Minggu, 29 Mei 2011

Renungan Menjelang Jumat Agung 2011

ADA APA DI BALIK SALIB?-1:
Salib dan Jawaban Terhadap Realitas Penderitaan

oleh: Denny Teguh Sutandio




“Ia dihina dan dihindari orang, seorang yang penuh kesengsaraan dan yang biasa menderita kesakitan; ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.”
(Yes. 53:5)

“Ia telah ada di dalam dunia dan dunia dijadikan oleh-Nya, tetapi dunia tidak mengenal-Nya. Ia datang kepada milik kepunyaan-Nya, tetapi orang-orang kepunyaan-Nya itu tidak menerima-Nya.”
(Yoh. 1:10-11)




Suka tidak suka, mau tidak mau, dunia kita sedang diliputi oleh berbagai peristiwa menyedihkan, mulai kematian, bencana alam, terorisme, huru-hara di Timur Tengah, dll. Tema penderitaan dan kejahatan yang merajalela di dunia ini telah menjadi tema penting yang ditanyakan oleh orang-orang dunia yang melawan Allah. Ada dua reaksi yang muncul dari dunia tentang penderitaan. Ada agama yang percaya bahwa hidup adalah penderitaan. Agama ini percaya bahwa penderitaan muncul karena adanya keinginan/nafsu, sehingga agar lepas dari penderitaan, manusia harus meniadakan keinginannya (yang jahat). Sedangkan di sisi lain, mereka yang tidak beragama langsung bertanya sinis, “Jika Allah ada, mengapa ada kejahatan?” Pertanyaan ini bahkan pernah diucapkan oleh seorang mantan penginjil, Charles Templeton (rekan pelayanan Billy Graham) yang akhirnya menjadi seorang agnostik (tidak tahu apakah Allah itu ada atau tidak), namun tetap mencintai Yesus. Templeton akhirnya tidak percaya Alkitab lagi setelah melihat dan merenungkan gambar seorang wanita miskin di Afrika yang mengharapkan hujan turun, namun hujan tidak turun juga. Dari gambar itu, ia mulai berpikir bahwa jika Allah ada, maka Ia tentu akan memberikan hujan kepada wanita ini. Ada apa sebenarnya di balik pertanyaan, “Jika Allah ada, mengapa ada kejahatan?”

Tentu mereka TIDAK akan pernah bertanya, “Jika Allah ada, mengapa ada kebaikan?”, karena mereka berpikir bahwa kebaikan itu harus ada tanpa Allah harus eksis/ada. Dengan kata lain, mereka hendak mengatakan bahwa kebaikan itu TIDAK tergantung apakah Allah itu ada atau tidak, namun fakta kejahatan dan penderitaan langsung diasosiasikan dengan keberadaan Allah. Di sinilah, kegagalan cara berpikir manusia berdosa yang sok pandai. Kegagalan kedua, mereka bisa mengatakan “kejahatan”, berarti di dalam benak mereka, ada kebaikan dan kejahatan, tolong tanya, apa standar mereka mengatakan kebaikan dan kejahatan? Apakah kebaikan dan kejahatan itu mutlak atau relatif? Jika mutlak, apa standarnya? Jika relatifnya, apakah berarti tidak ada standarnya? Jika tidak ada standarnya, pernyataannya yang mengatakan bahwa kebaikan dan kejahatan itu relatif pun JUGA tidak boleh dijadikan standar! Yang paling aneh, jika para penganut paham hukum alam (hukum karma) ditanya tentang standar baik dan jahat, mereka akan berkata hati nurani (aspek internal), tetapi hati nurani standarnya apa? Mereka berkata, standarnya lingkungan (aspek eksternal). Pertanyaan lebih lanjut, jika waktu itu hanya ada manusia pertama saja yang eksis di dunia, mungkinkah lingkungan alam yang MATI dapat membentuk sebuah hati nurani? Mereka pasti mengalami gang buntu dalam menjawab hal ini karena mereka telah membuang Allah. Kegagalan ketiga, para pencetus ide ini sebenarnya enggan percaya kepada Allah sejati karena baginya, kalau Allah itu ada, Ia harus melenyapkan semua kejahatan dan penderitaan. Kalaupun ia mau percaya kepada Allah, ia hanya mau percaya kepada “ilah” yang bisa diperintah. Bukankah ini suatu keanehan logika: percaya kepada yang “tidak terbatas” namun dibatasi oleh manusia? Jadi, yang “tidak terbatas” ini benar-benar tidak terbatas atau tidak terbatas secara semu?

Sebagai orang Kristen, kita memang harus mengakui realitas penderitaan dan Allah TIDAK selalu melenyapkan penderitaan di dunia ini. Namun, dari manakah munculnya penderitaan dan kejahatan? Lalu, benarkah anggapan para penentang Allah bahwa Allah masa bodoh dengan penderitaan dan kejahatan? Alkitab dengan jelas mengajarkan bahwa Allah menciptakan dunia ini (termasuk manusia) dan Ia mengatakan ciptaan-Nya itu sungguh amat baik (Kej. 1:31). Berarti kebaikan sejati langsung dikaitkan dengan Allah sebagai Sumbernya. Manusia ciptaan-Nya yang diperintahkan-Nya untuk menaati apa yang difirmankan-Nya malahan membangkang dan pembangkangan itulah yang disebut dosa. Dosa itulah yang mengakibatkan munculnya penderitaan dan kejahatan di dunia ini. Hal ini dapat dilihat ketika manusia pertama menyadari bahwa diri mereka telanjang, lalu mereka menyalahkan pihak lain (Adam menyalahkan Hawa dan Hawa menyalahkan ular), kemudian keturunan mereka langsung membunuh (Kain membunuh Habel—Kej. 4:1-16), dan terakhir di Kejadian 6, ketika kejahatan manusia makin merajalela, Alkitab menyatakan, “maka menyesallah TUHAN, bahwa Ia telah menjadikan manusia di bumi, dan hal itu memilukan hati-Nya.” (Kej. 6:6) Jika dosa mengakibatkan penderitaan dan kejahatan, apakah Allah masa bodoh dengan penderitaan dan kejahatan? TIDAK. Dari kitab Kejadian saja, kita telah melihat bahwa Allah yang mengetahui manusia jatuh ke dalam dosa langsung memberikan solusinya, “TUHAN Allah membuat pakaian dari kulit binatang untuk manusia dan untuk isterinya itu, lalu mengenakannya kepada mereka.” (Kej. 3:21) Dari sini, kita belajar bahwa Allah bukan hanya mengerti penderitaan manusia akibat dosa, tetapi juga menyediakan solusi AWAL terhadap penderitaan dengan membunuh binatang, lalu membuatkan pakaian untuk dikenakan oleh Adam dan Hawa. Selanjutnya di dalam perjalanan bangsa Israel, ketika mereka diperbudak di Mesir, Allah bukan hanya mengerti penderitaan mereka, tetapi juga membebaskan mereka dengan mengutus Musa dan Harun. Ketika bangsa Israel kelaparan dan kehausan dalam perjalanan keluar dari Mesir menuju ke Tanah Kanaan, Allah mengerti penderitaan mereka dengan menyediakan roti mana dan air. Di dalam Alkitab Perjanjian Lama saja kita telah mendapati banyak fakta tentang Allah yang bukan hanya peduli dengan penderitaan, namun juga menyelesaikannya.

Namun, manusia yang dipelihara-Nya bukan bersyukur malahan mengomel terus dengan menuding Allah sebagai sumber kejahatan! Itulah DOSA! Puji Tuhan, Allah itu Kasih dan di dalam kasih dan keadilan-Nya, Ia tidak menghukum semua manusia, namun menyelamatkan beberapa dari mereka dengan mengutus Putra Tunggal-Nya, Tuhan Yesus Kristus untuk menebus dosa-dosa mereka. Kristus itu sendiri adalah wujud langsung Allah yang bukan hanya mengerti realitas penderitaan manusia, namun mengalaminya sendiri dan menanggungnya. Mulai dari kehidupan-Nya, Alkitab sudah mencatat, “Ia tidak tampan dan semaraknyapun tidak ada sehingga kita memandang dia, dan rupapun tidak, sehingga kita menginginkannya.” (Yes. 53:2) Bahkan di dalam Yohanes 1:10-11, Yohanes mengatakan bahwa Kristus yang telah menciptakan dunia ini dan datang kepada manusia, namun tidak ada manusia yang mengenal dan menerima-Nya. Coba renungkan betapa menderitanya Pemilik dan Pencipta alam semesta yang mengunjungi dunia ini, namun TIDAK ada yang meresponi kedatangan-Nya itu. Bukan hanya tidak meresponi kedatangan-Nya, malahan banyak manusia menghina dan menghindari-Nya (Yes. 53:3a), bahkan, “ia sangat dihina, sehingga orang menutup mukanya terhadap dia dan bagi kitapun dia tidak masuk hitungan.” (Yes. 53:3b). Namun, Ia TIDAK membuka mulut-Nya sedikitpun untuk mengutuki mereka atau menghujat Bapa. Ketaatan Kristus kepada Bapa diakhiri dengan kematian-Nya di atas kayu salib untuk menebus dosa manusia. Dengan kata lain, salib adalah satu-satunya bukti bahwa Allah sendiri yang menanggung penderitaan terbesar umat manusia yaitu DOSA (mengutip perkataan Prof. Peter Kreeft, Ph.D. yang dikutip oleh Rev. Lee Strobel, Pembuktian akan Kebenaran Iman Kristiani, hlm. 55). Mengapa harus disalib? Karena hanya dengan disalib yang merupakan hukuman terberat pada zaman Romawi itu, darah Kristus tercurah dan “tanpa penumpahan darah tidak ada pengampunan.” (Ibr. 9:22)

Di dalam darah-Nya yang kudus itu, dosa-dosa manusia pilihan-Nya ditebus dan diampuni, pelanggaran-pelanggaran kita dihapus, hubungan kita dengan Allah diperdamaikan, dan kita dibenarkan di hadapan Allah, sehingga dengan penuh syukur, kita bisa berkata seperti Rasul Paulus, “Demikianlah sekarang tidak ada penghukuman bagi mereka yang ada di dalam Kristus Yesus.” (Rm. 8:1) Penderitaan dan kejahatan terbesar umat manusia yaitu DOSA telah lunas dibayar dan diselesaikan oleh karya penebusan Kristus di kayu salib dan itulah satu-satunya bukti Allah yang sejati BUKAN Allah yang cuek dengan penderitaan dan kejahatan manusia, namun Dia adalah Allah yang benar-benar memperhatikan penderitaan manusia bahkan yang terbesar sekalipun.

Jika Allah memperhatikan dan menyelesaikan penderitaan terbesar umat manusia yaitu dosa, maka Ia juga memperhatikan dan menyelesaikan penderitaan lain umat manusia, namun cara penyelesaian-Nya TIDAK bergantung pada cara manusia yang terbatas, tetapi dengan cara Allah yang di luar pikiran manusia. Dunia selalu menginginkan cara instan untuk lepas dari penderitaan, namun Allah menggunakan cara proses (panjang) untuk menyelesaikan penderitaan. Kembali ke contoh Templeton yang melihat foto wanita Afrika yang menghendaki hujan turun, apakah menurut kita, Allah harus langsung menurunkan hujan? Bagi saya: TIDAK. Mengapa? Karena jika Allah HANYA memperhatikan kebutuhan 1 manusia saja lalu menurunkan hujan, bagaimana dengan kondisi manusia lain di negara lain yang sedang mengalami kebanjiran? Jika Allah menurunkan hujan, nanti manusia lain di negara lain yang mengalami kebanjiran tersebut juga akan mengomel, mengapa jika Allah ada, Ia tidak menghentikan hujan? Jadi, apa yang harus Allah lakukan: menurunkan atau menghentikan hujan? Manusia benar-benar membingungkan, apalagi mereka yang memuja hukum alam (hukum karma) tambah membingungkan dan aneh. Puji Tuhan, Allah sejati TIDAK pernah dibingungkan oleh manusia yang membingungkan!

Proses panjang Allah menyelesaikan penderitaan ingin mengajar kita bahwa Allah menghendaki yang terbaik bagi umat-Nya (Rm. 8:28). Bapa gereja Augustinus mengatakan, “Karena Allah adalah kebaikan yang tertinggi, Dia tidak akan mengizinkan kejahatan apa pun ada dalam karya-karya-Nya, kecuali bahwa keMahakuasaan-Nya dan kebaikan-Nya adalah sedemikian rupa sehingga memunculkan kebaikan, bahkan dari dalam kejahatan.” (seperti dikutip oleh Rev. Lee Strobel, Pembuktian Atas Kebenaran Iman Kristiani, hlm. 53) Ia mungkin membuat seseorang menjadi buta, namun Ia pasti memiliki rencana-Nya yang lebih agung. Contoh, Ia membuat mata Fanny J. Crosby menjadi buta, namun Ia memakai Crosby menjadi salah satu penggubah lagu rohani terkenal. Contoh lain, Pdt. Dr. Stephen Tong yang pada waktu berusia 3 tahun tidak memiliki ayah dan harus hidup susah beserta saudara-saudara dan ibunya ternyata sedang dipersiapkan Tuhan untuk memanen jiwa-jiwa yang terhilang agar mereka kembali kepada Kristus dengan iman yang bertanggung jawab. Penderitaan di tangan Allah yang berdaulat dan berpribadi akan menjadi penderitaan yang bermakna demi hormat dan kemuliaan Allah dan juga bagi kebaikan manusia.

Bagaimana dengan kita? Menjelang Jumat Agung, biarlah Salib kembali memfokuskan kita kepada karya penebusan Kristus yang menyelesaikan semua penderitaan dan kejahatan manusia. Amin. Soli Deo Gloria.

ADA APA DI BALIK SALIB?-2:
Salib, Penderitaan, dan Perintah Untuk Menderita bagi Kristus

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Lalu Yesus berkata kepada murid-murid-Nya: "Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku.”
(Mat. 16:24)



Di awal renungan Ada Apa Di Balik Salib?-1, kita telah merenungkan bahwa salib Kristus adalah bukti nyata bahwa Allah bukan hanya peduli pada penderitaan manusia, tetapi juga mengalami sendiri penderitaan terberat sepanjang zaman. Kristus disalib selain karena kehendak Allah Bapa juga karena kebebalan hati manusia yang melawan Allah. Oleh karena itulah, Ia menyadari bahwa manusia yang menyalibkan Kristus adalah manusia yang sama juga akan menyalibkan mereka yang mengikut Kristus, sehingga Ia mempersiapkan hati para murid dan mereka yang mengikut-Nya dengan berfirman, “Setiap orang yang mau mengikut Aku, ia harus menyangkal dirinya, memikul salibnya dan mengikut Aku. Karena barangsiapa mau menyelamatkan nyawanya, ia akan kehilangan nyawanya; tetapi barangsiapa kehilangan nyawanya karena Aku, ia akan memperolehnya.” (Mat. 16:24-25) Dengan kata lain, barangsiapa yang hendak mengikut Kristus, ia harus sadar bahwa karena Kristus disalib demi menebus dosa manusia, maka pengikut Kristus pun harus meneladani apa yang Kristus kerjakan, yaitu rela menderita demi nama-Nya. Penderitaan apa yang harus dialami oleh umat-Nya?


Pertama, penderitaan diri. Di dalam Matius 16:24, Tuhan Yesus mengajar kita bahwa setiap orang yang mau mengikut-Nya harus menyangkal diri. Menyangkal diri adalah penderitaan pertama kita yang harus kita tanggung. Artinya, pada saat kita memutuskan untuk mengikut Kristus, hal pertama yang harus kita lakukan adalah menyerahkan hati dan seluruh kehidupan kita kepada Kristus dengan mempersilahkan Kristus bertahta sebagai Raja dan Pemilik mutlak dan tunggal hidup kita. Ketika hati kita diserahkan kepada Kristus, berarti konsekuensi logisnya adalah bukan kehendak kita yang terutama, tetapi kehendak-Nya. Itulah arti menyangkal diri! Jujur, secara teori, kita mudah mengucapkan dan mengajarkan bahwa kehendak Allah itu yang terutama, namun secara praktik hidup, kita sering kali susah menjalankannya. Mengapa? Karena sejujurnya, hati kita belum 100% diserahkan kepada Kristus. Marilah kita periksa kembali hati kita, benarkah hati kita sudah diserahkan kepada Kristus? Atau mungkin juga, keinginan duniawi dan pencobaan setan sering kali membawa kita jauh dari menghambakan diri di bawah kaki Kristus. Kita memang tidak boleh selalu menyalahkan orang lain dan pihak luar sebagai penyebab kita tidak mengikuti kehendak-Nya, tetapi tentu hal ini tidak berarti kita mengabaikan godaan luar. Kita harus peka terhadap godaan luar dengan cara TIDAK menganggap sepele setiap pencobaan. Saya teringat pada perkataan bijak dari Pdt. Yohan Candawasa, S.Th. bahwa pencobaan perzinahan itu terjadi tidak langsung, tetapi pelan, namun ketika sudah terjadi, kita baru menyadarinya dan tidak bisa lepas darinya. Setelah peka akan pencobaan, maka kita memerlukan solusi terhadap pencobaan tersebut yaitu melawan pencobaan dengan iman kepada Kristus! Kristus yang mati disalib demi menebus dosa-dosa umat-Nya dan setelah itu bangkit memberikan jaminan kepastian kepada kita bahwa dengan kuasa-Nya, kita mampu mengalahkan setiap pencobaan setan!


Kedua, penderitaan hidup. Setelah menyangkal diri, Ia memerintahkan kita untuk memikul salib. Di dalam Lukas 9:23, dr. Lukas menambahkan kata “setiap hari.” Berarti, ada harga yang harus dibayar oleh pengikut Kristus setiap harinya. Ini berarti pengikut-Nya harus menderita hidup setiap hari demi mengikut-Nya. Penderitaan hidup itu bisa berupa fitnahan, penganiayaan, dll. Di dalam Perjanjian Lama, para nabi yang diutus Tuhan sudah mengalami penderitaan ini dengan tidak didengarkan perkataan Tuhan melalui mereka, bahkan mereka ada yang dibunuh. Sampai di Perjanjian Baru, Kristus yang diutus Bapa juga disalibkan, demikian juga para rasul: Paulus, Petrus, dll. Pada masa gereja mula-mula, Kekristenan dianiaya habis-habisan: dibakar hidup-hidup, diumpankan ke singa yang kelaparan, dll. Puncak penganiayaan waktu itu adalah pada zaman pemerintahan Kaisar Nero (tidak heran, Nero sekarang menjadi nama anjing, hehehe:)). Setelah itu, Kekristenan mendapat angin segar dengan diakuinya Kekristenan sebagai agama negara oleh Kaisar Konstantinus bahkan kaisar Konstantinus sendiri menjelang akhir hidupnya sungguh-sungguh menerima Kristus. Saat itulah, orang Kristen sejati (anak-anak Tuhan) kembali menderita hidup, bukan karena penderitaan fisik, tetapi karena melihat makin hari banyak orang Kristen makin hidup tidak beres dan tidak menurut Kristus. Oleh karena itulah, beberapa orang Kristen baik di Barat (Athanasius dan Benedict of Nursia) maupun Timur (Anthony) mencoba mempraktikkan hidup menderita bagi Kristus dengan mendirikan biara-biara di luar daerah perkotaan. Meskipun ada dampak positifnya, namun mereka tidak menyadari bahwa semakin sedikit orang Kristen sejati dan orang pandai di daerah perkotaan, karena mereka yang pintar dan rohani mengungsi ke biara-biara. Dari konsep biara inilah, muncullah konsep pemerintahan gereja yang terpusat yang melahirkan konsep Bishop yang dimulai di Roma. Di abad Modern, ketika Kekristenan sudah dicemari oleh filsafat Yunani dan praktik-praktik tidak beres (korupsi, dll), maka Dr. Martin Luther dibangkitkan oleh Tuhan untuk mereformasi gereja. Saat itulah, Dr. Luther harus menderita demi kebenaran dengan mengungsi ke berbagai tempat untuk menerjemahkan Alkitab dan memberitakan kebenaran firman Tuhan. Semangat Dr. Luther diteruskan oleh Ulrich Zwingli dan Dr. John Calvin.

Penderitaan orang Kristen sejati berlanjut kembali kira-kira di abad XVII-XVIII, ketika abad Pencerahan yang beridekan Rasionalisme, Empirisme, Deisme, dll sampai munculnya “theologi” liberal dari Friedrich Schleiermacher, Albert Ritschl, dll menyerang Kekristenan dari aspek rasio. Namun puji Tuhan, Ia membangkitkan para intelektual Kristen menyerang pemikiran mereka, salah satunya Dr. John Gresham Machen, dll. Dan di abad postmodern ini, kita juga melihat penderitaan hidup serupa, di mana iman Kristen mendapat perlakuan tidak baik, namun atheisme dibiarkan berkembang begitu rupa (diskriminasi iman). Di Indonesia, pembangunan gedung gereja begitu sulit dengan birokrasi yang berbelit-belit dan lama, namun pembangunan tempat ibadah agama mayoritas tidak perlu semuanya itu. Di zaman ini, ketika kita hendak menyebutkan iman Kristen di dunia perkuliahan, maka kita akan dicap aneh, sok religius, dll, bahkan tidak menutup kemungkinan dosen atau teman kita akan menceramahi kita, “agama dan sains tidak ada hubungannya.”


Ketiga, penderitaan progresif dan gabungan. Setelah memerintahkan kita untuk memikul salib, Ia memerintahkan kita untuk mengikut-Nya. Apa arti mengikut Kristus? Artinya adalah mengikut-Nya kapan dan di mana pun Dia berada sambil meneladani dan menaati apa yang difirmankan-Nya. Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div. mendefinisikan mengikut Kristus dengan kata: ngintil (bahasa Jawa; artinya: seperti anak kecil yang selalu mengikut ke mana mamanya pergi). Ketika kita ngintil Kristus, kita harus menderita secara progresif dan gabungan, di mana kita harus siap menderita secara terus-menerus dengan menghadapi tantangan dan pencobaan dari luar sambil menderita secara diri yaitu dengan mengatakan TIDAK kepada kehendak kita dan selalu mengatakan YA kepada kehendak-Nya. Dengan selalu mengingat bahwa kita harus menderita terus-menerus demi Kristus, kita sadar bahwa yang sedang kita ikuti dan teladani adalah Tuhan Yesus Kristus yang adalah Raja, Allah, Pemilik, dan Juruselamat dunia. Tidak ada pendiri agama mana pun seperti Tuhan Yesus yang berhak menuntut pengikutnya menderita bagi namanya. Inilah yang membedakan Kristus dengan pendiri agama dan filsafat apa pun sekaligus menunjukkan keagungan dan kemuliaan Kristus.


Bagaimana dengan kita? Biarlah menjelang Jumat Agung, kita diingatkan kembali betapa pentingnya penderitaan Kristus di salib dan betapa harusnya kita sebagai pengikut-Nya meneladani-Nya dengan ikut menderita bagi nama-Nya demi kemuliaan-Nya. Amin. Soli Deo Gloria.

ADA APA DI BALIK SALIB-3: Salib, Penderitaan, & Awal Kemenangan Di Balik Penderitaan (Denny Teguh Sutandio)
Renungan Menjelang Jumat Agung 2011



ADA APA DI BALIK SALIB?-3:
Salib, Penderitaan, dan Awal Kemenangan Di Balik Penderitaan

oleh: Denny Teguh Sutandio



“Tetapi dia tertikam oleh karena pemberontakan kita, dia diremukkan oleh karena kejahatan kita; ganjaran yang mendatangkan keselamatan bagi kita ditimpakan kepadanya, dan oleh bilur-bilurnya kita menjadi sembuh.”
(Yes. 53:5)




Salib Kristus menghantarkan kita untuk merenungkan bagaimana sebagai pengikut-Nya, kita pun harus menderita bagi-Nya. Namun penderitaan yang harus kita tanggung demi mengikut-Nya bukanlah penderitaan biasa, namun penderitaan mulia. Saya menyebutnya penderitaan mulia, karena di dalam penderitaan itu terkandung tujuan mulia dan pengharapan adanya kemenangan mutlak bagi anak-anak Tuhan yang sungguh beriman di dalam-Nya. Dengan kata lain, kita mampu berkata seperti yang Paulus katakan, “Sebab aku yakin, bahwa penderitaan zaman sekarang ini tidak dapat dibandingkan dengan kemuliaan yang akan dinyatakan kepada kita.” (Rm. 8:18) Ada kemuliaan kekal yang pasti tersedia bagi anak-anak Tuhan meskipun harus didahului oleh penderitaan. Inilah jawaban iman Kristen terhadap problematika penderitaan. Ketika agama lain berputar terus tentang penderitaan dan solusinya, maka HANYA Kekristenan menyediakan satu-satunya jalan keluar yaitu beriman di dalam Kristus, maka penderitaan pasti berakhir dengan kemenangan total.


Pertanyaan selanjutnya, mengapa kita bisa beriman demikian? Apakah ini sebuah ilusi semu seperti yang dikatakan oleh Karl Marx yaitu seperti candu? BUKAN! Mengapa? Karena pengharapan kemenangan atas penderitaan kita didasarkan pada pengharapan pasti di dalam Kristus yang telah mati (dan bangkit) yang telah dibuktikan di dalam sejarah (iman Kristen bisa dipertanggung jawabkan secara historis)! Kematian Kristus di salib bukanlah kekalahan-Nya, tetapi justru awal kemenangan-Nya, karena:
Pertama, Ia mati bukan karena dosa-Nya, tetapi demi dosa-dosa kita. Kebanyakan orang, bahkan para pemimpin agama, meninggal di dalam dosa-dosa mereka, namun HANYA Kristus saja yang mati disalib bukan karena dosa-dosa-Nya, tetapi demi dosa-dosa umat-Nya. Dengan kematian-Nya di kayu salib, itu membuktikan tugas-Nya menebus dosa umat-Nya telah selesai dan dengan demikian, itu berarti semua dosa umat-Nya telah ditanggungkan kepada Kristus. Dan itu juga membuktikan kuasa dosa, iblis, dan maut TIDAK ada daya apa pun dalam hidup umat-Nya. Kalau kita memperhatikan film The Passion of the Christ, di situ dipertontonkan, ketika Kristus selesai mengucapkan “Sudah selesai” dan menyerahkan nyawa-Nya, di dunia lain, yaitu iblis langsung berteriak kalah. Mel Gibson sangat cerdas menggambarkan hal ini: kematian-Nya merupakan kemenangan awal yang nantinya memimpin kepada kemenangan demi kemenangan.

Kedua, Ia mati bukan karena terpaksa, tetapi karena rela demi menebus dosa umat pilihan-Nya, meskipun iblis berusaha mencobai-Nya selama itu. Saya teringat akan khotbah MP3 Pdt. Bigman Sirait yang berjudul 7 Fakta Salib, di situ beliau memaparkan bahwa kematian-Nya bukan menunjukkan bahwa Allah kita lemah dan tak berdaya, tetapi kematian-Nya merupakan kematian-Nya yang rela. Jika kematian-Nya bukan kematian yang rela, maka tidak ada seorang pun yang sanggup menahan-Nya. Bagaimana tidak, kuasa-Nya begitu dahsyat. Perhatikan Yohanes 18:4-6, “Maka Yesus, yang tahu semua yang akan menimpa diri-Nya, maju ke depan dan berkata kepada mereka: "Siapakah yang kamu cari?" Jawab mereka: "Yesus dari Nazaret." Kata-Nya kepada mereka: "Akulah Dia." Yudas yang mengkhianati Dia berdiri juga di situ bersama-sama mereka. Ketika Ia berkata kepada mereka: "Akulah Dia," mundurlah mereka dan jatuh ke tanah.” Perkataan-Nya saja sanggup membuat orang banyak mundur dan jatuh ke tanah, apalagi kalau mereka berani menahan-Nya, apa yang bakal terjadi nantinya? Tetapi Ia rela menyerahkan nyawa-Nya demi menebus dosa manusia.

Ketiga, kematian-Nya menunjukkan ketaatan-Nya mutlak kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Kerelaan kematian-Nya disebabkan karena Ia taat mutlak kepada Bapa yang telah mengutus-Nya. Ia bisa saja melarikan diri ketika hendak disalib, namun itu tidak dilakukan-Nya, karena Ia taat kepada perintah Bapa.


Karena kematian-Nya di salib menjamin kemenangan kita atas penderitaan, maka apa yang harus kita lakukan tatkala kita menderita?
Pertama, memfokuskan iman dan pengharapan kita kepada Kristus. Penderitaan selalu mengalihkan fokus iman kita kepada penderitaan itu sendiri, sehingga makin kita menderita, makin kita jauh dari Allah. Kematian Kristus menyadarkan kita bahwa biarlah Kristus menjadi fokus iman dan pengharapan kita, karena kehadiran Kristus di dalam penderitaan bukan kehadiran pribadi yang tak pernah menderita, tetapi kehadiran Pribadi yang paling menderita di bumi ini. Hal ini seperti yang dikatakan penulis surat Ibrani, “Sebab oleh karena Ia sendiri telah menderita karena pencobaan, maka Ia dapat menolong mereka yang dicobai.” (Ibr. 2:18) Terlalu banyak pemimpin agama yang berkoar-koar tentang penderitaan, tetapi mereka tidak pernah mengalami penderitaan berat, melainkan mereka malah hanya mencicipi sedikit penderitaan, langsung pergi ke dunia lain. Tetapi Kristus TIDAK demikian! Dari lahir sampai mati, Ia merasakan penderitaan dan bahkan penderitaan paling berat. Pada waktu lahir, Ia lahir di kandang binatang (bandingkan dengan kelahiran pendiri agama lainnya). Ia hidup sebagai anak tukang kayu (bandingkan dengan kehidupan pendiri agama lain yang berasal dari keluarga kerajaan). Kehadiran-Nya banyak dimusuhi bahkan anehnya oleh para pemimpin agama yang seharusnya menerima-Nya. Kematian-Nya begitu tragis yaitu disalib yang merupakan hukuman terberat pada zaman Romawi. Oleh karena Ia telah mengalami penderitaan dan bahkan terberat, maka Ia adalah satu-satunya yang layak kita imani tatkala kita menderita.

Kedua, melihat Kristus ada di dalam setiap penderitaan. Karena kita percaya bahwa Kristus yang pernah menderita akan menolong kita yang menderita, maka kita percaya bahwa Kristus pasti ada di dalam setiap penderitaan kita, meskipun seolah-olah Ia tidak mengulurkan tangan-Nya secara langsung untuk menolong kita. Kita percaya bahwa kehadiran-Nya memimpin dan menguatkan kita di dalam penderitaan, sehingga kita dimampukan-Nya untuk menderita bagi-Nya. Mengapa Paulus tetap tegar dan kuat di dalam memberitakan Injil? Apakah itu karena karakternya yang memang seorang tegas dan keras? Tentu tidak! Di Roma 7, ia memaparkan kepada kita tentang pergumulannya dengan dosa yang ada di dalam dirinya. Pergumulan itu bagi Paulus merupakan penderitaan berat yang bisa disamakan dengan penderitaan eksternal (bdk. renungan Ada Apa Di Balik Salib-2 tentang macam-macam penderitaan Kristen). Ketika menderita diri/internal itu, Paulus menyadari bahwa Kristus adalah jawaban final bagi pergumulan penderitaan internalnya (Rm. 7:25). Kristus jugalah yang menguatkan Paulus ketika ia sempat merasa berat dalam pelayanan (bdk. Kis. 23:11). Bahkan Ia sendiri menguatkan hati para murid, rasul, dan kita melalui Roh Kudus ketika mereka dan kita berada di dalam penderitaan. Di dalam Injil Lukas, hal ini dikatakan-Nya sebanyak 2x, yaitu di Lukas 12:11-12, “Apabila orang menghadapkan kamu kepada majelis-majelis atau kepada pemerintah-pemerintah dan penguasa-penguasa, janganlah kamu kuatir bagaimana dan apa yang harus kamu katakan untuk membela dirimu. Sebab pada saat itu juga Roh Kudus akan mengajar kamu apa yang harus kamu katakan.” dan di Lukas 21:12-15, “Tetapi sebelum semuanya itu kamu akan ditangkap dan dianiaya; kamu akan diserahkan ke rumah-rumah ibadat dan penjara-penjara, dan kamu akan dihadapkan kepada raja-raja dan penguasa-penguasa oleh karena nama-Ku. Hal itu akan menjadi kesempatan bagimu untuk bersaksi. Sebab itu tetapkanlah di dalam hatimu, supaya kamu jangan memikirkan lebih dahulu pembelaanmu. Sebab Aku sendiri akan memberikan kepadamu kata-kata hikmat, sehingga kamu tidak dapat ditentang atau dibantah lawan-lawanmu.” Kesemuanya ini sudah jelas bahwa Ia selalu ada bersama-sama dengan umat-Nya ketika umat-Nya menderita, bahkan Ia menjamin di Lukas 21:16-18, “Dan kamu akan diserahkan juga oleh orang tuamu, saudara-saudaramu, kaum keluargamu dan sahabat-sahabatmu dan beberapa orang di antara kamu akan dibunuh dan kamu akan dibenci semua orang oleh karena nama-Ku. Tetapi tidak sehelaipun dari rambut kepalamu akan hilang.” Penderitaan seberat apa pun yang harus ditanggung umat-Nya karena nama Kristus TIDAK akan melebihi kekuatan umat-Nya (bdk. 1Kor. 10:13). Inilah bukti jaminan bahwa Kristus pasti ada di dalam penderitaan umat-Nya. Masihkah kita kuatir ketika kita menderita?

Ketiga, melihat Kristus yang memberi kemenangan sebagai akhir penderitaan. Kita bukan hanya melihat Kristus hadir di dalam penderitaan kita, tetapi kita juga melihat Kristus yang menang dan memberi kemenangan mutlak kepada umat-Nya yang terus bertahan di dalam penderitaan. Kemenangan apa saja? Pertama, kemenangan di Sorga. Dalam ucapan bahagia, Kristus sendiri berfirman, “Berbahagialah kamu, jika karena Aku kamu dicela dan dianiaya dan kepadamu difitnahkan segala yang jahat. Bersukacita dan bergembiralah, karena upahmu besar di sorga, sebab demikian juga telah dianiaya nabi-nabi yang sebelum kamu."” (Mat. 5:11-12) Ia berjanji akan memberikan kita upah di Sorga bagi kita yang sudah menderita bagi nama-Nya. Tidak hanya itu, Tuhan melalui Paulus mengajar kita, “Seperti ada tertulis: "Oleh karena Engkau kami ada dalam bahaya maut sepanjang hari, kami telah dianggap sebagai domba-domba sembelihan." Tetapi dalam semuanya itu kita lebih dari pada orang-orang yang menang, oleh Dia yang telah mengasihi kita.” (Rm. 8:36-37) Kita bukan hanya diberikan upah di Sorga, bahkan kita disebut sebagai lebih dari para pemenang, karena Kristus yang telah menang dan memberi kita kemenangan demi kemenangan. Cukupkah kemenangan di Sorga? TIDAK. Kemenangan kita juga bisa sedikit dicicipi dan dilihat dampaknya ketika di dunia. Perhatikanlah sejarah gereja. Ketika gereja makin dihambat perkembangannya, gereja bukan makin sedikit, tetapi makin meluas, sehingga ada istilah yang menggambarkan hal ini: makin dibabat, makin merambat. Penganiayaan terhadap Kristen baik di Roma dahulu maupun di negara-negara komunis sekarang misalnya di RRT bukan mengecilkan jumlah pengikut Kristus, tetapi justru membuat para pengikut Kristus bertambah banyak berlipat kali ganda. Ini semua membuktikan bahwa Kristus yang kita percayai adalah Allah yang hidup dan dahsyat yang memberi kemenangan bagi umat-Nya yang menderita.

Keempat, mengarahkan hati kita untuk taat. Kemenangan Kristus di salib yang juga memberi kemenangan kita hendaklah TIDAK membuat kita terbuai, lalu lupa apa yang harus kita kerjakan. Memang di dalam penderitaan, ada Kristus di sana dan Ia pasti memberi kemenangan bagi kita, tetapi jangan lupa satu hal, di dalam penderitaan itu, kita dituntut Tuhan untuk taat pada pimpinan-Nya. Sebagaimana Kristus taat kepada Bapa dan itu mengakibatkan kematian-Nya di kayu salib menjadi awal kemenangan-Nya, maka ketaatan kita kepada-Nya merupakan awal kemenangan kita di dalam penderitaan. Ketaatan berarti siap mengatakan YA kepada kehendak Tuhan dan TIDAK kepada kehendak diri. Dengan kata lain, di dalam ketaatan harus ada unsur menyangkal diri demi menggenapkan kehendak-Nya. Mengapa perlu ketaatan dan menyangkal diri? Karena ketika kita menderita, pasti ada godaan yang mengakibatkan kita nantinya mungkin berkompromi dan akhirnya meninggalkan-Nya. Hal itulah yang Kristus alami, namun puji Tuhan, Ia berhasil melewati semuanya karena Ia taat pada Bapa. Biarlah kemenangan Kristus atas segala macam godaan itu menjadi teladan bagi kita untuk juga menang terhadap godaan di dalam penderitaan.

Kelima, mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Allah. Ketaatan yang dibarengi menyangkal diri ditunjukkan salah satunya dengan tidak menonjolkan diri ketika sudah dan sedang mengalami penderitaan. Sering kali saya mengamati beberapa orang Kristen yang sudah (dan sedang) mengalami banyak penderitaan, lalu menyombongkan diri di depan orang lain bahwa ia sudah menderita, lalu menghina mereka yang belum menderita. Seharusnya anak Tuhan sejati yang diizinkan Tuhan menderita bukan malahan sombong, tetapi bersyukur dan kemudian mengembalikan segala kemuliaan hanya bagi Allah Tritunggal. Mengapa? Karena mereka mengetahui bahwa penderitaan diizinkan-Nya bukan demi kehebatan mereka, tetapi untuk menguji iman mereka dan pada akhirnya memuliakan-Nya. Jangan sekali-kali mengambil kemuliaan-Nya dan menggantikannya dengan kemuliaan diri, karena jika kita berbuat demikian, sambil kita menderita, kita semakin menghina Allah yang ingin menguji iman kita. Berwaspadalah. Makin kita menderita bagi Kristus, makin kita rendah hati di hadapan-Nya karena kita menyadari bahwa tanpa-Nya, kita tidak ada apa-apanya dan tidak bisa berbuat apa-apa.


Bagaimana dengan kita? Ketika kita menderita demi Kristus, masihkah kita memiliki pengharapan iman di dalam Kristus dan kemenangan yang Dia janjikan? Masihkah kita taat pada-Nya dan memuliakan-Nya di dalam penderitaan kita? Biarlah renungan singkat ini boleh menyadarkan kita untuk terus memuliakan-Nya di dalam setiap aspek kehidupan kita sehari-hari. Amin. Soli Deo Gloria.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar