Minggu, 29 Mei 2011

PENDERITAAN MENURUT AGAMA BUDDHA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF KRISTEN (Oleh: Ev. Bedjo Lie, M.Div.)

PENDERITAAN MENURUT AGAMA BUDDHA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF KRISTEN (Oleh: Ev. Bedjo Lie, M.Div.)

PENDERITAAN, SEBUAH FAKTA UNIVERSAL
Banjir lumpur, gempa bumi, tsunami dan kemiskinan, mungkin itulah yang kita pikirkan ketika berbicara tentang penderitaan di Indonesia. Kita hidup dalam konteks bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi plus tertimpa banyak bencana baik yang alami maupun ”buatan”. Dalam kondisi seperti ini, terkadang kita tergoda untuk berpikir bahwa hidup di Indonesia sungguh tidak mengenakkan. Lalu pikiran kita menerawang dan berimajinasi untuk tinggal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang dan berpikir bahwa kondisi disana akan jauh lebih baik. Tetapi, pikiran demikian tentu tidak benar. Itu adalah mitos dan bukan fakta. Yang terjadi adalah, penderitaan merupakan bagian dari umat manusia dimanapun ia berada, di negara maju, maupun yang kurang maju, kecil maupun besar, komunis maupun kapitalis, agama maupun sekuler. Hanya bentuk, tingkatan dan penyebabnya saja yang berbeda-beda. Penderitaan adalah fakta universal!
Penderitaan juga melampaui horison waktu, ia ada dulu, sejak zaman dahulu kala sampai sekarang dan juga di masa mendatang. Penderitaan adalah fakta yang tidak hanya universal tetapi juga “seolah-olah” abadi. Justru karena itulah, berbicara mengenai penderitaan merupakan hal yang menarik, paling tidak bagi orang yang punya keprihatinan dan mau berkontemplasi tentang kehidupan.
Sidharta Gautama (563-483 S.M.) adalah jenis orang seperti itu. Sebagai seorang guru, pendiri agama Budha, ia adalah orang yang dianggap memiliki banyak hikmat dan kebijaksanaan. Akan tetapi jikalau kita memperhatikan pengajarannya yang utama, maka kita akan segera menemukan tema sentral PENDERITAAN dalam pengajarannya. Kebenaran-kebenaran mengenai penderitaan ini terangkum dalam pengajarannya yang disebut Empat Kebajikan Kebenaran (Four Noble Truth).
Dalam tulisan ini, kita akan memberikan tinjauan kritis atas pengajaran Budha tentang penderitaan yang terdapat dalam Empat Kebajikan Kebenaran. Oleh karena itu, maka tulisan ini akan mengalir sebagai berikut. Pertama, sejarah singkat kehidupan Budha sampai dengan masa ia mengalami pencerahan. Hal ini penting untuk menyediakan konteks lahirnya pemikiran Buddha tentang penderitaan. Kedua, pemaparan mengenai konsep penderitaan dalam Empat Kebajikan Kebenaran. Selanjutnya, tinjauan kritis atas konsep Empat Kebajikan Kebenaran tersebut dari sudut pandang Kristen.1) Terakhir, sebuah kesimpulan dan aplikasi.

PERGULATAN SIDHARTA GAUTAMA MENCARI KEBENARAN
Sidharta Gautama adalah seorang pangeran kerajaan, dibesarkan dalam istana yang mewah di perbatasan Nepal. Tetapi aneh, hatinya justru terpaut pada realitas di luar. Ia menengok ke luar dari dirinya sendiri dan menemukan orang-orang, realita-realita yang membuatnya berempati, simpati dan kemudian mengambil aksi. Orang-orang yang bagaimana itu? Realita apa saja yang ia temui? Jawabannya menyedihkan! Ia menyaksikan orang-orang yang menderita, dan menemukan realita-realita penderitaan dalam berbagai bentuk. Orang miskin yang terkapar di jalan, yang hari demi hari mengejar kebutuhan hidup yang tak kunjung terjangkau, orang yang tertimpa penyakit yang tak kunjung sembuh, dan akhirnya orang-orang yang menangis meratapi kematian saudara mereka. Bagaimana dengan orang kaya? Mereka pun mengalaminya. Rasa tak puas, was-was dan gelisah, kecewa dan murung karena dihantui berbagai macam penyakit yang setiap waktu dapat membawa ke liang pahat. Itulah sebagian dari penderitaan bagi orang-orang kaya.2) Bukankah itu semua tidak kurang sedikit dibandingkan orang miskin?
Sang pangeran yang berumur 29 tahun itu merenung. Ia sadar bahwa penderitaan adalah jalan dari semua orang. Tetapi bagaimana cara melepaskan diri dari fakta ini. Ia masuk ke dalam pencarian akan kebenaran, suatu kebenaran yang filosofis sekaligus praktis. Sidharta muda lalu memutuskan untuk meninggalkan kerajaan, ia ingin belajar akan kebenaran. Tanpa uang, dengan meninggalkan keluarga, ia pergi dan belajar pada guru terkenal Alara dan Uddaka, tetapi ia tidak puas pada pengajaran mereka. Masa selanjutnya dari pengembaraannya ditandai dengan tindakan asketis yang ekstrem. Ia tinggal di hutan belantara, tubuhnya kurus kering karena makanan yang terbatas. Tetapi ia akhirnya menemukan, asketisisme yang demikian adalah ilusi belaka, tidak membawa pada jalan realisasi diri.3)
Dalam pencarian kebenaran selanjutnya, suatu kali ia duduk dibawah pohon berdaun lebar dan berbuahkan semacam buah pir yang sarat dengan segala macam biji 4), pada saat itulah ia merenungkan berbagai macam teka-teki kehidupan. Semalam suntuk ia merenung dan pagi harinya ia tersentak karena ia telah menemukan kebenaran, Sidharta telah mendapat “Enlightenment” bagi pergumulannya mengenai kehidupan. Mulai saat itulah orang menyebut ia “Budha” atau “ orang yang mendapat penerangan”.
Pada saat itu, umurnya menginjak 35 tahun. Sisa umurnya yang 45 tahun dipergunakannya berkelana di sepanjang India Utara, menyebarkan filosofinya ke banyak orang dan akhirnya pengaruhnya pun dengan cepat meluas. Saat dia wafat pada tahun 483 S.M. sudah ratusan ribu orang menjadi pemeluk ajarannya. Kemudian tradisi oral mengenai ajarannya pun diwariskan dari generasi ke generasi.5) Kekayaan dari ajaran Budha yang terutama ini disebut Empat Kebajikan Kebenaran.

EMPAT KEBAJIKAN KEBENARAN (THE FOUR NOBLE TRUTH) 6)
Pencerahan yang dialami Budha telah membawanya pada kebenaran-kebenaran tentang kehidupan. Apabila diringkaskan maka pengajaran Budha dapat dibuat dalam empat proposisi utama yang memiliki tema sentral “penderitaan”. Penderitaan ini dapat dikatakan menjadi orientasi dasar dari Budhisme sepanjang masa dan dimana saja.
Pembahasan kita mengenai penderitaan akan mengikuti alur berikut: masalah (The Disease), penyebab (The Cause), penyembuhan/penghentian (The Cure) dan terakhir jalan keluar (The Medicine).7)

Masalah/penyakit: Penderitaan (Dukkha)
Dukkha adalah “penderitaan” itu sendiri. Hidup ini dipenuhi oleh realitas penderitaan sejak dari lahirnya manusia sampai pada kematian menjemputnya.8 Bagi Budha, lahir adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, kesedihan, ratapan, kesakitan dan ketidakbahagiaan, semuanya itu adalah penderitaan. Fakta penderitaan ini disadari oleh Budha sebagai bersifat universal, artinya semua orang mengalaminya, tidak peduli orang kaya, miskin, tua, muda, dst.9)
Konsep dukkha dalam pengajaran Budha dapat dibagi dalam tiga jenis. Pertama, penderitaan sebagai rasa sakit (pain). Ini adalah “self-evident suffering”. Ketika kita berada dalam sakit mental ataupun fisik, jelaslah bahwa terdapat dukkha. Bahkan ketika kita sedang menikmati sesuatu atau pada saat tidak ada sesuatu yang secara khusus membuat kita tidak bahagia, hal-hal selalu bisa berubah: apa yang kita nikmati dapat segera berlalu atau sesuatu yang tidak menyenangkan dapat muncul begitu saja. Inilah yang disebut dukkha sebagai perubahan. Selanjutnya, Budha juga berbicara mengenai dukkha sebagai kondisi. Dalam pengertian ini, Budha berbicara mengenai natur dari dunia yang bersifat tidak stabil dan tidak tetap. Dunia ini pada dasarnya berisi kesakitan dan kesenangan, penderitaan dan kebahagiaan, semuanya
saling kait-mengait dan membentuk realitas.10)

Penyebab penderitaan: Keinginan/kehausan (Tanha)
Budha sangat menekankan mengenai tanggungjawab manusia atas penderitaan yang dialaminya dalam dunia. Ia menyatakan bahwa pada umumnya keinginan atau “kehausan”11) dapat dianggap sebagai penyebab kepedihan hidup. Hal ini terjadi karena keinginan ini sendiri adalah sesuatu yang tidak dapat dipuaskan secara tuntas. Keinginan ini dapat digolongkan ke dalam tiga kategori: (1) keinginan untuk kesenangan sensual atau inderawi, misalnya: menginginkan benda-benda; (2) keinginan untuk eksistensi dan menjadi sesuatu, misalnya ingin menjadi seseorang dengan karakteristik tertentu atau ingin hidup kekal; (3) keinginan untuk noneksistensi. Artinya, kadangkala kita ingin untuk mati, dan kalau bisa memilih, maka kita memilih untuk tidak lahir di dunia ini.12) Keinginan-keinginan inilah yang menjadi penyebab dari adanya penderitaan.
Penghentian penderitaan: nirwana Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita selalu berusaha untuk memenuhi dan memuaskan “keinginan” kita agar mencapai kebahagiaan. Akan tetapi, ketika kita melakukan hal ini maka kita sedang melekatkan diri kita pada hal-hal yang sebenarnya tidak dapat dipercaya, tidak stabil, berubah terus menerus dan tidak permanen. Sepanjang kita selalu berusaha untuk melekatkan diri pada hal-hal ini, sebenarnya kita sedang melestarikan penderitaan. Oleh karena itu, jikalau kita ingin melepaskan diri dari penderitaan, jalan menuju kepada hal itu adalah dengan cara melepaskan, atau membiarkan segalanya berlalu. Ini adalah solusi yang radikal dan sekaligus sangat sederhana. Jikalau “keinginan” adalah penyebab penderitaan, maka jalan penghentian penderitaan adalah dengan cara meninggalkannya, melepaskannya atau membiarkannya pergi. Inilah yang sebenarnya merupakan tujuan dari jalan Budha, pelepasan dari penderitaan, pencapaian kebahagiaan tertinggi, Nirwana.13)
Nirwana ini pada dasarnya berbicara mengenai “Extinction of Thirst” atau “padamnya keinginan”. Akan tetapi harus disadari bahwa Nirwana merupakan konsep yang jauh lebih rumit dan abstrak dari sekedar padamnya keinginan.14) Yang penting untuk diketahui adalah bahwa agama buddha percaya bahwa nirwana ini dapat dicapai manusia selagi ia masih hidup (sopadisesa nibbana) ketika seorang buddhis telah mampu melepaskan keinginnanya. Selain itu, Nirwana tentu juga bisa diraih ketika seseorang sudah meninggal (anopadisesa nibbana).15)

Jalan penghentian penderitaan: Jalan Tengah.
Jalan menuju pada penghentian penderitaan ini disebut Jalan Tengah (Middle Way) karena ia menghindari dua ektrem: ekstrem yang satu ialah mencari kebahagiaan melalui kesenangan dari indera yang bersifat “rendah, umum, tidak menguntungkan dan menjadi jalan bagi orang-orang pada umumnya” ; jalan lain adalah mencari kebahagaian melalui “self-mortification” dalam berbagai bentuk asketisme yang bersifat “menyakitkan, tidak layak dan tidak menguntungkan”. Sebenarnya Budha telah mencoba kedua ekstrem tersebut sampai akhirnya ia menyadari bahwa kedua jalan yang ekstrem tersebut adalah tidak berguna, dan hanya jalan tengah yang dapat membawa pada pencerahan, Nirwana. Jalan tengah ini biasanya juga disebut delapan jalan kebajikan (Noble Eightfold Path) karena terdiri dari delapan kategori atau pembagian yaitu:16)



TINJAUAN ATAS KONSEP PENDERITAAN DALAM “EMPAT KEBAJIKAN KEBENARAN”

Penderitaan (Dukkha)

Kecermatan Budha dalam melihat penderitaan sebagai fenomena yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengajarannya adalah sesuatu yang tepat. Sesungguhnya, justru karena ia berbicara mengenai tema yang membumi inilah maka banyak orang mengikutinya. Siapakah yang tidak ingin lepas dari penderitaan? Siapakah yang tak ingin mendapatkan kebahagaian? Tentu saja semua orang menginginkannya. Maka dari itulah ajaran Budha mampu menarik simpati banyak orang.17)
Walaupun demikian, ada beberapa hal yang perlu kita tanggapi dari pemikiran Budha mengenai penderitaan atau dukkha ini.
1. Budha menganggap bahwa kelahiran manusia ke dalam dunia itu sendiri adalah suatu penderitaan, demikian pula proses menjadi tua, dan kematian. Bagi penulis, konsep demikian adalah konsep yang tragis dan tidak perlu dimiliki oleh manusia18, apalagi orang Kristen. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa hidup adalah suatu anugerah dari Tuhan, oleh karena itu, kelahiran anak adalah berkat bagi orang tua, dan kesempatan yang indah bagi manusia yang lahir itu untuk hidup bahagia dalam rencana Tuhan. Proses menjadi tua dan kematian juga tidak perlu dipandang secara pesimis sebagaimana diajarkan Budha. Memang benar bahwa, dalam prsoes menjadi tua biasanya terdapat ketakutan, kelemahan-kelamahan fisik yang makin meningkat dan masalah-masalah lain. Akan tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa proses itu sendiri bukanlah sesuatu yang baik. Paulus dalam Flp. 1:21-22 bahkan ingin segera meninggalkan tubuh yang fana ini untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. Proses menjadi tua dan kematian bagi orang Kristen adalah proses mendekati surga dengan segala kepenuhannya, tidak ada ratap tangis dan duka di dalamnya, hanya ada sukacita. Dengan pemahaman demikian ini maka seharusnya orang Kristen tidak perlu menilai proses menjadi tua ataupun kematian itu sendiri sebagai sesuatu yang buruk.19)
2. Berikutnya, pemahaman Budhisme mengenai dukkha sebagai perubahan. Konsep Budha mengenai perubahan segala sesuatu (impermanence) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat menyebabkan kesukaan bagi kita saat ini dapat sewaktu-waktu meninggalkan kita dan berubah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ini adalah adalah suatu pengajaran yang positif dan realistik. Heraclitus, sang filsuf Yunani juga mengajarkan bahwa “kita tidak dapat memasuki sebuah sungai yang sama dua kali”. Ada aliran yang senantiasa membuat perubahan dalam segala sesuatu. Sebenarnya Alkitab juga membicarakan tentang “kesementaraan” dari harta-kekayaan / materi dalam Mat 6:19. Kesementaraan ini membuat kita tidak layak untuk bersandar atau meletakkan kebahagiaan kita pada hal-hal yang fana seperti harta, dll. Akan tetapi, selain hal-hal diatas, jelas bahwa Alkitab juga menyatakan tentang beberapa hal yang tidak berubah misalnya : (1) Firman Allah yang tidak berubah selama-lamanya (Mat 5:18); (2) Tuhan tidak berubah (Mal. 3:6).
3. Dalam konsep dukkha sebagai kondisi, maka kita dapat sependapat dengan Budha yang menyatakan bahwa realitas penderitaan adalah fakta yang terjadi dalam dunia dan hadir disamping realitas kebahagiaan. Akan tetapi perlu dicatat bahwa realitas penderitan ini hadir sebagai sesuatu yang diijinkan Allah dan ini tidak bersifat kekal akan tetapi bersumber pada kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 3).

Keinginan/kehausan (Tanha)
Ada beberapa tanggapan yang bisa kita berikan mengenai konsep Budha atas “kehausan” atau keinginan yang kuat sebagai penyebab penderitaan.
1. Kontradiksi mengenai “keinginan” dalam pengajaran Budha. Di satu sisi Budha menganggap bahwa keinginan pribadi untuk suatu pemenuhan tertentu adalah jahat, akan tetapi sebaliknya Budha juga mendorong orang untuk memiliki keinginan dan mencari pencerahan pribadi. Menurut pengajarannya, seseorang seharusnya menginginkan untuk diselamatkan atau dibebaskan dari sikap berpusat pada diri sendri (selfishness) karena sikap inilah yang menyebabkan penderitaan. Akan tetapi kontradiksi moralnya ialah: seseorang harus menginginkan untuk dapat diselamatkan dari keinginan atau selfishness. Sementara itu, menginginkan untuk menyelamatkan diri sendiri adalah sama egoisnya dengan tindakan-tindakan lain yang pada akhirnya ditujukan untuk kepuasan diri sendiri. Jadi, jikalau seserorang ingin mendapat pencerahan ia tetap harus “ingin”, sedangkan “ingin” itu sendiri adalah suatu kesalahan yang justru mencegah pencerahan.20 Disinilah kita melihat adanya problem kontradiksi dalam pengajaran mengenai jalan pembebasan dari penderitaan.21)
2. Mengapa Sidharta Gautama, sang Budha sendiri justru memasuki Nirwana? Bukankah dengan demikian ia bertindak egois? Para biarawan biasanya menjawab dengan mengatakan bahwa pertanyaan diatas tidaklah relevan karena Budha bukanlah manusia saja melainkan juga memiliki sifat ilahi. Menurut mereka, Budha adalah manifestasi dari esensi ilahi yang ada/hadir di bumi. Dia bukanlah daging dan tubuh. Hanya nampaknya saja ia adalah manusia, sesungguhnya ia adalah ilusi, sebuah penampakan. Orang-orang berpikir bahwa mereka melihat dan mendengar seorang manusia, padahal bukan. Sidharta Gautama adalah Allah yang menunjukkan dirinya kepada dunia untuk memberitakan mengenai pencerahan.
Dalam pengajaran diatas, sebenarnya terlihat bahwa konsep inkarnasi mulai berkembang.
Budha adalah khayalan belaka, sebuah ilusi. Dan oleh karena ia bukan manusia maka ia dapat memasuki Nirwana. Dengan memberikan pengajaran sedemikian ini sebenarnya para pengikut Budha atau agama Budha sudah mengadakan penyesuaian besar (revisi) yang kedua dari pengajarannya yang mula-mula.22) Disinilah kita melihat kembali bahwa memang setiap masalah dari pengajaran agama Budha ini akhirnya dapat dicarikan jalan keluarnya oleh para pengikutnya. Akan tetapi mereka melakukannya dengan cara mengubah dan mengadakan revisi atas pengajaran Budha yang mula-mula. Pengikut Budhalah yang telah mengajarkan konsep bahwa Budha adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, Budha sendiri tidak pernah dicatat mengajarkan hal yang demikian.23)
3. Tidak ada penjelasan yang memadai mengenai penderitaan fisik yang diluar kontrol manusia seperti bencana alam, terbunuh secara tidak sengaja, dll. Budha tampaknya kurang membedakan berbagai kategori penderitaan. Budha mengenai menyatakan bahwa penderitaan adalah akibat dari mengingini sesuatu secara kuat. Dengan ini sebenarnya Budha sedang berbicara mengenai penderitaan eksistensial akibat dari keinginan yang tidak terpenuhi atau terpenuhi sementara namun tidak terus menerus. Akan tetapi kita bertanya sekarang, bagaimana dengan penderitaan akibat bencana alam, tertabrak oleh pengemudi yang mabuk dan tertembak peluru nyasar. Kita tidak mengingini apapun tetapi penderitaan itu datang dengan sendirinya. Penderitaan dalam hal-hal diatas tidak datang akibat dari keinginan kita. Tetapi mungkin Budha akan menjawab, “terimalah itu semua sebagai realita hidup, dukkha adalah realita hidup manusia dan kondisi manusia”. Tetapi kita dapat bertanya mengenai sumber dari penderitaan yang demikian, mengapa ada bencana alam, mengapa ada dukkha sebagai realita hidup dan kondisi ? Disini Budhisme tampaknya tidak memiliki jawaban yang tuntas. Buku-buku mengenai budhime tidak menjelaskan darimana atau mengapa terjadi hal-hal yang demikian dalam hidup manusia. Budha hanya menyatakan bahwa itu merupakan realita dan kondisi dunia. Berbeda dengan itu, teologi Kristen memberikan jawaban yang memiliki koherensi di dalam banyak dokrtin untuk menjawab hal ini. Berikut ini adalah penjelasan Alkitab untuk penderitaan fisik (The Problem of Physical Pain/Evil).
1) Adam dan Hawa telah jatuh ke dalam dosa (Kej 3), dan semua manusia turut berdosa di dalam Adam (Rom. 5:12).
2) Konsekuensi dari dosa adalah kematian (Kej 2 dan Rom 6:23). Tetapi kejatuhan Adam dan dosa bukan hanya mengakibatkan adanya kematian, melainkan juga terkutuknya bumi (Kej. 3 dan Rom. 8). Dalam kutukan terhadap bumi ini inklusif di dalamnya ada bencana alam, kelaparan, dll. Kutukan terhadap bumi ini tidak akan berlalu sebelum
kedatangan Kristus yang kedua kali (Wahyu 21-22).
3) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fenomena bencana alam pun dapat dijelaskan oleh teologi Kristen dalam kaitannya dengan kehendak bebas manusia. Pilihan kehendak bebas Adam yang tidak taat kepada Allah, itulah yang mengakibatkan terkutuknya bumi sehingga terdapat problem penderitaan fisik.
Dengan pemahaman demikian, kita melihat bahwa teologi Kristen memberikan suatu
worldview yang lebih komprehensif dan lengkap dalam menjelaskan penderitaan fisik akibat bencana alam, dll.24)

Jalan Tengah: Delapan Jalan
Dalam pengertian tertentu, kita harus mengakui bahwa Budha sungguh adalah orang yang pandai dan bijak ketika mencetuskan jalan tengah ini. Seringkali memang, jalan di antara dua ekstrem merupakan jalan yang baik. Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup setelah Budha juga mengatakan bahwa “jalan tengah” adalah pilihan yang baik. Ia memberikan contoh mengenai kemarahan. Bagi Aristoteles, tidak pernah marah sama sekali, dan sering marah adalah dua ekstrem yang buruk. Yang tepat untuk dilakukan oleh manusia adalah marah dengan alasan yang tepat, pada waktu yang tepat, terhadap orang yang tepat dan dengan cara yang tepat. Bukankah ini merupakan konsep yang baik? Pemikiran seperti ini tentu saja patut untuk kita hargai dan acungi jempol.
Selanjutnya, Budha mengajarkan mengenai “Delapan Jalan” yang sebenarnya dapat dirangkumkan dalam tiga kategori: (1) Kebijakan, termasuk di dalamnya, pengetahuan dan kehendak yang benar; (2) perilaku, termasuk di dalamnya adalah kata-kata, tindakan dan pekerjaan yang benar; (3) meditasi, termasuk di dalamnya usaha, pikiran dan konsentrasi yang benar. Apabila kita mengamati apa yang diajarkan Budha tersebut, sebenarnya kita juga melihat banyak kesejajaran konsep yang diajarkannya dengan pengajaran Alkitab yang tersebar dalam Pl maupun PB, misalnya: buah Roh dalam Galatia 5:22-23 dan Flp 4:8 tentang mengarahkan pikiran kepada segala sesuatu yang benar, mulia, adil, suci. Walaupun demikian, segera nampak bahwa masalah dengan apa yang diajarkan oleh Budha melalui “Delapan Jalan” ini adalah mengenai sumber kekuatan untuk melakukannya. Seperti kita ketahui, Budha mengajarkan bahwa manusia dengan kekuatan dan usahanya sendiri harus melakukan “Delapan Jalan” tersebut agar dapat melepaskan diri dari penderitaan. Disini kita melihat sisi humanis dari agama Budha.25) Akan tetapi dapatkah semua hal tersebut dicapai oleh manusia yang penuh dengan nafsu ini? Jikalau mungkin, sampai pada taraf mana? Sempurna atau sebagian?
Dari perspektif Kristen, jelas bahwa usaha dan kekuatan manusia untuk berbuat baik selalu akan mengalami hambatan. Pada dasarnya semua manusia berada dibawah hukum dosa yang membuat ia selalu cenderung untuk berbuat dosa dalam pilihan bebasnya (Rom. 6:1-14). Hal ini menyebabkan adanya hambatan internal dalam diri manusia yaitu nafsu dan kedagingan manusia itu sendiri yang cenderung berbuat jahat. Inilah yang sulit sekali untuk dikalahkan dan memang merupakan bagian dari pergumulan semua manusia termasuk orang Kristen sepanjang hidup.26) Namun demikian, kita patut bersyukur karena Allah telah mengaruniakan Roh-Nya kepada orang percaya sehingga Roh Allah itu akan memampukan kita untuk hidup menurut Roh dan menghasilkan kehidupan yang berkenan pada Allah (Rom. 8: 9-17; Bdk. Gal. 5:16-26). Berbeda dengan Budha yang mendorong usaha pribadi untuk mencapai kehidupan yang lepas dari penderitaan, Alkitab mendorong usaha kita untuk mengusahakan kekudusan secara terus menerus, tetapi bukan bersandar pada kekuatan sendiri saja, melainkan dengan bantuan dan pertolongan Roh Kudus.27)
Pertolongan dari Roh Kudus inilah yang akan memampukan kita untuk menempuh jalan yang dikehendaki Allah. Apabila Budha mengajarkan konsep “Delapan Jalan” maka sebagai orang Kristen kita memiliki “Tiga Jalan” yaitu “Iman”, “Pengharapan”, dan “Kasih”.28) Permulaan dari jalan Kristiani adalah penerimaan anugerah penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus melalui iman (Saving faith). Melalui iman ini kita dibenarkan dihadapan Allah (Justification) dan dilayakkan menjadi anak-Nya (Adoption). Sebagai anak Allah kita layak untuk mendapatkan warisan kehidupan kekal di surga kelak. Ini adalah pengharapan kita yang pasti di masa mendatang (Glorification). Untuk itu selama hidup dalam dunia ini, kita harus terus menerus meresponi kasih Allah yang menyelamatkan kita tersebut dengan cara hidup dalam
kasih. Kasih adalah pemenuhan hukum Taurat, dan hidup dalam kasih akan membawa kita pada perilaku hidup yang diperkenan Allah, hidup dalam kekudusan (Sanctification). Dengan ini sebenarnya juga perlu ditegaskan bahwa perjuangan orang Kristen yang terutama adalah menaklukkan dosa dan segala ekspresinya, dan bukan melenyapkan penderitaan.29)

PENDERITAAN, SEBUAH PERGUMULAN UNIVERSAL
Agama Budha telah berusaha untuk memberikan solusi terhadap fenomena universal yaitu penderitaan. Bagi pengikut Budhisme, melepaskan diri dari keinginan dan menghidupi jalan tengah adalah jalan keluar untuk mencapai Nirwana, pembebasan dari penderitaan. Akan tetapi kita telah melihat bahwa solusi yang ditawarkan tersebut bukanlah tanpa masalah. Secara filosofis, kita melihat ada kontradiksi dalam konsep pembebasan dari keinginan ini. Secara teologis kita melihat bahwa manusia secara pribadi, tanpa pertolongan Roh Kudus adalah manusia berdosa yang terikat dengan hukum dosa yang bekerja dalam dirinya. Inilah yang menyebabkan bahwa usaha manusia pribadi akan gagal dalam mencapai kondisi “tanpa keinginan” yang dicita-citakan pengikut Budhisme.
Dengan tinjauan terhadap konsep Budha atas penderitaan yang terdapat dalam “Empat Kebajikan Kebenaran” ini tidak berarti bahwa tulisan ini telah memberikan jawaban atas problem penderitaan secara tuntas. Masalah penderitaan yang menjadi sub bagian dari Problem of Evil ini sebenarnya merupakan suatu masalah yang sampai saat ini masih menjadi pergumulan penting dari teologi dan apologetika Kristen.30) Berbagai pembelaan/teodise telah coba diberikan, akan tetapi formulasi jawaban yang tuntas belumlah ditemukan. Penulis berharap agar melalui tulisan ini, terdapat suatu kesadaran bagi orang percaya untuk mempelajari masalah ini dan dapat memberikan suatu apologia yang persuasif bagi orang yang tidak percaya. #

--- --- ---
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sir Norman, ed. The World’s Religions. Grand Rapids: Eerdmans dan Leicester: IVP, 1987.
Braswell, Jr. George W. Understanding World Religions. Nashville: Broadman and Holman, 1994.
C. George Fry, James R. King, Eugene R. Swanger dan herbert C. Wolf. Great Asian Religions. Grand Rapids: Baker, 1984.
Ellis, Albert. Feeling Better, Getting Better, Staying Better. Jakarta: PT Elex Media Kompotindo, 2002.
Frame, John. Apologetika bagi Kemuliaan Allah. Surabaya: Momentum, 2000.
Gaer, Joseph. How The Great Religions Began. Chicago: Signet Book, 1956.
Geisler, Norman L. Baker Encyclopedia of Christian Apologetics. Grand Rapids: 1999.
Geisler, Norman L. Philosophy of Religion. Grand Rapids: Zondervan, 1982.
Gethin, Rupert. The Foundations of Budhism. New York: Oxford University Press, 1998.
Hart, Michael H. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Hick, John. “Ketidakmutlakan Agama Kristen” dalam Mitos Keunikan Agama Kristen, Eds. John Hick dan Paul
F. Knitter. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Johnson, David L. A Reasoned Look At Asian Religions. Mineapolis: Bethany Hous Publisher, 1985.
McDermott, Gerald R. Can Evangelicals Learn from World Religions?. Illinois: IVP, 2000.
Moore, James R. “Some Weaknesses in Fundamental Budhism” dalam Evangelical Missions Quarterly Vol. 7/1.
South Pasadena: William Carey Library, 1970.
Mulyono, Djoko dan Santoso, Petrus. Studi Banding Agama Buddha dan Kristen. Indonesia: Free Prees, 2005.
Nash, Ronald H. Iman dan Akal Budi. Surabaya: Momentum, 2001.
Plantinga, Alvin C. God, Freedom, and Evil. Michigan: Eerdmans, 1974.
Rahula, Walpola. What The Budha Taught. New York: Grove Press, 1974.
Reymond, Robert L. A New Systematic Theology of the Christian Faith. Nashville: Thomas Nelson, 1998.
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1999.
VaroMartinson, Paul. A Theology Of World Religions. Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1987.
Vroom, Hendrick. No Other Gods. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.
Zuck, Roy B. ed., Vital Apologetic Issues. Michigan: Kregel, 1995.
--- --- ---
FOOTNOTE :
1) Masalah penderitaan (The Problem of Pain) adalah topik yang menarik dalam apologetika Kristen dan biasanya dimasukkan sebagai sub kategori masalah kejahatan (The Problem of Evil) yang lebih luas sifatnya (bdk.Norman L. Geisler, Philosophy of Religion [Michigan:Zondervan, 1982] 327-330).
2) Lih. Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997) 48. Bdk. Joseph Gaer menggambarkan penderitaan yang disaksikan oleh Gautama dalam bentuk dialog, How The Great Religions Began (Chicago: Signet Book, 1956) 29-30.
3) Ed. Sir Norman Anderson, The World’s Religions (Grand Rapids: Eerdmans dan Leicester: IVP, 1987) 171.
4) Juga disebut pohon Bo, atau pohon Bodhi. Ibid, 171.
5) Lih. Hart, Seratus Tokoh 49.
6) Pembahasan yang panjang lebar mengenai topik ini terutama dalam dua buku yaitu : Rupert Gethin, The Foundations of Budhism (New York: Oxford University Press, 1998) 59-79, dan Walpola Rahula, What The Budha Taught (New York: Grove Press, 1974) 16-45. Buku-buku lain yang bersifat introduksi dan tidak membahas secara mendetail tetapi meringkaskannya dengan baik adalah: George W. Braswell, Jr, Understanding World Religions (Nashville: Broadman and Holman, 1994) 52-55; Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1999) 129-135; Anderson, The World’s 172; David L. Johnson, A Reasoned Look At Asian Religions (Mineapolis: Bethany Hous Publishre, 1985) 119-122; Norman L. Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: 1999) 788.
7) Mengikuti pembagian Gethin, The Foundations 59. Bdk. Pembagian yang mirip diberikan oleh Paul VaroMartinson, A Theology Of World Religions (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1987) 25.
8) Bagi Budha, hidup tanpa penderitan adalah istilah/kalimat yang berkontradiksi. Menurut Empat Kebajikan Kebenaran, sebenarnya mayoritas manusia mengalami penderitaan dalam sebagian besar waktu hidupnya di dunia (Eds. C. George Fry, James R. King, Eugene R. Swanger dan herbert C. Wolf, Great Asian Religions [Grand Rapids: Baker, 1984] 68-69).
10) Lih. Gethin, The Foundations 60-62. 10 Bdk. Rahula memberikan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai dukkha sebagai kondisi (What The 19-20). Penulis Buddha lainnya membagi dukkha menjadi delapan jenis yaitu: kelahiran, proses penuaan, sakit, kematian, terpisah dari sesuatu yang anda cintai, berdekatan dengan
sesuatu yang anda benci, tidak memperoleh yang anda inginkan, siksaan pikiran yang disebabkan rasa sakit pada kelima organ indera (Djoko Mulyono dan Petrus Santoso, Studi Banding Agama Buddha dan Kristen [Indonesia: Free Prees, 2005] 65).
11) Ibid 29. Bdk. Gethin, The Foundations 70. Rahula dan Gethin menterjemahkannya “thirst” untuk menekankan suatu keinginan yang kuat seperti ketika kita kehausan. Lagipula ini merupakan terjemahan yang literal dari tanha. Kata kehausan ini mengkonotasikan keinginan yang kuat (strong desire). Walaupun demikian, demi kemudahan pengertian pembaca, penulis akan tetap memakai kata “keinginan” akan tetapi hal ini harus dimengerti sebagai suatu keinginan yang kuat.
12) Ibid, 70.
13) Gethin, The Foundations 74.
14) Rahula, What The 38. Nirwana ini biasanya dijelaskan dalam istilah-istilah negatif lain seperti Viraga:
ketiadaan keinginan, Nirodha: penghentian, dll. Dalam bagian selanjutnya, Rahula juga menjelaskan bahwa Nirwana ini bukanlah suatu tempat, situasi, kondisi atau wujud tertentu. Jadi istilah Budha masuk ke Nirwana setelah ia mati adalah sesuatu yang salah dan tidak ada di dalam teks kitab suci mereka (41).
15) Djoko Mulyono dan Petrus Santoso, Studi Banding 68.
16) Tabel diatas merupakan diadaptasi terutama dari Gethin, The Foundations 81 dan Rahula What The 48. Bdk. Penjelasan Smith, Agama-Agama 138-145. Penjelasan Smith tidak sistematis poin per poin akan tetapi disampaikan secara komunikatif.
17) Johnson, A Reasoned 130.
18) Bdk. Pendekatan psikologi modern juga menolak untuk mengakui penderitaan sebagai suatu fakta yang real yang di dalamnya manusia tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolaknya. Albert Ellis, menekankan bahwa hal-hal yang terjadi hanya dapat menjadi penderitaan apabila kita secara aktif menghayatinya dan menerimanya demikian dalam hati, pikiran kita. Jadi, Ellis menekankan bahwa segala sesuatu yang buruk diluar diri kita hanya dapat menjadi penderitaan apabila kita memutuskan untuk menderita (Lih. Albert Ellis, Feeling Better, Getting Better, Staying Better [Jakarta: PT Elex Media Kompotindo, 2002] xi-xiii )
19) Selain kelahiran, proses menjadi tua dan kematian, Budha juga menganggap bahwa seseorang yang ingin melepaskan diri dari penderitaan harus pula memutuskan hubungan dengan dunia ini beserta segala rutinitasnya, termasuk di dalmnya adalah kehidupan keluarga dan hubungan seks. Pandangan ini tentu saja harus kita tolak sebagai orang Kristen. Yesus tidak pernah berbicara buruk mengenai hubungan seksual ataupun kehidupan keluarga, asalkan keduanya dijalani di dalam komitmen kasih, maka hal-hal itu adalah baik (Lih. Gerald R. McDermott, Can Evangelicals Learn from World Religions? [Illinois: IVP, 2000] 135-136). McDermott juga mencatat hal-hal positif yang dapat kita pelajari dari Budhisme (hal 154-156).
20) Memang ada usaha untuk menjawab hal ini dari para pengikut Budha. Misalnya, meeka mengatakan bahwa adalah mungkin untuk “ingin” sesuatu tanpa harus egois (selfish). Contohnya adalah kalau kita ingin diselamatkan agar dapat membantu orang lain (bukan hanya dirinya). Akan tetapi dengan menyatakan ini, sebenanrya mereka telah mengubah pengajaran Budha mula-mula kepada sesuatu yang baru dan berbeda
(Johnson, A Reasoned 131).
21) Lih. James R. Moore, “Some Weaknesses in Fundamental Budhism” dalam Evangelical Missions Quarterly Vol. 7/1 (South Pasadena: William Carey Library, 1970) 28. Moore berkata, “The contradicition appears full force if we say, ‘suppose we desire to eliminate desire’ ”
22) Johnson, A Reasoned 132.
23) Lih. John Hick, “Ketidakmutlakan Agama Kristen” dalam Mitos Keunikan Agama Kristen, Eds. John Hick dan Paul F. Knitter (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) 52.
24) Norman Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Michigan: Baker 1999) 222-223.
25) Jadi walaupun Budhisme disebut sebagai agama, namun ini adalah agama yang tidak dimulai dengan Allah dan menuju fase dimana pertolongan Allah juga tidak diperlukan. Oleh karena itu, Moore menyebut Budha sebagai agama dengan prinsip humanis. ( “Some Weaknesses in Fundamental Budhism” dalam Evangelical Missions Quarterly 31).
26) Penulis percaya progressive sanctification tetapi bukan perfectionism.
27) Proses pengudusan secara progresif ini disebut Divine-human activities oleg Robert L. Reymond, A New Systematic Of The Christian Theology (Nashville: Thomas Nelson, 1998) 767.
28) Hendrick Vroom, No Other Gods (Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 41.
29) Vroom, No Other 40.
30) John Frame berkata bahwa problem ini mungkin merupakan keberatan terhadap Teisme Kristen yang paling serius dan paling kuat (John Frame, Apologetika bagi Kemuliaan Allah [Surabaya: Momentum, 2000] 192). Zuck menempatkannya dalam urutan pertama dalam bagian problem-problem dalam kekristenan (Roy B. Zuck ed., Vital Apologetic Issues [Michigan:Kregel, 1995]10-18). Bdk. Nash, Iman dan Akal 271.
--- --- ---

1 komentar:

  1. Tidak setitik dari ajaran itu yg anda pahami :) jangan menghakimi, dalami ajaran kepercayaan anda jangan mengusik agama org lain, artikel ini tidak menbuat anda lebih pintar dari yg lain, hanya menunjukkan kebodohan anda yg sebenarnay tidak tau apa2, salam damai.

    BalasHapus