Matius 16:1-4: THE MESSIAHSHIP OF CHRIST: THE SIGN (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)
Ringkasan Khotbah: 14 Oktober 2007
Messiahship of Christ: The Sign
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 16:1-4
Tema utama dari Injil Matius pasal 16 adalah Kemesiasan Yesus Kristus, the Messiahship of Christ. Lembaga Alkitab Indonesia membaginya dalam empat segmen dan hari ini kita akan merenungkan segmen pertama dimana segmen pertama ini berkaitan erat. Tuhan bukanlah Tuhan yang jauh di sana tetapi Ia berinkarnasi datang ke dunia untuk menyelamatkan manusia berdosa. Dengan demikian kita mendapatkan suatu gambaran utuh tentang Kristus Tuhan dan Mesias dalam tugas dan kepribadian-Nya.
Orang Farisi dikenal sangat religius, saleh dan percaya Allah namun ironis, mereka justru melawan Tuhan. Mereka tidak memahami esensi agama sejati tetapi agama tidak lebih humanistik, orang memanipulasi Tuhan demi kepentingan diri. Manusia dicipta oleh Tuhan harusnya kembali pada Sang Pencipta dan taat mutlak pada Sang Pencipta sebagai Allah yang berdaulat. Perhatikan, kedaulatan Allah tidak bersifat diktator, Dia tidak mencipta kita seperti robot dan mengatur setiap langkah dan gerak kita. Tidak! Kedaulatan Allah adalah manusia yang memahami Firman dengan pengertian yang tepat bahwa Tuhan itulah Raja di atas segala raja yang berdaulat lalu dengan kesadaran penuh dan hati yang penuh cinta kasih kita taat dan melakukan semua Firman-Nya. Sebagai anak Tuhan sejati, Firman Tuhan itu harusnya menjadi dasar dan terimplikasi dalam seluruh aspek hidup kita namun hal itu tidaklah mudah, banyak hal bertentangan dengan dunia.
Kembali orang Farisi berusaha mencobai Tuhan Yesus dan kali ini ia bersekongkol dengan orang Saduki. Padahal kedua golongan ini sangat bertentangan tetapi mereka bisa bersepakat dan bersatu ketika menghadapi Tuhan Yesus. Dalam sejarah bangsa Israel terdapat 3 golongan besar, yakni: 1) golongan Farisi, orang yang sangat ekstrim religius dan anti politik. Mereka sangat sengit melawan pemerintahan khususnya pemerintahan Herodes dan Romawi. Orang Farisi berpendapat Israel harusnya diperintah secara theokratis dimana Allah Yahweh sebagai pemegang pemerintahan atas orang-orang Yahudi seperti dalam konsep Perjanjian Lama; 2) golongan Saduki, kelompok Yahudi liberal, mereka mengkompromikan aspek agama dengan politik. Mereka percaya, orang Yahudi seharusnya merdeka tetapi mereka tidak pernah memikirkan pemerintahan Yahudi sebagai pemerintahan yang theokratis. Orang Saduki percaya Allah tetapi mereka tidak percaya kebangkitan pada orang mati. Agama hanya berjalan di dunia sekarang dan setelah mati, kehidupan pun berhenti. Perbedaan yang sangat drastis secara metafisika dengan orang Farisi yang percaya adanya kebangkitan. Kedua golongan ini berdiri secara agama tetapi mempunyai theologi yang berbeda itulah sebabnya mereka selalu bertentangan, 3) golongan Herodian, murni bergerak di politik, tidak berurusan dengan agama bahkan cenderung anti agama, mereka hanya peduli kekuasaan. Ketiga golongan ini tidak pernah saling akur namun ironis, golongan Farisi dan golongan Saduki bersatu untuk menghadapi Tuhan Yesus. Bagi orang Farisi, Tuhan Yesus dianggap terlalu liberal karena melanggar semua peraturan atau adat istiadat yang telah ditetapkan dan bagi orang Saduki, Tuhan Yesus dianggap terlalu religius karena Ia percaya akan kebangkitan orang mati.
Maka celakalah kita kalau mau menyenangkan semua orang, kita lebih mirip seperti bunglon dan akhirnya, kita akan menjadi musuh semua orang. Karenanya, kita harus kembali pada kebenaran sejati maka kita tidak akan mudah tergoyahkan meski diserang dari segala arah. mendapatkan hidup sejati. Manusia hidup bukan ditentukan oleh orang lain tetapi hidup manusia ditentukan oleh kebenaran Allah. Celaka kalau hidup kita ditentukan oleh sesuatu yang relatif, kita akan diombang-ambing berbagai permainan palsu yang licik dan menyesatkan kemudia berakhir dengan kebinasaan. Kristuslah satu-satunya kebenaran; Ia telah memproklamasikan kebenaran, menghidupkan kebenaran, membuktikan kebenaran dan menyatakan kebenaran di tengah dunia.
Sebelumnya orang Farisi menyerang Tuhan Yesus karena Ia dianggap telah melanggar Taurat maka sekarang kembali mereka menyerang Kemesiasan Kristus. Mereka meminta tanda yang menyatakan bahwa benar Ia adalah Mesias. Istilah tanda, hari ini banyak digunakan oleh orang Kristen; dalam hal apapun selalu meminta tanda dari Tuhan. Ingat, Christianity not build by experience. Dunia ingin mendapatkan kebenaran dan sesuatu itu dianggap benar dilihat dari 4 aspek, yakni: 1) rasionalisme, segala sesuatu dianggap benar kalau cocok dengan logika. Pertanyaannya adalah seberapa besarkah rasio kita? Apakah semua yang rasional menurut kita itu pasti benar? Tidak! Sebab banyak aspek sifatnya supra rasional. Rasio hanyalah sarana untuk melihat kebenaran. Rasio lebih kecil dan lebih rendah dari kebenaran maka ia tidak berhak menentukan kebenaran. Dunia sangat terjebak dengan konsep ini, akibatnya dunia sulit menerima hal kebangkitan Tuhan Yesus atau Tuhan Yesus berjalan di atas air – agama dikunci di aspek logika, 2) empirisme, kebenaran tergantung dari pengalaman. Pertanyaannya adalah apakah setiap orang mempunyai pengalaman yang sama? Tidak! Lalu bagaimana mungkin kebenaran ditentukan oleh pengalaman? Pengalaman siapakah yang berhak sebagai penentu kebenaran? Pengalaman hanyalah sarana sebab banyak pengalaman yang bersifat negatif. Apakah kita perlu mencoba mengalami terlebih dahulu kalau jatuh dari lantai 20 pasti akan mati? Tidak, bukan? Kalau semua aspek harus kita alami celakalah hidup kita. Truth is not according to the experience, knowledge is not according to the experience but knowledge is back to the Truth in Words, 3) subyektifisme, 4) otorianisme. Untuk dua aspek terakhir ini tidak akan dijelaskan lebih detail.
Sesungguhnya, Tuhan Yesus telah memberikan banyak tanda mulai dari kelahiran-Nya, ketika Ia dibaptis, khotbah di atas bukit, orang buta dicelikkan, orang lumpuh berjalan, dan masih banyak lagi tanda yang semuanya sangat jelas tetapi mereka tidak pernah melihat semua tanda itu sebab mereka menetapkan diri sebagai subyek penentu kebenaran. Manusia ingin menjadi tuan atas kebenaran. Inilah kegagalan iman di titik pertama. Jelaslah, kalau orang sudah tidak mau percaya pada Kristus maka ia tidak akan pernah mengerti kebenaran sejati selama hidupnya, hal ini sangat dipahami oleh Agustinus dan ditajamkan oleh Anselmus lalu ditegaskan kembali oleh Calvin. Hanya kembali pada Allah dan kebenaran-Nya sajah kita akan memahami tentang kebenaran dan semua akan ditambahkan padamu. Agustinus menegaskan iman adalah yang utama dan rasio seperti “pembantu“ dimana iman itulah “tuan.“ Pernyataan yang tajam diungkapkan oleh Anselmus, credo ut intelligum, i believe than i understand. Sebaliknya, dunia menyatakan mengerti dulu baru mau percaya maka tidaklah heran kalau orang tidak pernah memahami kebenaran sejati. Inilah kebebalan manusia.
Percaya itu menjadi kunci utama maka seluruh kepercayaan itu akan membangun seluruh pengertian yang sejati. Pengertian yang sejati hanya ada dalam Firman Tuhan saja. Iman menentukan semua hal. Seorang rasionalis yang percaya pada rasio maka ia akan mendapatkan semua pengertian yang berbasiskan rasionalis. Untuk hal-hal yang sifatnya irasional maka selamanya, ia tidak akan pernah mengerti. Maka percuma semua tanda kalau orang tidak mau percaya pada Kristus Tuhan, sebanyak apapun tanda tidak akan membuat mereka percaya. Orang hanya mau tanda yang cocok dengan pemikirannya. Ketika orang Farisi dan Saduki menuntut jawaban dari Tuhan Yesus maka Tuhan Yesus menyindir dengan satu kalimat tajam tentang tanda pada alam (Mat. 16:2-3). Tuhan Yesus tidak merasa perlu memberikan tanda pada orang bebal. Hanya satu hal yang Tuhan Yesus tegaskan yakni tanda Yunus lalu Tuhan Yesus pun meninggalkan mereka pergi.
Orang Palestina umumnya hidup dari pertanian, peternakan dan perikanan sehingga mereka sangat bergantung pada alam dan cuaca karena itu menentukan nasib mereka. Demi kepentingan diri, orang mau belajar namun untuk kepentingan orang lain, orang tidak peduli. Inilah sifat manusia berdosa, hanya mementingkan diri dan tidak pernah peduli orang lain. Hal yang sama diperlakukan pada Tuhan Yesus, mereka meminta tanda yang sesuai dengan keinginan dan kepentingan diri. Tuhan Yesus tidak memberikan tanda itu sebab sesungguhnya, mereka tidak pernah mau mengerti tanda. Pertanyaannya bagaimana respon kita? Kita mau mengikut iblis atau Tuhan? Iblis pasti akan memberikan tanda itu yang seperti yang kita minta. Hari ini tanpa sadar, Kekristenan telah masuk dalam format iblis, mereka menyeleweng dari Firman Tuhan; orang hanya berpikir humanistik. Orang tidak berpikir seperti Kristus berpikir, tidak mempunyai perasaan seperti perasaan Kristus – orang hanya mempunyai perasaan senasib sebagai sesama orang berdosa. Ironisnya, ketika orang berdosa dibukakan akan realita bahwa kita adalah orang berdosa, orang menjadi marah. Yang menjadi pertanyaan sekarang adalah apakah iman yang sejati? Apakah yang dimaksud dengan tanda sejati?
Tanda apapun tidak akan membuat orang percaya sebab titik permasalahan adalah iman percaya. Apakah kita mau merombak seluruh pemikiran kita untuk percaya mutlak pada Kristus? Inilah iman sejati. Tuhan Yesus sedang mengajak kita untuk merombak cara berpikir dengan demikian kita tidak hanya mengerti Kristus sebagai Tuhan tetapi kita juga mengerti konsep Mesianik secara total. Mesias berarti Juruselamat, Dia yang diurapi datang untuk menyelamatkan manusia. Mesias sangat dinantikan oleh bangsa Israel namun mereka tetap tidak dapat mengerti kalau Mesias itu telah datang di depan mata bahkan telah menuntaskan tugas Kemesiasan-Nya dan kembali ke sorga, mereka tetap tidak mengerti Kristus adalah Mesias bahkan sampai hari ini mereka masih menantikan Mesias sebab Mesias yang datang tidak sesuai dengan harapan mereka.
Matius 16:1-4 mengajarkan pada kita satu hal, yakni credo ut intelligum, believe than understand. Orang harus percaya mutlak pada Firman, back to the Bible. Ketaatan berarti kembali pada kebenaran sejati dan apapun yang tidak kita suka tetap harus taat dan hal ini sangat sulit bagi orang Kristen sebab pada dasarnya, manusia adalah manusia berdosa dan pemberontak Allah. Sebagai Kristen sejati, kita harus taat mutlak pada Allah Sang Pencipta karena Ia adalah Tuhan di atas segala tuhan. Iman kepercayaan pada Kristus itulah dasar dan pondasi yang menentukan seluruh cara berpikir kita yang selama ini diisi oleh konsep berdosa.
Mengapa Kristus sebagai satu-satunya yang sah? Ada tiga aspek, yakni:
1. Kristus adalah Kebenaran absolut
Kalau orang mau melawan Kristus maka dengan mudah orang bisa mengatakan Kristus bukanlah kebenaran absolut dan tidak percaya pada-Nya maka percuma semua tanda atau pembuktian apapun diberikan sebab di titik awal orang sudah tidak percaya. Tanda apapun dan bagaimanapun akan dilawan maka orang tidak pernah mendapatkan jawaban. Kunci utama dan terpenting adalah percaya mutlak. Namun orang tidak mau percaya dan ingin menjadi penentu kebenaran, segala sesuatu dianggap benar kalau menurut dia benar. Itu bukan kebenaran sejati.
3. Kristus adalah verifikator
Kristus adalah Tuhan atas alam semesta, Dia adalah kebajikan tertinggi, summum bonum maka Dia berhak dan layak menjadi penentu absolut apapun yang ada di dunia, menentukan baik/tidak baik, benar/tidak benar, suci/tidak suci, mulia/tidak mulia – semua value system, epistemologi dan axiologi di tangan-Nya. Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi maka kalau kita beriman pada-Nya maka itu menjadi suatu kekuatan dalam hidup kita.
2. Kristus adalah otoritas final
Semua otoritas di bawah boleh berpendapat benar tapi kalau Sang otoritas tertinggi berkata “salah” maka semua yang benar tadi adalah salah. Sebagai contoh, pada suatu perusahaan, kepala staf, kepala departemen, manajer bersepakat dan setuju namun kalau komisaris tertinggi sebagai penentu tertinggi, tidak setuju maka semua otoritas di bawahnya gugur dengan sendirinya. Itu hanya contoh kecil dari suatu perusahaan sebab Kristus adalah pemegang otoritas tertinggi dari semua otoritas di dunia. Penentuan terakhir berada di tangan Kristus, tidak peduli apakah kita suka atau tidak suka, Dia yang menentukan semua. Dia adalah penuntun dan pemimpin langkah hidup kita maka kalau kita kembali pada Dia, alangkah indah hidup kita, hidup kita menjadi jelas ketika kita melangkah karena kita berpaut pada kebenaran sejati. Celakalah kalau kita mentautkan hidup kita pada iblis, kita akan binasa. Orang yang hidup berpaut pada Kristus akan takut untuk berbuat dosa, orang akan berusaha keras untuk hidup dalam kebenaran; ketika ia melakukan hal yang salah maka ia akan merasa risih. Firman selalu mengingatkan kita, seperti rem yang mengerem kita. Berbeda halnya kalau orang berpaut pada iblis, bapa segala penipu maka segala sesuatu yang ia kerjakan yang sifatnya berdosa, orang tidak merasa bersalah atau berdosa. Dunia tidak takut pada esensi dosa, dunia hanya takut pada akibat dosa, seperti hukuman-hukuman yang akan diterima, dan lain-lain. Selama orang hanya takut pada akibat dosa dan tidak kembali pada penentu Allah yang final maka seluruh perbuatan dosa dapat dianulir, seluruh perbuatan jahat bisa diabaikan dan hal itu akan menjadikan kita berdosa.
Tanda Yunus menjadi tanda unik, refleksi Kemesiasan Kristus – Kristus akan mati, disalib dan tiga hari, Ia akan tinggal dalam perut bumi dan bangkit pada hari ketiga. Inilah pertama kali, Kristus membuka misi Mesias. Mesias yang hadir berbeda dengan konsep Mesias yang dimengerti oleh orang berdosa. Dalam konsep bangsa Israel, Mesias yang hadir akan menjadi Raja, keturunan Daud yang bertahta dan menguasai Kerajaan sampai menguasai seluruh wilayah Salomo bahkan lebih daripada itu, yakni kerajaan itu haruslah sebesar Kerajaan Romawi Raya. Ternyata, Mesias yang hadir berbeda total dari konsep mereka; Mesias lahir di kandang, menderita sengsara dan hina, bermahkota duri, naik ke kayu salib, mati dan bangkit. Tuhan sedang membukakan suatu status yang sangat unik tentang kehadiran-Nya, Dia datang bukan untuk dilayani melainkan melayani dan menjadi tebusan bagi banyak orang. Inilah misi Mesianik.
Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita dapat percaya dan beriman pada Kristus, kita dibukakan dan mengerti akan kebenaran sejati bahwa Kristus adalah Mesias. Pertanyaannya sekarang adalah apakah kita seorang Kristen sejati? Seorang Kristen sejati akan beriman sejati – taat mutlak pada Kristus sebagai kebenaran mutlak, otoritas final dan penentu yang sah. Hendaklah kita mengevaluasi diri kita seberapa jauhkan kita mengerti ”tanda”? Sudahkah hidup kita bertaut pada Kristus Sang Kebenaran sejati? Amin.
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20071014.htm
Posted by Denny Teguh Sutandio at 2:37 PM 229 comments
Labels: Eksposisi Alkitab (Injil Matius) oleh Pdt. Sutjipto Subeno
14 June 2009
Matius 15:29-39: LORDSHIP AND COMPASSION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)
Ringkasan Khotbah: 07 Oktober 2007
Lordship & Compassion
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 15:29-39
Tema utama Injil Matius adalah the Lordship of Christ, Kristus adalah Tuan atas segala tuan dan kita hanyalah budak. Seorang budak harus taat mutlak, tidak punya hak apapun atas diri, yang ada hanyalah kewajiban. Manusia berdosa tidak suka menjadikan Kristus sebagai Tuan atas seluruh aspek hidupnya, karena mereka ingin menjadi “tuhan.“ Matius telah membukakan pada kita dua macam orang yang sangat kontras, yakni: 1) orang Farisi yang dianggap saleh dan religius ketika bertemu dengan Tuhan malah mau mengatur bahkan melawan Tuhan. Inilah kerusakan religiusitas. Keagamaan semu hanya memanipulasi Tuhan dan menjadikan Tuhan sebagai alat untuk memenuhi keinginannya, 2) seorang perempuan Kanaan kafir, kaum marginal yang disisihkan oleh dunia namun Tuhan Yesus justru memuji dia karena ia memiliki iman yang besar (Mat. 15:28).
Hari ini banyak orang yang mengaku Kristus sebagai Tuhan namun sekedar di mulut saja sebab realitanya, orang memanipulasi Kristus demi keuntungan diri. Seorang anak Tuhan sejati harusnya menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Aku. Inilah iman sejati – rela menanggalkan keinginan diri bahkan menderita bagi Sang Tuan dan taat mutlak padaNya. Namun tidak banyak orang yang mau melakukannya, orang hanya ingin memanipulasi Tuhan, ingin berkat saja. Iman sejati tidak tergantung status sosial, kedudukan atau status religiusitas dari manusia. Muncul pandangan yang salah tentang siapakah manusia, yakni: 1) dunia yang hedonis berpandangan manusia tergantung dari apa yang ia makan, 2) manusia tergantung dari apa yang ia kerjakan atau lakukan, 3) pandangan yang paling tinggi adalah manusia tergantung dari apa yang ia pikirkan. Ketiga pandangan itu tidaklah sebanding dengan pengajaran Kekristenan, ykani manusia dikatakan sebagai manusia ketika ia tahu bagaimana bereaksi dan bertindak dengan tepat di hadapan Tuhan. Inilah inti dari iman sejati. Pertanyaan sekaligus menjadi evaluasi bagi setiap kita yang mengaku Kristen adalah sudahkah kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh hidup kita?
Hari ini kita akan merenungkan bagian akhir yang menjadi kesimpulan dari injil Matius 15:29-39. Sepintas kedua perikop ini tidak saling berkaitan, LAI (Lembaga Alkitab Indonesia) memecahnya menjadi dua bagian yang berbeda. Kedua perikop ini saling berkaitan erat. Kedua peristiwa itu, yakni peristiwa dimana Tuhan Yesus menyembuhkan orang lumpuh, timpang dan berbagai penyakit lain dengan Tuhan Yesus membuat mujizat memberi makan ribuan orang itu terjadi pada satu tempat yang sama. Setelah perdebatan sengit yang terjadi antara orang Farisi dan Tuhan Yesus maka untuk sementara waktu, Tuhan Yesus menyingkir ke daerah utara, Tyrus dan Sidon, dari sana Tuhan Yesus menyusur kembali lagi Galilea dan Ia berada di ujung sebelah utara danau Galilea. Ia pun mulai mengajar dan ribuan orang datang untuk minta disembuhkan. Dan dari sana, ia ke Magadan, satu wilayah dengan pantai Galilea. Jadi semua tempat itu jelaslah masih berada dalam satu wilayah yang sama. Adalah tafsiran yang salah kalau orang mengatakan bahwa Yesus pergi ke utara untuk bersembunyi dari orang-orang Farisi. Kalau Tuhan Yesus sembunyi, lalu kenapa 4000 orang bisa menemukan Tuhan Yesus untuk minta disembuhkan.
Perjumpaannya dengan Tuhan Yesus menyadarkannya akan hal yang esensi, yakni iman sejati. Dan setelah anak perempuan itu sembuh yang terjadi adalah orang banyak datang kepada Yesus dan membawa orang sakit untuk disembuhkan oleh-Nya. Mereka datang kepada Tuhan Yesus bukan karena iman perempuan Kanaan itu tetapi karena kesembuhan yang diterima oleh anak perempuan itu. Inilah jiwa manusia berdosa. Alkitab mencatat ada empat macam penyakit yang dikategorikan sebagai recreated atau tindakan penciptaan kembali. Mujizat orang buta melihat dan orang bisu disembuhkan tidak pernah ada dalam PL sebelumnya dan hal itu membuktikan Yesus adalah Mesias. Timpang dan lumpuh merupakan dua penyakit yang tidak bisa diselesaikan dengan mujizat biasa. Orang yang lumpuh kakinya pasti mengecil karena lama tidak pernah dipergunakan sebagaimana mestinya maka untuk mendapat kesembuhan berarti kakinya harus dipulihkan, kembali seperti asal. Hari ini kita menjumpai orang lumpuh berjalan namun semua itu hanyalah impulse sesaat sebab beberapa hari kemudian, ia kembali menjadi lumpuh. Recreation activity membuktikan satu hal yakni Kristus adalah Allah atas alam semesta. Demikian juga halnya dengan orang timpang, timpang berarti kakinya tidak sama panjang maka orang timpang yang disembuhkan berarti kedua kakinya harus sama panjang dan itu berarti, ia harus mengalami recreation. Dan hal ini tidak mungkin dikerjakan oleh manusia itulah sebabnya orang menjadi takjub dan memuliakan Allah Israel. Hanya Tuhan Yesus yang mampu melakukannya karena Ia adalah dasar dari segala ciptaan (Yoh. 1:3). Firman adalah pencipta dan Firman menghasilkan ciptaan dan ciptaan itu adalah kehidupan. Iblis bisa melakukan apa saja yang sepertinya mirip Tuhan namun satu hal yang membedakan adalah iblis tidak dapat menjadikan sesuatu yang mati menjadi hidup atau menciptakan benda yang tidak ada menjadi ada. Iblis hanya bisa membuat benda yang hidup menjadi mati. Kalau kita mau mencoba memilah bagian demi bagian dari sel tubuh kita dan kemudian kita gabungkannya kembali bisakah kita membuatnya hidup? Tidak! Manusia hanya bisa mematikan yang hidup bukan sebaliknya. Hak menghidupkan hanya ada dalam Kristus. Kristus adalah Tuhan berkuasa atas alam semesta. Sangatlah disayangkan, hari ini orang hanya menangkap sebagian ayat tanpa melihat secara keseluruhan. Maka tidaklah heran kalau orang hanya ingin kesembuhan dan cukup hanya dengan berkata “Puji Tuhan.“ Mereka hanya mendapatkan kegirangan sesaat, euforia tetapi di sisi lain, mereka kehilangan inti iman sejati. Melihat orang banyak itu kegirangan, Tuhan Yesus tidak ikut merasa senang tetapi Tuhan Yesus melakukan semua itu karena Ia tergerak oleh belas kasihan. Matius sangat unik mengkontraskan kedua hal ini, bagaimana men-Tuhankan Kristus? Men-Tuhankan Kristus berarti kita mengenal dan memahami siapakah Kristus dan bagaimana kita bereaksi terhadap Kristus:
1. Kristus adalah Tuhan Alam Semesta
Kristus adalah pencipta seluruh alam semesta harusnya menjadikan kita mengerti siapakah Kristus tetapi celakanya, orang tidak pernah berpikir untuk kepentingan Kristus tetapi hanya berpikir untuk kepentingan diri sendiri. Sadarlah, kita bukanlah siapa-siapa di hadapan Tuhan karena itu kita harus taat mutlak pada Dia yang adalah Allah sejati. Kita harus memutar arah dan berbalik pada Kristus karena Dia adalah Allah sejati. Orang banyak berkonsep tentang Tuhan namun semua itu hanya sekedar konsep yang sifatnya teori. Kristus telah membuktikan diri-Nya adalah Allah sejati. Kristus melihat orang begitu egois hanya ingin menarik keuntungan dari-Nya namun apa yang Ia lakukan tidak pernah bergantung pada reaksi manusia. Allah sejati adalah Allah yang beraksi. Kalau Tuhan bergantung pada reaksi manusia maka Dia bukan Allah sejati, Dia tidak lebih pembantu kita. Allah sejati tidak pernah merasa terganggu oleh ulah reaksi manusia. Tindakan Allah tidak tergantung dari manusianya. Bayangkan, kalau Tuhan bertindak tergantung dari reaksi manusia, setiap saat “allah“ pasti berulang kali dikejutkan oleh perbuatan kita. Kristus adalah Allah sejati maka kita harus taat mutlak pada-Nya. Kalau kita tidak mengerti konsep ini maka janganlah pernah terpikir bahwa kita adalah orang beragama dan kita sedang beriman. Tidak! Kita sedang mempermainkan iman. He is the true Lord. Tuhan Yesus tahu kalau tidak lama lagi mereka akan berteriak untuk menyalibkan Dia. Kalau Tuhan Yesus mau menyembuhkan mereka dan memberi mereka makan itu bukan demi mereka sendiri tetapi demi kemuliaan-Nya.
2. Memiliki hati Kristus
Orang tidak mau kembali pada Allah sejati karena orang telah kehilangan rasa percaya, trust bahkan celakanya, manusia telah kehilangan rasa belas kasihan, compassion. Tuhan Yesus telah memberikan teladan indah pada kita, Ia melakukan semua mujizat itu karena tergerak oleh belas kasihan. Hari ini sangat jarang orang yang punya rasa belas kasihan, semua yang mereka kerjakan demi keuntungan diri. Pernahkah kita tergerak oleh rasa belas kasihan ketika melihat jiwa-jiwa yang terhilang? Kalau kita tidak punya hati yang berbelas kasih jangan pernah berpikir kita dapat menginjili orang lain. Ketika manusia begitu egois justru saat itu Tuhan mendemostrasikan bagaimana hati yang berbelas kasih (Mat. 15:32). Yang menjadi pertanyaan adalah siapakah yang seharusnya patut dikasihani, Tuhan Yesus ataukah orang banyak itu? Mereka hanya duduk dan mendengar pengajaran Yesus, mereka mendapat kesembuhan sebaliknya Tuhan Yesus mengajar dan berbicara selama 3 hari, Ia juga menyembuhkan ribuan orang. Manakah yang seharusnya lebih layak dikasihani? Mereka tidak pernah peduli apakah Tuhan Yesus lapar atau letih. Tidak! Mereka hanya mementingkan diri sendiri.
Alkitab mencatat ada beberapa roti dan ikan namun mereka tidak pernah mempedulikan keadaan Tuhan Yesus yang letih setelah mengajar selama 3 hari berturut-turut, mereka hanya ingin dikenyangkan. Inilah jiwa manusia berdosa bahkan sampai hari ini kita manusia tidak berubah , orang tidak pernah bertanya apa yang menjadi kehendak Tuhan dan apa yang menjadi keinginan hati Tuhan. Tidak! Orang hanya peduli dirinya sendiri dan ironisnya, ketika Tuhan tidak menuruti keinginan mereka, orang langsung mengatakan Tuhan jahat. Tuhan adalah Tuhan yang penuh berbelas kasih, Dia tahu apa yang terbaik untuk kita tetapi apa balasan kita? Tuhan tahu setiap pergumulan kita dibandingkan kita mengerti pergumulan diri kita sendiri. Kita tidak pernah percaya pada-Nya, manusia yang sok tahu ingin mengatur diri sendiri dan merasa lebih baik dari Tuhan. Manusia telah kehilangan rasa kepercayaan. Manusia berdosa yang jahat selalu bertindak dengan semena-mena maka konsep yang sama dikenakan pada Tuhan. Manusia berdosa begitu kejam sebagai tuan di dunia maka orang beranggapan Tuhan pun sama seperti dirinya yang kejam. Kita mempolakan Tuhan seperti halnya diri kita. Inilah jiwa manusia berdosa yang manipulatif yang begitu jahat, tidak pernah punya rasa belas kasihan. Kita hanya ingin Tuhan melakukan apa yang kita suka. Inilah cara manusia mengukur kebaikan dan belas kasihan Tuhan. Hendaklah kita mengevaluasi diri apakah kita mempunyai hati yang berbelas kasihan seperti halnya Tuhan yang berbelas kasih? Sangatlah mengenaskan, di tengah-tengah Kekristenan kita menjumpai seorang yang mengaku “Kristen” tetapi perbuatannya yang berbisnis multi level marketing tidak lebih memancarkan seperti iblis yang tidak punya hati belas kasihan bahkan mencelakakan orang lain demi mendapatkan keuntungan. Celakanya, orang berani mengklaim hal itu sebagai konsep yang diajarkan Tuhan Yesus. Tidak! Tuhan Yesus yang berada di posisi atas justru yang paling menderita, Ia berkorban demi kita. Kristus yang paling atas justru melayani mereka yang berada di bawah. Sebaliknya, cara dunia berbeda justru yang paling atas itulah yang diuntungkan paling banyak dan mereka yang berada di posisi paling bawah justru paling menderita. Celakanya, ketika ditegur dan disadarkan akan kesalahannya, ia tidak berterima kasih dan kembali pada Allah sejati tetapi malah berbalik melawan. Jangan pernah berpikir bahwa Tuhan membutuhkan kita karena kita merasa diri pandai, kaya, cakap. Tidak! Tuhan hanya butuh orang-orang yang remuk hatinya, orang yang mau menyangkal diri, memikul salib dan mengikut Dia. Inilah iman sejati.
Iman sejati itulah yang menghidupkan kita dan merombak seluruh kehidupan kita; iman sejati itulah yang menjadikan kita memandang pada Kristus, peka isi hati Tuhan; apa yang Tuhan inginkan itulah yang kita kerjakan, apa yang membuat Tuhan sedih, kita turut bersedih dan apa yang Tuhan suka itulah yang membuat kita bergirang. Pertanyaan sekaligus menjadi evaluasi bagi kita sudahkah kita mempunyai hati yang berbelas kasih seperti Kristus? Ataukah sebaliknya, apa yang menjadikan Tuhan sedih justru kita merasa senang dan hal-hal yang Tuhan suka, kita justru marah, kita menjadi pemberontak. Lordship of Christ berarti melihat Kristus sebagai Tuhan. Janganlah kita seperti orang Israel yang bergirang karena euforia sesaat tetapi kehilangan esensi iman sejati.
3. Hidup penuh dengan ucapan syukur
Setelah mereka mendapatkan mujizat yang demikian dahsyat, mereka memuji Tuhan namun perhatikan tidak ada rasa ucapan syukur. Alkitab mencatat banyak orang sudah mendapatkan banyak berkat tetapi mereka tidak kembali untuk mengucap syukur pada Tuhan. Orang semakin egois maka orang merasakan kalau semua berkat yang mereka dapat itu sebagai hak dan sebaliknya, kalau mereka mendapat tantangan dan hambatan maka orang mengatai Tuhan itu jahat. Betapa kasihan, orang yang demikian ini hidupnya akan diliputi dengan kekecewaan terus menerus, ia tidak pernah melihat anugerah Tuhan yang penuh melimpah atas hidupnya, ia tidak pernah mengucap syukur. Sadarkah kita betapa besar anugerah Tuhan kalau hari ini kita masih bisa bernafas sampai suatu hari kalau kita tidak dapat bernafas barulah kita menyadari betapa limpah anugerah Tuhan atas hidup kita.
Semasa hidupnya, Pdt. Amin Tjung telah memberikan teladan indah bagi kita bahkan di detik-detik akhir hidupnya, ia masih mempunyai hati yang berbelas kasih pada jiwa-jiwa yang tersesat. Bagaimana dengan hidup kita? Sudahkah kita memiliki hati yang berbelas kasih melihat jiwa-jiwa yang tersesat? Sudahkah kita mensyukuri anugerah Tuhan yang berlimpah atas hidup kita? Celaka, manusia berdosa selalu menyalahkan Tuhan ketika hidupnya menderita dan tantangan itu datang atas kita. Sadarkah manusia, kalau Tuhan tidak ada justru hidup kita akan celaka. Bayangkan, kalau tidak ada Tuhan, seluruh dunia penuh dengan anak-anak iblis yang seluruh pola pikirnya jahat, masihkan kita bisa hidup damai di dunia? Hendaklah kita selalu bersyukur di sepanjang hidup kita, betapa besar dan limpahnya berkat Tuhan atas hidup kita. Banyak hal yang patut kita syukuri atas segala pemberian Tuhan atas hidup kita dan lihatlah bagaimana Tuhan bekerja atas hidup kita. Sungguh ajaib dan dahsyat Tuhan bekerja atas hidup kita. Dia tahu yang terbaik untuk kita, Dia tahu setiap detail untuk anak-anak-Nya. Biarkan Dia yang menata hidup kita, makin kita bersyukur dan bersandar pada-Nya maka hidup itu akan terasa indah.
Ketuhanan Kristus bukanlah bersifat diktator yang jahat. Dia bukanlah Tuan yang jahat. Alkitab berulang kali menegaskan bahwa Tuhan tidak pernah menentang perbudakan bahkan Tuhan sangat mendukung konsep perbudakan. Sebaliknya, Tuhan benci tuan yang jahat karena hal itu sama dengan mencoreng nama Tuhan sebab Tuhan adalah Tuan yang baik. Perbudakan menyadarkan keberadaan kita yang hanyalah seorang budak dan seorang budak yang baik melakukan segala sesuatu untuk Tuannya meskipun sang tuan tidak ada di depannya (Kol. 3:23). Hendaklah kita bertobat dan kembali pada Tuhan yang sejati, Tuhan yang berbelas kasih dan hidup penuh dengan ucapan syukur. Amin.
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20071007.htm
Posted by Denny Teguh Sutandio at 8:07 AM 0 comments
Labels: Eksposisi Alkitab (Injil Matius) oleh Pdt. Sutjipto Subeno
07 June 2009
Matius 15:21-28: THE GREAT FAITH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)
Ringkasan Khotbah: 30 September 2007
The Great Faith
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 15:21-28
Tema utama dari Injil Matius pasalnya yang ke-15 ialah the Lordship of Christ. Iman sejati harus kembali pada obyek sejati, yaitu Kristus Tuhan. Kristus haruslah menjadi yang pertama dan terutama; Dia harus menjadi Tuan di atas segala tuan dalam seluruh aspek hidup kita. Tentu saja, hal ini menimbulkan konflik di tengah orang Farisi yang katanya ”orang beragama dan saleh” namun sesungguhnya, mereka tidak lebih hanyalah orang munafik. Tuhan Yesus menegur mereka dengan keras akan konsep pemikiran mereka namun ironis, para murid malah melihat kebenaran sejati sebagai batu sandungan. Para murid tidak melihat signifikansi kebenaran sejati tetapi pemikiran mereka justru tidak ubahnya dengan pemikiran orang berdosa. Inilah sifat manusia berdosa, merasa senasib sepenanggungan sebagai sesama orang berdosa.
Kesalehan yang diperlihatkan oleh orang Farisi tidak lebih hanyalah kepalsuan belaka. Kebenaran sejati yang dibukakan tidak menjadikan mereka bertobat, mereka malah berbalik melawan Tuhan Yesus. Religiusitas tidak menjadikan orang makin beriman tetapi orang malah menjadi sombong dan jahat. Agama sejati seharusnya merubah seseorang kembali pada Tuhan namun, orang justru menjadi marah ketika ditegur akan dosanya. Sesungguhnya, penyebab kemarahan itu karena ego yang terganggu, kenyamanan yang terusik atau diri dirugikan. Orang yang marah karena dirinya yang terusik menunjukkan betapa kerdil orang tersebut, small man. Tuhan Yesus tidak pernah marah ketika diri-Nya dihinakan atau dirugikan sebaliknya, Tuhan Yesus marah ketika kebenaran dipermainkan, nama Allah dilecehkan, rumah Bapa-Nya dilecehkan dan keadilan diinjak-injak. Inilah kemarahan yang suci. Di dunia ini tidak banyak orang yang mempunyai keanggunan dan keagungan seperti Tuhan Yesus. Orang Farisi yang katanya orang rohani tetapi realita membuktikan, mereka tidak lebih hanyalah orang kerdil. Jelaslah, iman sejati membentuk karakter sejati; iman sejati menghasilkan suatu respon yang berbeda.
Injil Matius mengontraskan dua macam orang yang katanya beriman tetapi memiliki respon yang berbeda. Di satu sisi, orang Farisi, seorang pemimpin agama namun beriman palsu sedang di sisi lain ada seorang perempuan kafir dari Kanaan, kaum marginal yang direndahkan tetapi beriman sejati dan ia mendapat pujian dari Tuhan Yesus. Hanya dua orang kafir yang mendapat pujian dari Tuhan Yesus karena imannya, yakni perwira Roma dan perempuan Kanaan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah iman sejati?
Setelah berdebat panjang dengan orang Farisi, Tuhan Yesus pun menyingkir ke daerah Tirus dan Sidon, kurang lebih 30 km sebelah utara Galilea. Perjalanan yang ditempuh bukanlah perjalanan yang singkat mengingat hari itu, perjalanan dilakukan dengan berjalan kaki. Dan selama perjalanan, Matius mencatat ada satu peristiwa yang sangat dahsyat di tengah perjalanan yang dilakukan oleh Tuhan Yesus. Suatu peristiwa yang kontras dengan peristiwa sebelumnya yang membukakan konsep pemikiran manusia akan perbedaan antara orang beragama dengan orang kafir. Mereka memanipulasi Kristus untuk kepentingan diri berbeda halnya dengan iman yang ditunjukkan oleh perempuan Kanaan. Iman bukan memaksa Tuhan untuk menuruti apa yang menjadi keinginan kita. Iman bukanlah didasarkan pada adat istiadat atau tradisi atau filsafat dunia. Tidak! Iman adalah kembalinya kita pada Ketuhanan Kristus.
Umumnya orang berdosa, perempuan Kanaan ini datang kepada Tuhan Yesus untuk kepentingan diri, yakni ia ingin supaya Tuhan Yesus menyembuhkan anak perempuannya yang sedang kerasukan setan. Namun pertemuannya dengan Tuhan Yesus mengubah seluruh konsep berpikirnya, terjadi pergeseran iman yang sangat signifikan dari purpose bergeser menjadi being. Semula ia hanya melihat hal-hal yang sifatnya duniawi belaka namun setelah bertemu dengan Tuhan Yesus, ia tahu harus seperti apa dan bagaimana menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan menjadi. Inilah konsep iman sejati. Iman sejati bukanlah pada tujuan, faith is for that purpose. Alkitab menegaskan faith is being not purpose. Banyak orang Kristen hari ini yang mau percaya Tuhan kalau tujuan yang ia inginkan tercapai seperti ingin kesembuhan, kaya, dan masih banyak lagi tujuan yang menjadi egois itu sampai akhir. Itu bukanlah iman sejati. Iman sejati berarti mengutamakan Kristus di dalam seluruh aspek hidupnya. Perempuan Kanaan ini di satu pihak mempunyai suatu kebutuhan, yakni anak perempuannya yang kerasukan setan disembuhkan tetapi di lain pihak, ia mempunyai hati yang siap untuk men-Tuhankan Kristus. Andaikata, perempuan ini tidak mempunyai hati itu maka di titik pertama seluruh kisah ini akan berubah menjadi tragedi yang mengenaskan; seorang anak tetap kerasukan dan menderita ditambah lagi dengan seorang ibu yang binasa karena ia menolak Kristus. Kisah ini bukanlah tentang seorang anak yang disembuhkan. Tidak! Tetapi tentang seorang yang beriman dan mempunyai kepercayaan kepada Kristus Yesus. Ketika perempuan ini memusatkan seluruh hidupnya kepada Tuhan, Kristus berada di titik ultimate, paling utama maka pada saat yang sama hidupnya berubah total. Faith is putting Christ in the first and ultimate position. Kalau ada orang yang mengatakan ia beriman tetapi tidak menjadikan Kristus di posisi utama berarti ia sedang memanipulasi Tuhan untuk kepentingan pribadinya. Perhatikan, Tuhan tidak akan peduli ketika kita hanya ingin mendapat keuntungan dari Dia dan pada saat itu, iblis akan mengambil keuntungan dan menawarkan jalan keluar pada kita yang sedang mengalami kesulitan dan penderitaan seperti yang ia pernah lakukan pada Tuhan Yesus sepertinya, iblis memberikan solusi yang begitu mudah, cepat dan legal namun semua itu akan berakhir dengan kebinasaan.
Ada beberapa aspek yang perlu kita perhatikan tentang iman sejati:
1. Mengakui Kristus sebagai Tuhan.
Iman sejati dimulai dengan suatu kerendahan hati dan kerelaan mengakui Kristus sebagai Tuan di atas segala tuan. Tidak banyak orang Israel yang memanggil Kristus sebagai Tuhan namun perempuan Kanaan ini sejak dari pertama, ia memanggil Yesus dengan sebutan Tuhan (Mat. 15:22). Adalah kegagalan iman kalau kita sebagai orang Kristen tidak menyadari siapakah Kristus yang adalah Tuan di dalam hidup kita, Dia adalah yang utama dalam seluruh aspek hidup kita. Hari ini banyak orang mengakui diri sebagai beriman tetapi semua itu tidak lebih hanya sekedar slogan sebab sesungguhnya, dibalik iman tersebut orang hanya ingin apa yang menjadi keinginannya saja. Iman sejati berarti hancurnya seluruh hati di titik yang paling rendah. Iman bukan menjadikan kita menjadi sombong, iman bukan pemaksaan tetapi iman adalah perendahan seluruh hidup kita di hadapan Tuhan. Konsep iman seperti ini tidak ada di seluruh agama di dunia, konsep ini hanya ada di Kekristenan. Iman sejati adalah merendahkan diri sampai di titik yang paling rendah demi supaya Kristus berkuasa atas hidup kita.
Perhatikan, perempuan Kanaan ini terus berteriak meminta tolong, dia tidak henti-henti mengikut Tuhan Yesus demi mendapatkan pertolongan dari Tuhan Yesus. Dan kalaupun Tuhan Yesus bertindak untuk menolong perempuan Kanaan tersebut, itu bukan karena Tuhan tergerak oleh semangat atau kegigihannya. Tidak! Alkitab mencatat Tuhan Yesus sama sekali tidak menggubris perempuan itu malahan para muridlah yang merasa terganggu. Para murid justru mau bertindak lebih cepat dari Tuhan. Inti permasalahan bukan terletak pada kegigihan atau semangat perempuan sebab apa gunanya kegigihan kalau apa yang kita perjuangkan tersebut salah. Ketika perempuan itu terus berteriak, Tuhan Yesus memberikan jawab: “Aku diutus hanya kepada dimba-domba yang hilang dari umat Israel.“ Dunia yang mendengar jawaban Tuhan Yesus pastilah sangat marah dan menganggap Tuhan Yesus sangat diskriminatif, rasis, dan anti kesamarataan. Orang akan pergi dari Tuhan Yesus dan selamanya ia akan binasa. Inilah manusia berdosa. Namun apa yang dilakukan perempuan Kanaan ini sungguh luar biasa meskipun ia “dikasari“ oleh Tuhan Yesus, ia tidak menjadi marah atau protes atau sakit hati sebaliknya ia malah merendahkan dirinya lebih rendah lagi. Inilah iman yang sejati.
2. Hati yang remuk di hadapan Tuhan
Perempuan ini datang kepada Tuhan Yesus dan menyembah; semakin dihina ia justru semakin merendah di hadapan Tuhan. Dia kembali memohon belas pengasihan Tuhan. Penghinaan itu belumlah cukup, kembali Tuhan mengeluarkan suatu kalimat yang bagi dunia sangatlah menyakitkan: “Tidak patut mengambil roti yang disediakan bagi anak-anak dan melemparkannya kepada anjing.“ Bagi dunia, istilah anjing ini pastilah sangatlah menyakitkan. Dan kalau kita yang berada di posisi perempuan tersebut masih bisakah kita beriman? Manusia harusnya sadar, inilah iman sejati. Kalau orang mau sombong, merasa diri hebat maka itulah titik kehancurannya. Tuhan Yesus menuntut hati yang hancur dan remuk di hadapan Tuhan. Kita melihat bagaimana reaksi perempuan ini, ia tidak protes atau meminta penjelasan pada Tuhan Yesus kenapa Tuhan mengatai dirinya sebagai anjing? Tidak! Bahkan dalam bagian ini, ia membenarkan pernyataan Tuhan Yesus: “Benar Tuhan, namun anjing itu makan remah-remah yang jatuh dari meja tuannya.“ Sungguh sangatlah mengharukan dan luar biasa iman perempuan ini, ia menurunkan posisinya di tempat yang paling rendah, ia tidak protes bahkan ia menyamakan dirinya seperti anjing.
Hari ini, kita tidak menjumpai iman sejati bahkan di tengah-tengah Kekristenan. Banyak orang mengaku beriman Kristen tetapi iman yang mereka miliki tidak lebih hanya iman palsu belaka. Bagaimana dengan sikap hidup kita? Ingat, kita hanyalah manusia rendah dan hina, kita bukanlah siapa-siapa, karena itu, kita hanyalah manusia hina, kita hanyalah sampah, kita tidak lebih seperti layaknya anjing karena itu, kita membutuhkan Tuhan Yesus untuk mengampuni dosa kita. Beriman berarti remuknya hati di hadapan Tuhan dan memohon Tuhan untuk membentuk diri kita. Tuhan ingin kita menjadi seperti tanah liat yang hancur lalu dibentuk menjadi ciptaan baru yang indah. Beriman berarti kerelaan hati untuk menundukkan diri di hadapan Tuhan.
Sayang, banyak orang yang tidak mengerti konsep ini, mereka merasa diri hebat dan mempunyai harga diri sehingga tidak mau tunduk dan diubahkan oleh Tuhan maka itu titik awal kehancurannya. Hal ini justru membuktikan bahwa ia tidak lebih hanyalah seorang yang hina, small man. Perempuan ini sadar betul siapa dirinya dan pada saat yang paling hancur, Tuhan Yesus mengangkat dia, Tuhan Yesus memuji dia dan berkata: “Hai ibu, besar imanmu, maka jadilah kepadamu seperti yang kau kehendaki.“ Terkadang, Tuhan memang sengaja menghancurkan kita di titik yang paling rendah dan setelah itu, Ia mengangkat kita namun manusia tidak menyadari akan hal ini, manusia hanya bisa protes dan marah kepada Tuhan; orang menuduh Tuhan tidak adil, jahat dan berbagai macam tuduhan yang lain.
Lihatlah, kisah tentang perempuan kafir yang dipuji oleh Tuhan Yesus karena imannya yang besar ini dicatat di Alkitab dan dibaca oleh seluruh orang di dunia di sepanjang jaman. Rendahkah dia sekarang? Justru ketika ia sadar, ia rendah maka itulah waktu-Nya Tuhan memberikan posisi yang layak untuknya. Inlah iman dan hidup di dalam Tuhan. Kita seringkali tidak mempunyai hati seperti perempuan ini tetapi kita seringkali sok beriman. Hendaklah kita mengevaluasi diri, benarkah kita memiliki iman sejati ataukah kita hanya beriman demi tujuan, purpose. Seandainya, perempuan ini tidak memiliki kerendahan hati yang demikian luar biasa maka kisah ini tidak lebih hanya menjadi sebuah tragedi yang menyedihkan, masih ada anak perempuan yang menderita karena dirasuk setan dan seorang ibu yang berakhir dengan kebinasaan.
3. Menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan.
Tuhan merubah manusia di atas semua result yang pernah kita pikirkan. Perempuan ini datang kepada Tuhan Yesus hanya ingin supaya anak perempuannya disembuhkan tetapi Tuhan mengubahkan apa yang menjadi tujuannya. Tujuan itu tidaklah bernilai kekal sebab orang yang sakit disembuhkan maka suatu hari, ia akan sakit kembali, orang yang kaya suatu hari akan bangkrut maka semua hal yang sifatnya materi dan jasmani tidaklah bernilai kekal. Tuhan ingin memberikan kita lebih daripada sekedar sesuatu yang sifatnya sementara. Tuhan ingin memberikan pada kita hidup ynag bernilai kekal. Iman sejati berubah hidup yang tadinya purpose berubah menjadi being. Saat itulah perempuan ini diubahkan, tidak hanya kesembuhan yang diterima tetapi jiwanya diselamatkan.
Ibu dan anak ini kini mempunyai hidup yang bernilai karena iman sejati yang ditanamkan oleh Kristus Yesus. Iman sejati bukan sekedar mendapat apa yang menjadi keinginan kita tetapi iman sejati merubah seluruh hidup kita menjadi hidup yang bersandar dan taat mutlak dibentuk oleh Tuhan. Iman yang sejati adalah iman yang menggarap totalitas seluruh hidup kita dipimpin oleh Tuhan. Sebagai anak Tuhan sejati, hendaklah kita mempunyai sikap seorang hamba di hadapan Tuhan. Berbeda dengan dunia yang mengajar percaya maka engkau akan mendapat maka sebaliknya, Tuhan mengajarkan hal yang berbeda percaya adalah hancurnya hati kita dan berubahnya kita menjadi seperti apa yang Tuhan inginkan. Percaya bukan mendapat apa yang saya inginkan tetapi percaya mendapatkan apa yang Tuhan beri. Ini merupakan perubahan drastis konsep iman yang sejati.
Hendaklah hidup kita diubahkan menjadi seperti perempuan Kanaan bukan seperti orang Farisi yang sombong. Di hadapan Tuhan, kita tidak lebih hanyalah orang buangan, kita orang binasa tetapi dalam kondisi demikian, Tuhan ingin berubah hidp kita. Dia datang dari sorga mulia ke tengah dunia demi manusia berdosa seperti kita, Dia mau berubah hidup kita supaya kita kembali pada Kebenaran sejati; Dia mati demi supaya kita diselamatkan. Biarlah kita mengevaluasi diri, iman seperti apakah yang kita miliki? Sudahkah kita memiliki iman sejati? Sudahkah Kristus bertahta dan menjadi Tuhan dalam seluruh aspek hidup kita? Amin.
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070930.htm
Posted by Denny Teguh Sutandio at 9:21 AM 0 comments
Labels: Eksposisi Alkitab (Injil Matius) oleh Pdt. Sutjipto Subeno
31 May 2009
Matius 15:12-14: CONTROVERSY OF THE TRUTH (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)
Ringkasan Khotbah: 23 September 2007
Controversy of the Truth
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 15:12-14
Perdebatan sengit antara Tuhan Yesus dan orang Farisi dicetuskan oleh orang Farisi terlebih dahulu; Tuhan Yesus dianggap telah melanggar Taurat, yakni tidak mencuci tangan saat makan. Tuhan Yesus menegur dengan keras mereka telah melawan Allah dan memakai Taurat sebagai alasan. Bukan yang masuk mulut yang enajiskan tetapi yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan. Kotor yang esensial itu asalnya dari dalam hati maka yang semua yang keluar itu menjadi kotor. Sayang, dunia tidak pernah mengerti konsep ini, manusia hanya melihat fenomena luar yang kelihatan bagus. Puji Tuhan, Tuhan tidak melihat fenomena tetapi Dia melihat hati manusia. Ironis, ketika Kebenaran menegur dosa, dunia bereaksi sangat keras, mereka mengatai perbuatan Tuhan Yesus tersebut sebagai batu sandungan. Sebaliknya, ketika orang berdosa mengecam Kebenaran, dunia diam bahkan sepertinya dunia menyetujui dan sangat memahami tindakan mereka karena adanya suatu perasaan senasib sebagai sesama orang berdosa. Orang berdosa yang lain akan menjadi marah dan membela mati-matian ketika ada seorang benar yang berani menyatakan dosa menegur orang berdosa. Jumlah orang benar sangat minoritas sebaliknya orang berdosa mayoritas sehingga perasaan senasib sepenanggungan itu begitu mengikat.
Janganlah tergoda dengan fenomena yang nampak indah, seperti tawaran untuk investasi dalam bentuk saham. Orang tidak sadar permainan saham itu justru akan menghancurkan hidup manusia namun orang tidak sadar malahan bangga dan menaruhnya dalam berita utama di surat kabar. Investasi asing dengan jumlah besar, hampir 200 juta dollar masuk ke Indonesia dalam bentuk SUN (Surat Utang Negara) dan ORI (Obligasi Republik Indonesia). Hal ini akan menjadikan rakyat Indonesia semakin bertambah miskin dan sengsara. Para investor itu pastilah tidak ingin merugi tetapi ingin meraih keuntungan maka kalau mereka berani menanamkan modal sedemikian besar pastilah mereka telah memperhitungkan berapa besar keuntungan yang akan didapatkan. Perhatikan, semua investasi itu bukan dalam bentuk sektor riil yang akan menyejahterahkan penduduk Indonesia. Tidak! Tetapi semua investasi itu dalam bentuknya tidak riil, orang tidak bekerja apa-apa tetapi ingin menarik keuntungan sebesar-besarnya. Rakyatlah yang dirugikan; orang mengambil keuntungan di atas penderitaan orang lain. Inilah dunia berdosa.
Dosa ditutup sedemikian rupa dengan segala sesuatu yang indah sehingga orang tidak lagi dapat melihat kebusukan di dalamnya. Tuhan Yesus menegaskan bukan yang masuk yang menajiskan tetapi yang keluar itulah yang menajiskan. Namun dunia sulit menerima kebenaran yang dinyatakan oleh Tuhan Yesus. Ada beberapa aspek mengapa manusia melihat kebenaran sebagai batu sandungan:
Pertama, Anti Perubahan.. Dunia hanya suka pada apa yang ia suka maka segala sesuatu yang dianggap berlawanan atau mengusik kemapanan, status quo sentak, orang langsung membentengi dirinya bahkan langsung menolak. Tak terkecuali dengan orang Kristen karena kebenaran itu berlawanan dengan konsep pemikiran yang telah tertanam dalam dirinya. Inilah sifat manusia berdosa. Sesungguhnya, bukan karena IQ rendah atau otak yang bodoh sehingga orang tidak dapat mengerti. Tidak! Pengertian akan kebenaran itu barulah didapat setelah orang rela membuka dirinya untuk menerima kebenaran dan diubahkan. Hal ini tidaklah mudah, dibutuhkan waktu dan juga suatu kerelaan untuk dikoreksi oleh Tuhan. Kalau sejak titik pertama, manusia sudah menetapkan status quo maka itu berarti kehancuran dan kebinasaan bagi dirinya. Sayang, orang tidak mempunyai kerelaan hati untuk dibentuk oleh kebenaran dan mempunyai semangat untuk belajar, learning spirit. Sesungguhnya, orang telah mengerti prinsip-prinsip kebenaran, tetapi orang masih terus bertanya dengan kata lain, orang hanya butuh konfirmasi untuk membenarkan apa yang menjadi keinginannya. Maka tidaklah heran ketika Tuhan Yesus Sang Kebenaran menyatakan kebenaran yang sifatnya kontras dan diametris, dunia langsung menolak. Learning attitude harus dimulai dari kerelaan hati untuk dikoreksi. Alangkah indah hidup kita kalau kita hati yang siap untuk diubahkan, kita mempunyai learning spirit, maka kita akan bertumbuh dalam iman.
Kedua, Manusia tidak mengaku salah. Mengakui kebenaran berarti harus menanggalkan konsep lama. Hal itu tidaklah mudah sebab pada saat yang sama kita harus mengakui kesalahan diri dan mengakui di hadapan orang lain; di dunia timur, mengakui kesalahan berarti suatu penghinaan sebab menyangkut harga diri; ada suatu kesombongan pribadi, prideness dalam diri manusia. Inilah sifat manusia berdosa. Manusia merasa diri sebagai kebenaran, the truth. Semangat humanisme ini memuncak yang ditandai dengan pernyataan manusia adalah ”allah.” Manusia bukanlah makhluk sempurna, manusia penuh dengan kesalahan. Dalam hidup ini banyak keputusan yang kita ambil tersebut salah.
Apa dasarnya sehingga kita memutlakkan diri kita sebagai kebenaran? Ironis, orang berani memutlakkan diri sebagai kebenaran mutlak dan menuduh orang lain yang tidak sejalan dengan pemikirannya adalah salah. Manusia adalah makhluk relatif, kita harusnya kembali dan mau diajar oleh Sang Kebenaran sejati yang mutlak adanya. Kesombongan menjadikan kita tidak mau dibentuk oleh Tuhan dan memakai alasan batu sandungan untuk menolak kebenaran. Sesungguhnya, kesombongan itulah yang telah menjadi batu sandungan, kita tidak siap hati untuk menerima kenyataan bahwa kita bukanlah kebenaran, kita hanyalah manusia biasa yang dapat bersalah. Kesombongan membuat manusia tidak mau tunduk di bawah kebenaran-Nya. Inilah yang disebut sebagai true blindness. Biarlah sebagai anak Tuhan, kita menyadari dan mengakui bahwa kita adalah manusia berdosa, kita telah bersalah secara esensi, kita telah memberontak terhadap kebenaran. Kesempurnaan itu hanya milik Tuhan semata. Melawan kebenaran sejati berarti kebinasaan bagi kita. Carilah dahulu Kerajaan Allah dan kebenaran-Nya maka semuanya akan ditambahkan kepada-Mu. Alangkah indah hidup kita ketika kita berada di bawah kedaulatan Allah.
Ketiga, Manusia mau menjadi Tuhan. Konsep manusia yang menganggap diri adalah “allah” menempatkan manusia berada di posisi atas. Salah! Allah yang berada di posisi tertinggi dan manusia harus tunduk di bawah otoritas Allah. Awal abad 20, dunia mulai menyadari betapa jahatnya otorisasi tetapi ironisnya, orang justru masuk di dalamnya. Celakanya, semua orang ingin berkuasa dan menguasai dunia maka pecahlah perang dunia hingga dua kali. Orang mulai menindas dan menghancurkan orang lain. Orang tidak mau tunduk kepada orang lain tetapi ingin menjadikan orang lain yang tunduk kepadanya. Michael Foucault menyadari akan jahatnya suatu otoritas selalu memutlakkan diri dan memutlakkan diri berarti penindasan maka semua otoritas tersebut harus ditiadakan, no authority. Namun pada saat yang sama ia menegakkan kekuasaan diri. Postmodern system memuncakkan self authority dan berada di titik paling puncak yang membuat manusia anti otoritas termasuk otoritas agama dan otoritas Allah. Faith movement mencetuskan otoritas tertinggi berada di tangan manusia dan Allah harus tunduk pada manusia. Dengan kata lain, manusialah sebagai penentu segala sesuatu. Ketika Tuhan Yesus datang dan menyatakan diri “I'm the Lord” maka orang langsung melawan. Manusia modern anti dengan kebenaran. Hati-hati dengan pendidikan modern mengajarkan bahwa anak tidak pernah salah dan guru hanya fasilitator belaka. Ajaran ini dicetuskan Jean Jaques Rousseau yang diadopsi oleh Maria Montesorry. Alkitab menegaskan manusia dicipta, bukan pencipta maka manusia harus tunduk pada Sang Pencipta.
Keempat, Manusia anti doktrin (ajaran). Alkitab berulang kali menyatakan perlunya manusia kembali pada ajaran atau doktrin yang benar. Postmodern system mencoba merasuk pemikiran manusia dengan konsepnya yang anti dengan segala bentuk ajaran tetapi ironisnya, pada saat yang sama justru mereka getol mengajarkan ajaran posmodern. Posmodern menyatakan bahwa bahasa tidak lebih hanya sebuah permainan, language game sebab bahasa tidak menjadikan dunia mengerti apa yang diajarkan. Ironis, di satu sisi, orang menyatakan bahwa doktrin itu tidak penting, bahasa hanya sebuah permainan tetapi tanpa sadar, ia sedang menanamkan doktrin, yakni ajaran akan tidak pentingnya sebuah doktrin dengan bahasa. Tidak cukup sampai disitu, gerakan new age yang dicetuskan dari pemikiran dunia timur mulai merebak hari ini bahkan negara-negara Barat yang mementingkan rasio kini telah terpengaruh dengan ajaran new age. Pertengahan abad 20, dunia Barat menghancurkan diri sendiri dengan ajaran posmodern. Di tengah relativisme, manusia mulai kehilangan positioning, manusia tidak percaya akan kebenaran dan manusia tidak tahu harus berpegang pada siapa? Karena semua dianggap salah termasuk Allah pun dianggap salah; semua kebenaran absolut tidak ada. Seorang bernama Maha Resi Mahesh Yogi menyatakan diri sebagai ”allah” dan “kebenaran” maka dunia Barat yang butuh kebenaran datang ke India, tempat dimana orang-orang menyatakan diri sebagai ”allah dan kebenaran mutlak.” Di tengah-tengah relatifitas, orang butuh kemutlakkan celakanya, orang tidak balik kepada Kebenaran sejati. Orang butuh kemutlakan tetapi sekaligus anti kemutlakan. Inilah dampak dari posmodern yang kawin dengan filsafat timur yang sifatnya humanistik maka jadilah new age movement. Abad 21 menjadi abad new age terbesar. Filsafat timur mulai menguasai dunia barat. Dunia timur dengan permainan supranaturalnya dan emosi yang meledak menguasai rasio akibatnya manusia menjadi anti doktrin. Inilah wajah dunia berdosa.
Empat tahap penghancuran dunia dapat kita lihat dari: 1) konsep unisex, muncul sekitar 25 tahun lalu dimana pria dan wanita mempunyai seragam sama, yakni t-shirt, celana jean dan sepatu kets. Pria dengan rambut panjang dan wanita dengan rambut cepak ala pria, 2) pembalikan posisi, dimana pria memakai pakaian seperti layaknya wanita dengan motif dan model wanita sebaliknya si wanita berpakaian ala pria. Jangan pandang sepele atau remeh akan hal ini, ini bukan sekedar fashion belaka tetapi ada permainan iblis di balik semua ini, 3) homosexual, hari ini para homosexual menuntut hak-hak yang sama seperti layaknya kehidupan normal, yakni pernikahan dan mempunyai anak dan disahkan secara hukum, 4) feminint leadership, penguasaan kepimpinan berada di tangan wanita – saat itu emosi menjadi penentu segala keputusan maka ketika orang tidak memakai rasio lagi, semua peraturan menjadi tidak ada. Iblis yang licik masuk dalam dunia agama, dunia filsafat dan keluarga untuk menghancurkan manusia. Sayangkan, orang tidak menyadarinya, orang tidak kembali pada doktrin yang benar dan mutlak. Firman Tuhan telah memberikan prinsip-prinsip kebenaran pada manusia untuk menjadikan manusia hidup dengan benar dengan demikian orang tidak mudah diombang-ambingkan oleh rupa-rupa ajaran sesat. Back to the sound doctrine. Dunia tidak suka ketika kita bersikap tegas dan menyatakan kebenaran, dunia akan menganggap kita sebagai batu sandungan. Inilah tugas dan panggilan setiap anak Tuhan yang menjadi terang dan garam.
Tuhan Yesus memberikan suatu prinsip kebenaran sejati, yakni:
1. Adalah anugerah kalau orang dapat mengerti kebenaran.
Prinsip Alkitab berbeda dengan prinsip dunia. Setiap tanaman yang tidak ditanam oleh Bapa-Ku yang di sorga akan dicabut sampai akar-akarnya. Bapak-bapak gereja sangat memahami akan hal ini, mereka mengeluarkan satu pernyataan credo ut intelligam dan ajaran reformed menyatakan sebagai predestinasi. Kalau orang dapat mengerti kebenaran titik permasalahan bukan pada batu sandungan atau bukan batu sandungan. Tidak! Tetapi karena anugerah Tuhan semata kalau kita dapat mengerti kebenaran. Tuhan Yesus telah menegaskan tentang hal tersebut, yakni ketika Tuhan Yesus mengajar denga perumpamaan – bukan supaya orang dapat mengerti ajaran dengan mudah. Tidak! Sebab terbukti, mereka tetap tidak mengerti ajaran Tuhan. Tuhan Yesus menegaskan kepada mereka diberikan anugerah untuk mengerti rahasia Kerajaan Sorga sedang kepada mereka, tidak sehingga mereka mendengar tetapi tidak mendengar, mereka melihat tetapi tidak melihat dan tidak mengerti (Mat. 13:10-13). Jadi, jelas disini kalau kita dapat mengerti Firman maka itu merupakan suatu anugerah bukan karena kehebatan atau kepandaian kita. Iman mendahului pengertian maka apologetika bukan upaya menjelaskan supaya orang percaya. Tidak! Percaya dulu barulah kita mengerti kebenaran sejati dan kalau seorang dapat percaya pada Tuhan maka itu semata-mata karena anugerah, Tuhanlah yang membukakan terlebih dahulu. Rasio harus tunduk di bawah iman. Kembalinya kita pada kebenaran itu karena anugerah melalui iman.
2. Manusia harus kembali pada Bapa Sang Sumber Hidup.
Untuk dapat mengerti kebenaran, kita harus kembali pada Bapa yang empunya tuaian. Hanya kembali pada Bapa Sang Sumber Hidup barulah orang itu hidup dan ia dapat mengerti kebenaran. Jangan pernah berpikir dengan penjelasan secara rasional orang dapat mengerti. Tidak! Layaknya orang buta menuntun orang buta maka dijelaskan apapun akan sulit mengerti kecuali ia dicelikkan dan dapat melihat sendiri barulah ia dapat mengerti. Jelaslah disini, titik permasalah bukan pada jadi batu sandungan atau bukan. Letak titik permasalahannya adalah karena orang tidak kembali pada Bapa. Ketika orang kembali pada Bapa, Sang Sumber Hidup barulah orang itu hidup dan ia mengerti akan kebenaran. Berbeda halnya dengan orang mati, sehebat dan sebanyak apapun kita memberikan penjelasan maka ia tidak pernah mengerti kebenaran sebab sesungguhnya, ia tidak lebih hanyalah orang mati. Hidup itu kembalinya kita pada Sang Sumber Hidup. Kalau kita tidak kembali pada sumber hidup berarti kita mati. Sama halnya sebuah alat eletronik maka ia tidak akan berfungsi kalau tidak dihubungkan dengan listrik sebagai sumber. Seluruh potensi, eksistensi dapat berfungsi dengan baik kalau kita kembali pada sumber hidup. Teologi Reformed dengan tegas menyatakan bahwa manusia itu rusak total, total depravity; manusia tidak berfungsi lagi maka satu-satunya jalan, kita hidup harus kembali pada Bapa. Ajaran teologi yang lain masih berkompromi dengan dunia dengan menyatakan donum supra ditum artinya di dunia yang berdosa masih ada secuil kapasitas kebajikan dan kemurnian yang memungkinkan manusia bisa menemukan Allah. Tidak! Manusia telah rusak total maka kita harus kembali pada Sang Sumber Hidup.
3. Manusia harus kembali pada Kebenaran mutlak.
Alkitab menegaskan tidak ada posisi tengah atau abu-abu bagi kebenaran. Tidak ada posisi setengah benar atau setengah salah. Hanya ada 2 posisi, yaitu benar atau salah. Setengah benar berarti salah. Dari empat epistemologi, yakni: 1) benar-benar benar, 2) benar-benar tidak benar, 3) tidak benar-benar benar, 4) tidak benar-benar tidak benar maka dari keempat kemungkinan di atas hanya satu, yakni: benar-benar benar. Kekristenan melihat kebenaran itu tidak bisa ditempatkan pada posisi abu-abu. Kebenaran itu harus mutlak, yakni benar-benar benar. Jangan pernah berpikir bahwa kita berada di posisi tengah, sebelah kaki di sorga dan sebelah kaki yang lain di neraka. Kalau kita hidup kita harusnya tahu dimana posisi kita. Sungguh merupakan suatu anugerah kalau kita masih bisa mendengarkan Firman Tuhan, membukakan kebenaran maka jangan sia-siakan anugerah Tuhan. Biarlah kita disadarkan dan kembali pada kebenaran. Janganlah kita seperti orang buta yang menuntun orang buta. Kebenaran harus tetap dinyatakan, tidak peduli apakah hal itu akan menjadi batu sandungan. Kalau kebenaran itu dibukakan pada kita dan kita mengerti kebenaran itu maka janganlah hal itu menjadikan kita sombong tetapi hendaklah dengan rendah hati kita senantiasa memohon pada Tuhan untuk membentuk kita di sepanjang hidup kita. Amin.
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070923.htm
Posted by Denny Teguh Sutandio at 10:13 AM 0 comments
Labels: Eksposisi Alkitab (Injil Matius) oleh Pdt. Sutjipto Subeno
24 May 2009
Matius 15:1-11: CHRIST AND RELIGION (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)
Ringkasan Khotbah : 19 Agustus 2007
CHRIST AND RELIGION
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Matius 15:1-11
Sebelumnya kita telah memahami bahwa Kristus adalah dasar atau obyek iman yang mempengaruhi budaya, membentuk budaya, mengajar dan menjadi arah dari seluruh budaya. Merupakan suatu kesalahan fatal kalau orang mensejajarkan Kristus dengan kebudayaan dan meletakkan agama sebagai salah satu sub budaya sama. Disini kita melihat kegagalan manusia memahami iman sejati. Iman atau agama merupakan suatu kepercayaan yang bersifat mutlak dan menjadi dasar tertinggi dari seluruh aspek hidup dan konsep berpikir kita. I do what I think and I think what I believe. Celakanya, banyak orang yang tidak memahami hal ini akibatnya orang menaruh budaya di tempat paling atas dan mempermainkan iman kepercayaan. Hal inilah yang terjadi pada orang Yahudi, mereka lebih mengutamakan adat istiadat daripada perintah Allah padahal adat istiadat dibuat manusia. Tuhan Yesus dengan keras menegur orang Yahudi yang tidak ubahnya seperti kuburan, tampak bagus di depan tetapi busuk di dalamnya. Mereka beribadah dan memuliakan Tuhan namun apa yang mereka lakukan tidak lebih hanyalah kemunafikan religiusitas belaka – apa yang tampak luar berlawanan dengan apa yang mereka pikir. Dengan bibirnya, mereka seolah-olah memuliakan Allah padahal hatinya jauh dari Allah, mereka juga sepertinya beribadah kepada Allah namun apa yang menjadi ajaran mereka tidak lebih adalah perintah manusia.
Kemunafikan ini telah menjadi pola hidup keagamaan manusia pada umumnya dan tak terkecuali Kekristenan. Ada empat macam gejala yang timbul dalam keagamaan, yakni:
1. Social Religion
Orang beragama karena ia berada dalam tekanan sosial masyarakat atau demi kepentingan sosial. Orang yang hidup di suatu tempat dimana mayoritas penduduknya beragama tertentu maka demi supaya orang tidak “menghakimi” orang beribadah dan melakukan semua bentuk aktivitas keagamaan. Sangatlah mengenaskan, hal yang sama terjadi di tengah-tengah Kekristenan, orang beribadah ke gereja untuk menghindari tekanan atau “penghakiman” dari orang-orang di sekitar atau tekanan dari jemaat, pengurus atau majelis. Orang ke gereja bukan demi Tuhan, hatinya jauh dari Tuhan. Ibadah tidak lebih hanya sebuah kegiatan sosial yang kita lakukan demi memuaskan kepentingan sosial. Inilah orang munafik. Kemunafikan ini justru menjadi bukti i think what i do and i do what i believe. Kemunafikan ini justru bukti dari konsistensi kepercayaan kita, yaitu diri sendirilah yang menjadi pusat, yakni demi kenyamanan diri. Inilah agama humanistik yang munafik.
2. Psychological Religion
Pasca perang dunia kedua manusia menjadi atheis maka ketika orang tidak lagi percaya Tuhan, logika itulah segala-galanya dan kehidupan rohani pun menjadi sangat kering. Namun setelah perang dunia, manusia mulai bergeser dari unsur rasional ke unsur emosional. Penderitaan dan kesulitan akibat perang itu menjadikan emosi orang meledak dan meluap-luap. Demikian pula halnya dengan Kekristenan, Friedrich Schleiermacher, bapak theologi modern menggeser konsep agama – agama itu tidak lebih hanyalah sebuah perasaan ingin bergantung mutlak pada sesuatu obyek dan tidak peduli apa atau siapa yang menjadi obyek iman, religion is the willing of absolute dependence. Perasaan bergantung itulah yang disebut sebagai agama. Maka janganlah heran kalau kita mendengar ada orang yang berkata bahwa ia merasa tidak mendapat apa-apa ketika membaca Firman Tuhan dan merasa Tuhan begitu jauh namun keesokan harinya, dengan sukacita, ia berkata bahwa ia merasa Tuhan begitu dekat dan tersentuh oleh Firman Tuhan. Yang menjadi pertanyaan adalah apakah Alkitab itu dikatakan sebagai firman ketika kita merasa tersentuh? Sangatlah mengenaskan, gereja menjadi tempat dimana emosi dipermainkan. Orang tidak lagi mempedulikan firman tetapi agama tidak lebih sebagai pelampiasan dan pemuasan emosi untuk memenuhi kebutuhan manusia akan kekosongan rohani. Agama menjadi subyektif. Hari ini kita masuk dalam abad 21 dan gerakan ini semakin besar, gereja mencoba mengisi perasaan emosional orang dan pada saat itu, barulah orang merasa dekat dengan Tuhan. Semua itu tidak lebih hanya untuk memenuhi kepuasan diri, diri menjadi yang utama dan Tuhan dilupakan.Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Apakah kita mengutamakan Tuhan? Apakah hati dan pikiran kita melekat pada Tuhan?
3. Status Religion
Orang beragama hanya untuk mencari posisi atau status di tengah masyarakat supaya ia dihormati.
Di dunia modern sekarang ini, banyak tempat yang mempunyai citra buruk di tengah masyarakat melakukan hal yang sama, yakni melakukan berbagai kegiatan rohani seolah-olah tempat itu menjadi tempat yang spiritual demi mendapatkan posisi dan citra yang baik apalagi Kekristenan diakui di tengah-tengah masyarakat. Orang datang ke gereja untuk mendapatkan status sosial, status kesalehan atau status kerohanian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang memakai segala cara dan usaha ingin berada dan menjadi bagian dalam kepengurusan atau kemajelisan dalam gereja namun kehidupan moralnya rusak. Agama tidak lebih hanya menjadi tempat dimana orang mencari status sosial, orang mencari kekuasaan dan orang ingin mencapai harkat tertentu demi mendapat kehormatan. Namun orang lupa kalau ada Allah yang Maha Tahu, Allah tahu apa yang menjadi motivasi kita beribadah, Allah tahu kalau sesungguhnya hati kita jauh dari-Nya, orang hanya sekedar melakukan apa yang menjadi perintah manusia. Orang Farisi begitu sombong karena status sosial keagamaan di tengah masyarakat. Tuhan Yesus mengecam keras orang Yahudi, mereka tidak ubahnya seperti kuburan yang nampak indah di luar tetapi di dalamnya penuh kebusukan. Hari ini, demi status sosial, orang melakukan segala cara dengan melakukan perjalanan spiritual dan pergi ke tempat rohani. Inilah kemunafikan dalam ibadah.
4. Egoistic Religion
Semangat humanisme ini semakin hari semakin meningkat. Dimulai dari jaman renaissance, abad 13 dengan slogannya yang berbunyi: kami bangkit, kami bangun kemudian berkembang pada masa pencerahan atau aufklarung, abad 17 yang mencetuskan bahwa manusia telah cukup dewasa untuk memutuskan segala sesuatu sendiri. Hingga abad 20 dimana new age movement dengan lambang piramidnya mencetuskan: we are on the top – orang humanis dengan tegas menyatakan bahwa dirinya tidak lagi memerlukan orang lain apalagi Tuhan; orang new age percaya bahwa Tuhan itu ada di dalam diri dengan kata lain kitalah “allah“ maka janganlah kita berpikir tentang keterbatasan atau dosa sebab hal itu tidak membuat kita tidak menjadi “allah.“ Dalam hal ini, orang beragama karena ingin menjadi “allah“ yang bisa melakukan apa saja maka muncullah suatu slogan baru, yakni: what you think is what you get. Manusia memuncakkan diri sendiri dan beriman pada diri sendiri, iman pada keyakinan dan nafsu diri sendiri. Inilah kemunafikan orang beragama. Orang tidak pernah memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan, apa yang menyenangkan hati Tuhan. Iman Kristen mengajarkan sebelum kita mengikut Kristus maka ia harus menyangkal diri berarti berkata “tidak“ pada apa yang menjadi keinginan nafsu kita, memikul salib dan mengikut Aku. Seorang Kristen sejati haruslah mengikut teladan Kristus yang berkata, “Bapa, bukan kehendak-Ku yang jadi melainkan kehendak-Mulah yang jadi.“ Hari ini, kita melihat orang begitu rajin beribadah dan berdoa tetapi semua ibadah dan doa itu tidak lebih hanyalah pemuasan egoisme manusia. Orang pikir dengan doa panjang bahkan semalam suntuk akan membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Ini bukan agama yang Tuhan inginkan. Tuhan Yesus menegur keras orang Yahudi akan hal ini, bukan doa yang bertele-tele yang membuat doa mereka dikabulkan. Tidak! Semua itu semata-mata karena anugerah Tuhan. Hati mereka jauh dari Tuhan, sesungguhnya mereka tidak mengerti Firman, orang hanya melakukan apa yang menjadi ajaran manusia.
Beberapa aspek di bawah ini menjadi evaluasi bagi kita apakah kita seorang Kristen sejati?
1. Otoritas Allah vs otoritas diri
Iman Kristen sejati dimulai dengan pengakuan akan kedaulatan Allah. Otoritas tertinggi berada di tangan Allah dan kita harus taat mutlak pada-Nya bukan memaksakan apa yang menjadi kehendak kita. Konsep keagamaan yang paling berat adalah pertikaian atau persaingan antara otoritas Allah dengan otoritas diri. Orang selalu ingin otoritas diri itulah yang berada di atas; orang ingin diri inilah yang menjadi “allah“ dan berotoritas penuh. Tidak! Otoritas Allah itulah yang harus berada di posisi atas sedangkan adat istiadat harus diletakkan di bawah-Nya. Kristus haruslah menjadi yang terutama dalam segala aspek hidup kita bukan budaya atau adat istiadat yang dibuat oleh manusia. Celakalah hidup kita kalau kita lebih mengutamakan budaya daripada Kristus yang adalah Allah sejati yang hidup dan berotoritas mutlak atas segala budaya yang ada dan segala ilah-ilah palsu yang ada di dunia. Biarlah kita mengevaluasi diri, hari ini kita mengaku Kristen sudahkah kita taat pada kebenaran sejati dan tunduk mutlak di bawah otoritas Allah? Ingat, jangan permainkan iman dengan segala hal yang sifatnya relatif yang ada di dunia.
2. Perintah Allah vs perintah manusia
Dalam tatanan urutan perintah, perintah siapakah yang paling tertinggi? Apakah urutan itu berada dalam satu garis perintah, one line order? Allah haruslah berada di urutan teratas di antara semua perintah yang ada di dunia. Hal ini menjadi prinsip dalam kehidupan ketaatan kita namun di satu sisi bukan berarti kita harus melawan semua perintah yang ada di dunia dan menjadi anti nomian. Tidak! Ibadah sejati adalah ketika kita beribadah dalam kebenaran pada Tuhan. Ibadah dari kata to bow down berarti menyembah Allah dan taat mutlak pada perintah Allah. Alangkah indah hidup kita kalau kita berjalan dalam pimpinan Tuhan, kita akan dibuat takjub oleh-Nya. Jangan takut dengan segala rintangan dan tantangan yang menghadang sebab kalau Tuhan yang memimpin dan kita taat mutlak pada-Nya maka semua tantangan dan rintangan akan hancur. Lihatlah bagaimana Allah memimpin Musa keluar dari Mesir hingga sampailah ia dan bangsa Israel di tepi laut Merah. Musa dihadapkan pada tantangan yang sulit, di depan laut merah dan maju berarti resiko kematian sedangkan di belakangnya, prajurit Mesir kalaupun ia harus berbalik berarti ia dan bangsa Israel harus melawan banyaknya prajurit Mesir dan itu berarti resiko kematian. Allah memerintahkan Musa untuk maju. Secara logika, sangatlah mustahil beribu-ribu orang Israel termasuk perempuan dan anak-anak untuk menyeberangi laut Merah yang sangat luas dan selamat sampai di seberang. Saat itu, Musa tidak ada pengalaman apapun yang menunjukkan laut Merah itu akan terbelah. Hari itu, kalau kita dihadapkan dengan tantangan seperti Musa, apa yang akan kita lakukan? Taat pimpinan Tuhan ataukah menuruti kehendak kita? Puji Tuhan, Musa adalah seorang yang taat mutlak pada pimpinan Tuhan maka lihatlah bagaimana Tuhan bekerja dengan sangat luar biasa – laut Merah terbelah menjadi dua dan seluruh umat Israel selamat sampai di seberang. Pimpinan Tuhan sungguh sangatlah menakjubkan. Ironisnya, manusia berdosa berusaha menganulir peristiwa dahsyat ini dengan menyatakan bahwa kejadian itu tidak lebih hanya peristiwa alam. Mustahil! Bagaimana mungkin peristiwa alam bisa terjadi persis di detik Musa dalam keadaan terjepit dan persis setelah seluruh umat Israel menyeberang laut bisa tertutup kembali? Maka kalaupun hal itu terjadi lihatlah betapa dahsyat-Nya cara Tuhan bekerja. Sesungguhnya, peristiwa Musa ini membuktikan satu hal pada kita, yakni betapa indah hidup kita berada dalam pimpinan Tuhan dan taat mutlak pada-Nya. Celakanya, manusia berdosa merasa diri hebat merasa diri lebih pandai memakai rasio untuk melawan Allah yang adalah sumber bijaksana dan kepandaian. Maka tidaklah heran kalau hari ini banyak orang Kristen yang tidak pernah mengalami pimpinan Tuhan yang menakjubkan. Allah kita adalah Allah yang hidup, Allah menunjukkan cara-Nya dan Allah adalah Allah yang Maha bijaksana. Pertanyaannya adalah Allah seperti apakah yang kita percaya?
3. Altruistik vs egoistik
Kalau kita hidup untuk diri kita sendiri maka hidup kita menjadi najis. Agama menjadi tempat kita untuk mengeruk kepentingan pribadi maka ketika kita berelasi dalam kehidupan beragama pun adalah demi mendapatkan keuntungan pribadi. Tuhan Yesus menegaskan bukan yang masuk mulut yang menajiskan tetapi apa yang keluar dari mulut itulah yang menajiskan. Tuhan ingin kita hidup menjadi berkat bagi orang lain, hidup untuk melayani. Kristus telah memberikan teladan sempurna bagi kita, Dia datang ke tengah dunia, rela menderita dan mati disalibkan demi menebus manusia berdosa. Sebagai anak Tuhan sejati hendaklah kita meneladani hidup Kristus, hidup menjadi berkat bagi orang lain. Bagaimana dengan kehidupan beragama kita? Kalau kita beribadah dan mendapat berkat dari Firman namun hanya untuk kepentingan diri dan tidak mau melayani Tuhan, tidak peduli pada apa yang menjadi kehendak Tuhan masih layakkah kita disebut Kristen atau Kristus kecil? Tuhan memberikan amanat Agung pada setiap anak-Nya; bukan kamu yang memilih Aku tetapi Akulah yang memilih kamu untuk pergi dan menghasilkan buah dan buahmu itu tetap. Percayalah, kalau kita taat mutlak pada pimpinan-Nya dan mengutamakan Tuhan dalam hidup kita dan hidup menjadi berkat bagi orang lain maka Tuhan pasti akan menyertai dan memelihara hidup kita. Seorang Kristen sejati bukanlah seorang yang egois tetapi hendaklah kita mempunyai hati altruis yang selalu memikirkan dan menjadi berkat bagi orang lain, selalu memikirkan apa yang menjadi kehendak Tuhan dan kita berbagian di dalamnya. Maukah kita dipakai Tuhan menjadi berkat?
4. Batiniah vs Lahiriah
Tuhan ingin seluruh hidup kita dimurnikan dari dalam. Kemunafikan terjadi karena apa yang ada di dalam dan di luar tidak sama. Agama seringkali hanya ribut dengan penampilan luar bukan apa yang ada di dalam batiniah kita. Perubahan Kristen adalah perubahan internal, suatu kesadaran diri sebagai manusia berdosa dan bertobat, memohon pengampunan dan mau hidup taat Tuhan. Inilah iman Kristen sejati. Kristen bukanlah segala aktivitas yang kita tunjukkan. Tuhan mengubah inner being, dilahirbarukan dan pada saat itu maka apa yang keluar dari dalam diri, yakni hati, motivasi dan jiwa kita itupun menjadi bersih. Kekristenan sejati bukan memoles perilaku luar tetapi merubah dari dalam dengan demikian kita tidak menjadi orang yang munafik dan apa yang keluar dari dalam kita itu tidak menajiskan. Marilah kita mengevaluasi kehidupan ibadah kita? Sudahkah kita percaya mutlak pada Kristus dan mengandalkan Dia dalam segala aspek hidup kita? Amin. ?
(Ringkasan khotbah ini belum diperiksa oleh pengkhotbah)
Sumber:
http://www.grii-andhika.org/ringkasan_kotbah/2007/20070819.htm
Posted by Denny Teguh Sutandio at 11:49 AM 0 comments
Labels: Eksposisi Alkitab (Injil Matius) oleh Pdt. Sutjipto Subeno
17 May 2009
Matius 15:1-11: CHRIST REDEEM CULTURE (Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.)
Ringkasan Khotbah: 12 Agustus 2007
Christ Redeem Culture
oleh: Pdt. Sutjipto Subeno, M.Div.
Nats: Mat. 15:1-11
Setiap tempat pastilah mempunyai budaya dan budaya masing-masing tempat atau daerah pastilah berbeda. Sebagai contoh, di Jepang ada budaya minum teh tetapi di Indonesia kita menganggap biasa bahkan suatu benda bisa bernilai sangat mahal karena didalamnya ditambahkan makna tertentu. Manusia mencoba merelasikan antara hal yang duniawi dengan hal spiritual akibatnya hal yang sepele yang tidak bermakna bisa menjadi bermasalah besar. Alkitab mencatat beberapa orang Farisi dan ahli Taurat datang dari Yerusalem hanya untuk menegur Tuhan Yesus tentang hal membasuh tangan yang tidak dilakukan oleh para murid sebelum makan, mereka dianggap telah melanggar adat istiadat. Bagi orang Yahudi, membasuh tangan itu menyatakan suatu penghormatan kepada Allah sebelum kita menikmati makanan. Budaya cuci tangan merupakan sesuatu yang sifatnya fisik tetapi telah diberi makna dan direlasikan dengan dunia metafisika, dihubungkan dengan Allah. Atas kejadian ini, Tuhan Yesus balik menegur mereka yang telah melanggar perintah Allah yang berbunyi: ”Hormatilah ayahmu dan ibumu” karena dengan alasan persembahan pada Allah, orang mengabaikan orang tuanya. Tuhan Yesus menegur sangat keras akan hal ini karena dalam hal ini, perintah Allah telah dikalahkan oleh adat istiadat. Timbul perdebatan yang sangat rumit bahkan timbul perpecahan dalam perpecahan dalam Kekristenan, yakni manakah yang lebih penting adat istiadat ataukah firman Tuhan.
Richard Niebuhr dalam bukunya Christ and Culture mengungkapkan lima pendekatan antara kebudayaan dan Kristus namun perhatikan, kelima pendekatan ini tidak dapat dikatakan benar secara keseluruhan, yakni:
1. Christ against culture
Kristus menghancurkan seluruh kebudayaan yang ada di dunia karena semua kebudayaan dipandang salah dan jahat. Hal ini tidaklah tepat sebab dalam banyak aspek, Kristus tetap berada dalam budaya, Kristus tetap menjalankan budaya Yahudi. Kritus melawan budaya ini seolah-olah menjadikan Kristus tinggi dan Kekristenan agung. Pandangan-pandangan radikal seperti ini akhirnya membuat Kekristenan tidak bisa lagi hidup di tengah dunia. Orang yang memegang prinsip ini, biasanya akan tersingkir dan Kristus menjadi kalah. Mereka membentuk kebudayaan sendiri, kelompok tersendiri dan hidup tersendiri. Mereka menganggap kebudayaan itu sebagai kebudayaan Kristus tetapi sesungguhnya, kebudayaan itu tidak ubahnya dengan budaya dunia yang membedakan kebudayaan mereka tidak cocok dengan kebudayaan dunia. Perhatikan, Alkitab tidak pernah mengajarkan kita untuk melawan dan menjadi anti budaya.
2. Christ of Culture
Budaya harus diisi dengan hal-hal yang berbau Kekristenan dengan demikian kebudayaan itu menjadi milik Kristus sekarang. Konsep inilah yang hari ini banyak dipakai. Orang menganggap cara ini merupakan suatu kerjasama dimana kita tidak menghancurkan budaya tetapi kita menggunakan semua budaya yang ada dengan demikian budaya yang tadinya budaya setan kini menjadi budaya Kristus. Adalah kesalahan fatal, banyak orang yang menganggap budaya itu sifatnya netral maka tergantung dari siapa yang memakainya. Budaya itu akan menjadi milik setan kalau setan yang memakainya maka budaya itu menjadi the culture of satan, atau kalau manusia yang menggunakannya akan menjadi the culture of human being, dan kalau Kristus yang memakai budaya akan menjadi the culture of Christ. Sebagai contoh, banyak musik duniawi yang diberi tambahan ayat alkitab langsung dikatakan sebagai budaya Kristus. Demikian pula halnya dengan cara berpakaian, orang menganggap sudah menjadi budaya Kristus kalau sudah memberinya dengan aksesori atau atribut ”rohani.” Orang Yahudi juga melakukan hal yang sama, budaya duniawi yang mereka pandang baik lalu dilabel dengan agama maka mereka sudah menganggapnya sebagai agama. Hari inipun masih banyak orang yang tidak mengerti apa itu agama, mereka hanya memakai adat istiadat yang diberi label agama tertentu dan menganggapnya sebagai budaya. Dalam hal ini budaya itu lebih besar sedang Kristus hanya mengikut di dalamnya.
3. Christ above Culture
Konsep ini hendak melengkapi konsep kedua namun justru menjadikan budaya itu aneh; Kristus seolah-olah hanya hidup dalam satu kultur tertentu yang mengatasi semua kultur. Islam menjadikan
kultur Timur Tengah sebagai suatu kultur agama sehingga cara berpakaian, cara makan, dan lain-lain harus mengikuti satu kultur tersebut. Dalam kondisi budaya seperti demikian maka yang menjadi pertanyaan adalah apakah budaya ini merupakan budaya yang boleh diberi label tertentu lalu dibawa ke semua tempat? Seberapa jauhkah relatifitas suatu daerah dalam budaya? Demikian halnya dengan kultur barat yang membawa Kekristenan masuk ke Indonesia membawa dampak besar. Kultur Eropa itu dianggap sebagai kultur Kristen. Dampak itu tidak hanya pada cara hidup saja tetapi juga jiwa kolonialisme itu mempengaruhi pemikiran orang-orang di Asia. Ketika orang-orang Eropa datang ke Asia. Dalam bagian ini, Kristus membangun suatu kultur yang sifatnya kaku dan spesifik yang dan semua kultur yang ada harus mengikut pada satu kultur ini. Tidak!
4. Christ and Culture in Paradox
Budaya hidup berada dalam dua dunia – Kristus punya kultur tersendiri dan dunia juga punya kultur tersendiri, kedua kultur ini berjalan secara bersamaan dimana keduanya tidak saling menganggu dan tidak saling meniadakan. Pandangan inilah yang diajarkan oleh kaum posmodern. Konsep ini menjadikan orang Kristen hidup dalam dua dunia. Ketika orang berada di dalam gereja maka ia harus langsung menyesuaikan diri dengan kultur yang dianggap sebagai kultur Kristen, orang harus berlaku sopan, jujur namun ketika berada di luar lingkungan gereja maka orang boleh liar dan berbuat sesuka hati layaknya dunia. Konsep ini dianggap relevan di abad 20 ini namun Kekristenan tidak setuju akan pandangan ini.
5. Christ Transform Culture
Dari kelima konsep yang diungkapkan oleh Niebuhr maka konsep kelima ini yang paling banyak diingat oleh orang. Kristus mentransform kultur artinya bahwa kultur itu tidak salah cuma kultur itu perlu ditransformasi. Pertanyaannya benarkah kultur bisa dirubah? Atau lebih tepatnya, Christ redeem the culture – Kristus menebus budaya berarti ada nilai yang harus dibayar. Hal ini yang lebih tepat dalam mandat budaya. Theologi Reformed umumnya, secara posisi mengikut konsep ini, yakni Christ transforming culture, Kristus mengisi kembali budaya yang sudah ada untuk dikembalikan pada apa yang seharusnya. Ada beberapa prinsip penting yang harus diperhatikan ketika mentransform, yakni: kita harus tahu mana yang harus dan mana yang tidak, mana yang mutlak dan mana yang relatif. Sesuatu yang harus dirubah maka harus dirubah – perubahan ini sifatnya esensial tetapi ada bagian-bagian tertentu yang relatif harus berproses seiring dengan berjalannya waktu. Kita harus peka ketika kita masuk dalam suatu budaya, kita tidak perlu merubah budaya yang ada sepanjang budaya itu baik dan agung. Budaya pasti punya unsur baik sebagai anugerah umum namun sayang, budaya tidak mengerti apa yang disebut dengan anugerah umum. Sangatlah disayangkan, konsep anugerah umum inipun tidak dimengerti, orang tidak mengerti bahwa pencemaran dosa menyebabkan budaya menjadi liar dan untuk dapat memilah ini dibutuhkan anugerah khusus, yakni anugerah keselamatan. Adalah tugas Kekristenan membukakan tentang kebenaran kepada mereka.
Christ Redeem Culture
Kristus tidak merombak seluruh budaya yang ada. Kristus hanya mengubah dan membongkar budaya yang salah yang sifatnya esensial dan mutlak yang menyangkut standar dan prinsip. Tuhan Yesus menegur keras budaya orang Yahudi yang begitu sombong, mereka tidak mau dekat bahkan berbicara dengan orang Samaria. Kebudayaan seperti inilah yang hendak dibongkar oleh Tuhan Yesus lalu ditransformasi dan untuk hal ini ada harga yang harus dibayar dan harganya sangat mahal. Kristus harus menebus budaya yang salah. Kekristenan percaya bahwa Allah sejati hanya satu sedangkan budaya percaya bahwa “allah“ itu banyak dimana kita boleh menyembah pada allah yang mana saja. Budaya ini tidak dapat dibenarkan dan budaya ini haruslah dilawan dan dihancurkan sebab budaya itu salah karena sifatnya esensi dan absolut. Berbeda halnya kalau budaya yang salah itu bersifat relatifis hanya menyangkut unsur luar yang sekunder maka seiring berjalannya waktu, budaya itu harus kita ubah dan hal itu tidaklah mudah dibutuhkan perjuangan dan usaha. Namun kalau budaya itu sudah menyangkut hakekat ibadah, prinsip theologi maka budaya itu mutlak harus diubah. Allah menuntut kita untuk menyembah hanya pada satu Allah saja, Allah tidak ingin kita berzinah secara rohani maka budaya yang mengkompromikan akan hal ini tidak dapat dibenarkan.
Kalau kita tidak mengerti hal ini maka kita akan menjadi bingung dimana harus berposisi, kita tidak tahu bagaimana memilah antara prinsip kebenaran dan budaya. Moralitas Kristen lebih tinggi dari moralitas dunia maka moralitas dunia haruslah tunduk pada moralitas Kristen. Dalam bagian ini, orang masih bisa jatuh bangun dan Kekristenan masih memberikan toleransi untuk orang belajar, dididik dan diajar berproses menuju pada moralitas yang agung dan perhatikan, hal ini tidaklah mempengaruhi keselamatan seseorang. Demikian juga halnya dengan hal cuci tangan, apakah hal cuci tangan dipandang sebagai hal serius yang menjadi adat istiadat pengunci yang mempengaruhi keselamatan seseorang? Tidak! Itulah sebabnya, Tuhan Yesus menegur dengan keras dan membalikkan konsep berpikir orang Yahudi yang salah.
Van Till melihat iman manusia didasarkan pada dua aspek, yaitu: 1) iman yang menggunakan pendekatan antroposentric religion, yakni segala sesuatu berpusatkan pada manusia, 2) segala sesuatu haruslah dilihat dari kedaulatan Allah dan theologi Reformed adalah satu-satunya theologi yang menuntut kedaulatan Allah haruslah berada di atas semua unsur manusia. Taurat diberikan supaya manusia mengerti isi hati Allah tetapi orang memakai taurat sebagai alat manusia untuk kepentingan humanitas. Orang yang melihat dari sudut pandang manusia pastilah beranggapan bahwa Allah tidak konsisten sebab di salah satu hukumnya, dilarang membunuh tetapi di sisi lain, Allah memerintahkan manusia untuk membunuh. Inilah natur manusia berdosa. Alkitab menyatakan Allah yang kasih itu menyediakan neraka, Allah menyediakan hukuman mati bagi orang berdosa. Dalam hal ini, kita harus melihat dari sisi Allah. Ada tiga aspek yang perlu kita perhatikan, yakni: 1) kalau membunuh itu didasarkan atas kepentingan pribadi manusia maka ia berdosa, 2) membunuh didasarkan atas kebencian, unsur interpersonal – Alkitab menegaskan bahwa membenci seseorang saja berarti sudah membunuh, hal ini menjadi hakekat atau esensi di balik tindakan, 3) membunuh merupakan pelanggaran keadilan maka hukuman yang diterapkan adalah hukuman keadilan. Alkitab sangat setuju dengan capital punishment, kalau kita melihat dari sudut manusia, kita akan merasa Tuhan itu tidak adil, Tuhan tidak berbelas kasih. Tidak! Alkitab dengan tegas menyatakan kalau Allah telah menetapkan hukuman mati maka itu tidak didasarkan atas kepentingan pribadi tetapi hal itu mutlak dan harus dilakukan karena sifatnya absolut, dan hukuman diberikan untuk menjadikan dunia lebih aman; seorang pembunuh kejam haruslah dihukum sebelum ia melakukan tindakan pembunuhan lain yang lebih kejam dan menjadikan dunia lebih hancur. Betapa bodohnya manusia kalau karena alasan mengasihi, dunia menjadi kacau dan hancur. Kebenaran dan keadilan Allah harus ditegakkan di tengah dunia berdosa.
Budaya harus balik pada Allah. Beberapa ahli budaya dan para teolog melihat kelemahan konsep Niebuhr yang melihat Kristus dan budaya secara dualisme. Yang menjadi titik permasalahan adalah agama, iman atau filsafat yang membentuk budaya ataukah sebaliknya, budaya yang membentuk agama? Apakah agama itu menjadi bagian dari sebuah budaya? Merupakan suatu kesalahan fatal, hari ini orang mengajarkan bahwa agama membentuk suatu pemikiran filsafat dan pemikiran filsafat membentuk budaya dan budaya membentuk semua implikasi budaya, seperti bahasa, agama, bangunan, cara berpakaian dan semua tatanan keadilan dan hukum, dan lain-lain. Alkitab menegaskan iman adalah mutlak, titik tertinggi; iman membentuk pola berpikir atau filosofi agama dan dari filosofi agaman ini barulah membentuk budaya dan budaya membentuk perilaku. Kalau iman kita tidak beres maka budaya pastilah akan liar. Maka dapatlah disimpulkan, iman menentukan budaya; budaya dan Kristus bukanlah dualisme. Pertanyaannya adalah seberapa jauhkah kita mengutamakan Kristus? Ketika kita men-Tuhankan Kristus dalam seluruh aspek hidup kita maka pada saat itu budaya akan terbentuk secara sendirinya dimanapun kita berada. Budaya adalah produk iman, puncak dari iman kepercayaan kita dan terkadang, budaya ini menjadikan kita berbeda dengan budaya yang ada di sekeliling kita. Hal ini akan mempengaruhi hubungan relasi kita, etos kerja, etika hidup, hubungan suami-istri, dan lain-lain. Orang yang beriman humanis maka seluruh perilakunya akan menjadi humanis. Janganlah kita terjebak dengan konsep yang dipaparkan oleh Niebuhr bahkan beberapa tokoh reformed seperti Abraham Kuyper dan Dooyewerd terpengaruh konsep Niebuhr, yakni konsep Christ transforming culture.
Perdebatan antara budaya dan Kristus seringkali terjadi sampai hari ini namun ingat, jangan perdebatkan Kristus dengan budaya sebab Kristus adalah Allah sejati, Ia tidak sebanding kalau diperdebatkan dengan budaya yang sifatnya tatanan praktis. Percaya kepada Kristus merupakan pusat iman sedang budaya hanyalah implikasi iman maka sangatlah tidak pas kalau kita menaruh budaya di posisi atas sebab budaya tidak punya dasar yang kuat. Celakanya pendidikan hari ini didasarkan pada humanitas atau evolusi dimana Allah tidak ada didalamnya akibatnya cara pandang kita akan sangat duniawi dan humanis. Hendaklah kita kembali pada natur dan atribut Kristus, yakni adil, suci, benar, mulia, manis dan sedap didengar maka budaya akan terintegrasi dengan baik dan menghasilkan budaya yang agung. Hal inilah yang disebut sebagai mandat budaya. Mandat budaya bukanlah percampuran atau sinkretisme antara Kristus dan budaya. Mandat budaya adalah setiap budaya yang harus disorot dari iman Kristen menjadikan apa yang benar dan salah menjadi terbuka di hadapan Kristus. Dunia semakin hari semakin menuju kehancuran, dunia tidak menjadi semakin baik, moralitas menjadi rusak, budaya semakin hancur – kita harus semakin kokoh dalam iman dan kebenaran, berdiri teguh di atas Firman dan tugas setiap anak Tuhan menjadi terang dan garam di tengah dunia dan berani dengan tegas menyatakan kebenaran dan menegur budaya yang salah. Amin.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar