Berbagai pengujian di atas hanya memastikan bahwa manuskrip yang ditemukan bukanlah hasil rekayasa orang modern dan dengan demikian semakin menguatkan pendapat para ahli bahwa manuskrip tersebut adalah salah satu terjemahan dari versi asli bahasa Yunani yang disinggung oleh Irenaeus dalam bukunya Against Heresies.
Rekonstruksi teks
Apakah manuskrip Injil Yudas yang ditemukan dan sekarang diterjemahkan bisa mewakili naskah asli yang dipercayai ditulis dalam bahasa Yunani? Kita sulit menjawab pertanyaan ini. Manuskrip Tchacos merupakan satu-satunya manuskrip Injil Yudas yang ditemukan, sehingga kita tidak bisa membuat perbandingan untuk merekonstruksi teks aslinya. Kita juga tidak boleh melupakan fakta bahwa manuskrip yang ditemukan hanyalah terjemahan, bukan salinan. Sebagai sebuah terjemahan, manuskrip tersebut pasti melibatkan unsur interpretasi. Selain faktor di atas, keadaan manuskrip yang ditemukan juga bisa dikatakan buruk, sehingga sangat tidak memadai untuk mencapai tahap kepastian apakah manuskrip itu sesuai dengan naskah aslinya. Pada saat Maecenas Foundation for Ancient Art memanggil Kasser dan ahli yang lain untuk memeriksan, merestorasi dan menerjemahkan manuskrip tersebut, keadaannya cukup parah. Pengikat kulit yang menghubungkan lembaran-lembaran papirus yang ada sudah lepas. Beberapa halaman papirus sudah terpecah-pecah menjadi ratusan fragmen. Sentuhan sedikit saja akan membuat lembaran papirus hancur menjadi sobekan-sobekan kecil. Beberapa halaman mulai menghitam, sehingga kalimat yang ada di dalamnya sulit untuk dikenali. Susunan halaman dari kitab ini juga tidak sesuai dengan aslinya. Kemungkinan besar si penjual sangaja meletakkan lembaran-lembaran yang masih bagus di bagian depan sehingga menarik perhatian calon pembeli. Begitu buruknya kondisi kitab kuno tersebut, sampai-sampai membuat Rodolphe Kasser, salah seorang ahli yang terlibat dalam rekonstruksi dan terjemahan Injil Yudas, mengatakan bahwa mereka membutuhkan sebuah lompatan iman yang ditopang dengan pengharapan untuk merekonstruksi kitab itu. Usaha rekonstruksi yang dilakukan ahli rekonstruksi Florence Darbre dan ahli bahasa Coptic Gregor Wurst ini dianggap sangat memuaskan (90-95% berhasil direkonstruksi), walaupun sebagian baris tetap tidak bisa direkonstruksi karena lubang pada papirus. Selain Injil Yudas, kitab kuno lain yang ditemukan adalah Apokaliptis Yakobus Pertama (First Apocalypse of James), Surat Petrus kepada Filipus (A Letter of Peter to Philip) dan fragmen dari sebuah kitab yang diberi nama Kitab Allogenes (The Book of Allogenes).

Yesus dalam Injil Yudas: sebuah kontroversi
Injil Yudas tidak berisi banyak narasi seperti yang ditemukan dalam kitab-kitab injil kanonik. Injil Yudas terfokus pada percakapan rahasia antara Yesus dan Yudas Iskariot seminggu sebelum peristiwa penyaliban Yesus, walaupun kita juga bisa mengetahui konsep-konsep lain yang tersirat dalam percakapan rahasia ini, misalnya konsep tentang Allah, penciptaan, Kristus dan keselamatan. Menurut Injil Yudas, Yudas bukanlah pengkhianat. Sebaliknya, ia adalah sahabat dan pahlawan bagi Yesus. Dalam sebuah percakapan rahasia, Yesus meminta tolong kepada Yudas, “engkau akan mengorbankan manusia (daging yang bersifat materi) yang melingkupi aku”. Ungkapan ini merujuk pada upaya Yesus untuk membebaskan jiwa- Nya dari tubuh-Nya yang jahat. Dengan menyerahkan Yesus kepada musuh-musuh-Nya, Yudas justru telah membantu Yesus melaksanakan rencana Allah. Cerita kontroversial tentang Yesus seperti ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dari dulu sampai sekarang Yesus memang selalu menjadi pusat kontroversi. Yang membuat isu tentang Injil Yudas menjadi semakin populer adalah pandangan para sarjana liberal tentang apa yang diajarkan dalam Injil Yudas. Menurut mereka, Injil Yudas bukan hanya memberikan alternatif lain tentang figur Yudas, namun tulisan kuno ini juga “membuktikan” bahwa pada masa awal gereja, kekristenan belum memiliki keseragaman konsep. Upaya untuk menyeragamkan teologi kekristenan baru dilakukan setelah kekristenan diterima sebagai agama resmi negara pada awal abad ke-4 melalui Edict Milan yang dikeluarkan oleh Kaisar Konstantinopel. Dengan kuasa yang semakin besar, kekristenan ortodoks dianggap telah menindas dan memusnahkan semua kitab maupun ajaran lain, termasuk Injil Yudas. Tidak heran, mereka menyebut Injil Yudas sebagai injil yang hilang. Berdasarkan pemahaman seperti ini, mereka berpendapat bahwa kisah tentang Yesus dalam Alkitab hanyalah salah satu versi dan tidak bisa mewakili figur Yesus yang sesungguhnya. Dengan kata lain, Yesus di dalam Alkitab adalah Yesus ciptaan sekte Kristen yang dominan. Semua ini terangkum dalam pernyataan Kasser sebagai berikut: "kita dapat menganggap ini sebagai sebuah mujizat nyata bahwa [karya tulis kuni seperti ini – khususnya yang diancam oleh kebencian pihak mayoritas pembaca pada masa itu yang memandang hal ini sebagai sebuah aib dan skandal, yang ditentukan untuk dimusnahkan,…tiba-tiba muncul dan dibawa kepada terang”.

Analisa kritis terhadap Injil Yudas
Bagaimana kita menyikapi isu seputar penemuan Injil Yudas ini? Respon pertama adalah kita tidak perlu terkejut. Tidak ada yang baru di bawah matahari (Pkh 1:9). Sebagaimana sudah disinggung secara sekilas, berbagai konsep tentang Yesus yang berbeda dengan Alkitab telah muncul dari masa ke masa. Bapa gereja Origen (abad ke-3 M) menulis sebuah buku untuk menentang pandangan Celsus (175 M), seorang pengikut neo-platonisme, yang menuduh Yesus lahir dari perselingkuhan Maria dengan tentara Romawi serta memiliki kuasa dari ilmu sihir Mesir. Beberapa tulisan para rabi abad ke-3 sampai ke-6 M juga menyiratkan hal yang sama. Yang penting bukanlah berapa banyak versi tentang Yesus yang muncul. Yang paling penting adalah di antara semua versi tersebut manakah yang paling otentik (sesuai dengan Yesus yang asli)?

Ujian kredibilitas kitab kuno
Sekarang marilah kita menguji kredibilitas Injil Yudas berdasarkan kriteria yang biasa dipakai untuk menguji kitab kuno. Ada 3 (tiga) ujian yang harus dilakukan:
(1) Bibliographical test (ujian bibliografi): apakah interval waktu antara peristiwa-penulisan penyalinan dekat? Apakah jumlah salinan memadai untuk dipakai sebagai perbandingan dalam merekonstruksi naskah aslinya?
(2) Interval evidence test (ujian bukti dari dalam): apakah suatu tulisan menunjukkan indikasi yang kuat bahwa penulisnya serius dengan fakta yang dia ungkap?
(3) External evidence test (ujian bukti dari luar): apakah ada sumber-sumber lain di luar tulisan tersebut yang meneguhkan apa yang ditulis?
Aplikasi dari tiga kriteria di atas menghasilkan konklusi seperti terlihat dari tabel berikut ini:

Kitab Injil Kanonik:
1. Peristiwa dan penulisan dilakukan pada abad ke-1 M. Kehidupan Yesus antara 6 SM – 28 M, Perjanjian Baru ditulis antara akhir 40-an sampai akhir 80-an.
2.Salinan tertua ditulis tahun 125 M
3.Jumlah salinan mencapai lebih dari 5000
4.Kitab-kitab injil memiliki rujukan waktu, tempat dan jabatan tokoh yang jelas, sehingga menunjukkan keseriusan penulisnya terhadap fakta (kebenaran catatan tersebut dapat dicek)
5.Beberapa ayat tampak sulit dimengerti menurut perspektif iman ortodoks, misalnya Yesus tidak tahu kapan Ia akan datang kembali (Mat 24:36//Mar 13:32). Hal ini mengindikasikan kesetiaan penulis terhadap tradisi yang ada, walaupun itu sekilas sulit dipahami dalam kerangka berpikir teologis penulis.
6.Arkheologi dan para penulis kafir kuno menyebutkan beberapa hal yang sama yang dicatat dalam Perjanjian Baru

Injil Yudas:
1.Jarak antara “peristiwa” (jika yang dicatat adalah benar) dan penulisan lebih dari satu abad.
2.Salinan tertua ditulis pada abad ke-3 atau ke-4 M.
3.Jumlah salinan hanya satu
4.Tidak ada rujukan tempat, waktu, dsb. Injil Yudas didominasi oleh percakapan, itupun disebut sebagai “percakapan rahasia”
5.Semua yang ada dalam Injil Yudas menunjukkan warna Gnostisisme yang kental dan konsisten. Tidak ada satu bagian pun yang tampak berpihak pada iman ortodoks.
6.Tidak (belum) ada bukti eksternal yang meneguhkan, karena memang tidak ada rujukan historis yang diberikan.

Warna Gnostisisme dalam Injil Yudas
Pemikiran Gnostik kemungkinan besar sudah muncul sejak abad ke-1 M, karena secara esensial pemikiran Gnostik bersumber dari konsep dualisme Hellenis yang sudah umum pada abad ke-1 M. Hampir semua sarjana umumnya berpendapat bahwa pemikiran Gnostik baru menjadi sebuah “isme” (paham) pada abad ke-2. Pemikiran ini terus membawa pengaruh yang cukup besar, baik dalam konteks kekristenan maupun di luarnya.
Apakah yang dimaksud Gnostisisme? Istilah “gnostisisme” berasal dari kata Yunani gnwsis yang berarti “pengetahuan”. Istilah ini sesuai dengan karakteristik utama Gnostisisme yang mengagungkan pengetahuan secara mistis dan rahasia dari allah kepada manusia. Dalam Gnostisisme, seseorang dianggap rohani apabila dia telah berhasil mendapat wahyu yang khusus dari allah. Ketika ajaran ini bercampur (bersinkretis) dengan kekristenan, tokoh-tokoh yang diangkat sebagai penerima wahyu khusus dari Allah adalah para tokoh Alkitab yang tidak terlalu terkenal, misalnya Yudas Iskariot, Maria Magdalena, Filipus dan Thomas. Hal ini mungkin sebagai upaya protes dan serangan terhadap kekristenan ortodoks yang melandaskan wahyu pada sejarah (saksi mata) dan diketahui oleh publik. Ini pula yang membuat isi yang “diwahyukan” dalam Gnostisisme berbeda dengan ajaran kekristenan
ortodoks.
Ciri khas lain dari ajaran ini adalah dualisme Hellenis yang menganggap materi bersifat jahat, sebaliknya yang non-material adalah baik. Mereka percaya di dunia ada dua kekuatan yang saling berjuang untuk mengalahkan satu sama lain, yaitu kekuatan materi (jahat) dan roh (baik). Allah yang bersifat roh (baik) tidak mungkin menciptakan materi yang jahat. Pencipta materi adalah Demiurgos, yaitu kekuatan ilahi yang memiliki roh sekaligus materi. Keselamatan manusia pun dipahami dalam konteks dualisme ini. Keselamatan adalah keterlepasan dari tubuh (materi).
Dua konsep di atas tercermin dengan jelas dalam beberapa pernyataan Yesus dalam Injil Yudas.
(1) Injil Yudas diawali dengan pernyataan “Catatan rahasia tentang wahyu yang Yesus katakan dalam percakapan dengan Yudas Iskariot selama seminggu sebelum ia merayakan Paskah”.
(2) Allah yang menciptakan dunia ini adalah allah yang berbeda dengan yang disembah Yesus. Ketika murid-murid Yesus berdoa kepada allah, Yesus justru menertawakan mereka.
(3) Yesus tidak dilahirkan sebagai manusia. Ia hanya menampakkan diri/muncul di bumi.
(4) Yesus meminta Yudas Iskariot membantu Dia untuk membebaskan diri dari tubuh (materi) yang jahat.
(5) Tidak ada cerita tentang kebangkitan Yesus secara badani.
(6) Yudas Iskariot disebut “akan melebihi semua murid” dan dianggap sebagai roh ke-13.
Istilah “injil”
Kata “injil” (euangelion) dipakai dalam beragam konteks. Kata ini bisa merujuk pada kabar baik secara umum, misalnya kabar kemenangan dalam peperangan maupun kelahiran anak penguasa. Dalam Alkitab kata ini dipakai untuk kabar keselamatan melalui karya Yesus Kristus. Dalam periode selanjutnya, kata euangelion juga dipakai oleh para bapa gereja untuk menyebut empat kitab yang menceritakan kehidupan (tindakan dan ucapan) Yesus. Berdasarkan penggunaan kata euangelion di atas, penyebutan “Injil Yudas” sebenarnya tidak tepat, baik dari sisi isi maupun jenis tulisan. Dari sisi isi, Injil Yudas mengabaikan beberapa elemen penting dari injil, yaitu kelahiran (inkarnasi) dan kebangkitan Yesus Kristus. Dari sisi jenis tulisan, Injil Yudas hanya membahas percakapan rahasia antara Yesus dengan Yudas Iskariot selama seminggu sebelum Yesus disalibkan.
Penyeragaman teologi Kristen?
Apakah benar Injil Yudas merupakan “injil yang hilang”? Apakah benar bahwa gereja mulai menyeragamkan teologi setelah mendapatkan kekuasan secara legal dari negara? Benarkah usaha kanonisasi Alkitab yang hanya menerima 27 kitab Perjanjian Baru merupakan bukti penindasan yang dilakukan golongan Kristen mayoritas?

Semua pertanyaan di atas ternyata hanyalah dugaan tanpa dasar dari para sarjana liberal. Tidak ada bukti historis apapun yang mendukung dugaan itu. Sebaliknya, ada beberapa bukti kuat yang meruntuhkan dugaan tersebut.
(1) 27 kitab yang diterima dalam kanon semuanya ditulis pada abad ke-1 M dan secara konsisten dan intensif dikutip oleh bapa-bapa gereja awal dan diakui sebagai firman Allah, padahal waktu itu kekristenan masih menjadi minoritas dan terus dianiaya.
(2) Bapa-bapa gereja awal sejak dini sudah memiliki sikap yang jelas terhadap berbagai tulisan yang muncul. Jauh sebelum upaya kanonisasi yang resmi pada abad ke-4 M, mereka sudah memiliki “patokan” kitab-kitab apa saja yang secara tradisi bersumber dari ajaran Yesus dan para rasul. Usaha untuk memilah-milah ini didorong oleh beberapa faktor:
a. Penganiayaan. Waktu itu banyak orang dianiaya karena memiliki kitab-kitab relijius tertentu. Orang Kristen ingin memastikan bahwa apa yang mereka miliki adalah firman Tuhan yang benar, sehingga sekalipun mereka harus menderita karena memiliki kitab-kitab itu, mereka merasa pantas untuk melakukannya.
b. Ajaran sesat. Ajaran sesat selalu menjadi problem bagi gereja sejak awal. Ajaran sesat ini tidak hanya menyebarkan ajaran secara lisan, tetapi secara tertulis juga. Banyaknya kitab yang muncul (dan sekaligus saling berkontradiksi) menuntut orang Kristen untuk mengetahui dengan pasti manakah kitab yang benar-benar firman Allah.
c. Pembacaan kitab suci dalam ibadah. Orang Kristen mengadopsi liturgi ibadah Yahudi yang mencakup pembacaan kitab suci secara publik. Tradisi ini mendorong mereka untuk mengetahui sejak dini kitab-kitab apa saja yang diakui sebagai firman Allah dan bisa dibaca dalam ibadah.
(3) Dalam daftar kitab-kitab yang diakui oleh bapa-bapa gereja awal (sebelum kekristenan menjadi kekuatan mayoritas), tidak ada satu kitab “injil” gnostik apapun yang dimasukkan ke dalamnya. Secara khusus bapa gereja Irenaeus (abad ke-2 M) bahkan mengelompokkan Injil Yudas sebagai tulisan gnostik yang harus ditolak.
Dari semua penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Injil Yudas bukanlah injil yang hilang. Injil ini adalah injil yang sudah lama diketahui oleh para pemimpin Kristen abad ke-2 M. Kitab ini juga sudah ditolak, jauh sebelum kekristenan menjadi kekuatan mayoritas. Penolakan ini bukan didasarkan pada pertimbangan politik atau keinginan untuk menyeragamkan ajaran Kristen. Penolakan ini merupakan upaya untuk memurnikan kekristenan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar