Minggu, 29 Mei 2011

Berhenti merokok

http://pojokasap.blogspot.com/

PENDERITAAN MENURUT AGAMA BUDDHA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF KRISTEN (Oleh: Ev. Bedjo Lie, M.Div.)

PENDERITAAN MENURUT AGAMA BUDDHA: SEBUAH TINJAUAN KRITIS DARI PERSPEKTIF KRISTEN (Oleh: Ev. Bedjo Lie, M.Div.)

PENDERITAAN, SEBUAH FAKTA UNIVERSAL
Banjir lumpur, gempa bumi, tsunami dan kemiskinan, mungkin itulah yang kita pikirkan ketika berbicara tentang penderitaan di Indonesia. Kita hidup dalam konteks bangsa yang sedang mengalami krisis multidimensi plus tertimpa banyak bencana baik yang alami maupun ”buatan”. Dalam kondisi seperti ini, terkadang kita tergoda untuk berpikir bahwa hidup di Indonesia sungguh tidak mengenakkan. Lalu pikiran kita menerawang dan berimajinasi untuk tinggal di negara-negara maju seperti Amerika Serikat atau Jepang dan berpikir bahwa kondisi disana akan jauh lebih baik. Tetapi, pikiran demikian tentu tidak benar. Itu adalah mitos dan bukan fakta. Yang terjadi adalah, penderitaan merupakan bagian dari umat manusia dimanapun ia berada, di negara maju, maupun yang kurang maju, kecil maupun besar, komunis maupun kapitalis, agama maupun sekuler. Hanya bentuk, tingkatan dan penyebabnya saja yang berbeda-beda. Penderitaan adalah fakta universal!
Penderitaan juga melampaui horison waktu, ia ada dulu, sejak zaman dahulu kala sampai sekarang dan juga di masa mendatang. Penderitaan adalah fakta yang tidak hanya universal tetapi juga “seolah-olah” abadi. Justru karena itulah, berbicara mengenai penderitaan merupakan hal yang menarik, paling tidak bagi orang yang punya keprihatinan dan mau berkontemplasi tentang kehidupan.
Sidharta Gautama (563-483 S.M.) adalah jenis orang seperti itu. Sebagai seorang guru, pendiri agama Budha, ia adalah orang yang dianggap memiliki banyak hikmat dan kebijaksanaan. Akan tetapi jikalau kita memperhatikan pengajarannya yang utama, maka kita akan segera menemukan tema sentral PENDERITAAN dalam pengajarannya. Kebenaran-kebenaran mengenai penderitaan ini terangkum dalam pengajarannya yang disebut Empat Kebajikan Kebenaran (Four Noble Truth).
Dalam tulisan ini, kita akan memberikan tinjauan kritis atas pengajaran Budha tentang penderitaan yang terdapat dalam Empat Kebajikan Kebenaran. Oleh karena itu, maka tulisan ini akan mengalir sebagai berikut. Pertama, sejarah singkat kehidupan Budha sampai dengan masa ia mengalami pencerahan. Hal ini penting untuk menyediakan konteks lahirnya pemikiran Buddha tentang penderitaan. Kedua, pemaparan mengenai konsep penderitaan dalam Empat Kebajikan Kebenaran. Selanjutnya, tinjauan kritis atas konsep Empat Kebajikan Kebenaran tersebut dari sudut pandang Kristen.1) Terakhir, sebuah kesimpulan dan aplikasi.

PERGULATAN SIDHARTA GAUTAMA MENCARI KEBENARAN
Sidharta Gautama adalah seorang pangeran kerajaan, dibesarkan dalam istana yang mewah di perbatasan Nepal. Tetapi aneh, hatinya justru terpaut pada realitas di luar. Ia menengok ke luar dari dirinya sendiri dan menemukan orang-orang, realita-realita yang membuatnya berempati, simpati dan kemudian mengambil aksi. Orang-orang yang bagaimana itu? Realita apa saja yang ia temui? Jawabannya menyedihkan! Ia menyaksikan orang-orang yang menderita, dan menemukan realita-realita penderitaan dalam berbagai bentuk. Orang miskin yang terkapar di jalan, yang hari demi hari mengejar kebutuhan hidup yang tak kunjung terjangkau, orang yang tertimpa penyakit yang tak kunjung sembuh, dan akhirnya orang-orang yang menangis meratapi kematian saudara mereka. Bagaimana dengan orang kaya? Mereka pun mengalaminya. Rasa tak puas, was-was dan gelisah, kecewa dan murung karena dihantui berbagai macam penyakit yang setiap waktu dapat membawa ke liang pahat. Itulah sebagian dari penderitaan bagi orang-orang kaya.2) Bukankah itu semua tidak kurang sedikit dibandingkan orang miskin?
Sang pangeran yang berumur 29 tahun itu merenung. Ia sadar bahwa penderitaan adalah jalan dari semua orang. Tetapi bagaimana cara melepaskan diri dari fakta ini. Ia masuk ke dalam pencarian akan kebenaran, suatu kebenaran yang filosofis sekaligus praktis. Sidharta muda lalu memutuskan untuk meninggalkan kerajaan, ia ingin belajar akan kebenaran. Tanpa uang, dengan meninggalkan keluarga, ia pergi dan belajar pada guru terkenal Alara dan Uddaka, tetapi ia tidak puas pada pengajaran mereka. Masa selanjutnya dari pengembaraannya ditandai dengan tindakan asketis yang ekstrem. Ia tinggal di hutan belantara, tubuhnya kurus kering karena makanan yang terbatas. Tetapi ia akhirnya menemukan, asketisisme yang demikian adalah ilusi belaka, tidak membawa pada jalan realisasi diri.3)
Dalam pencarian kebenaran selanjutnya, suatu kali ia duduk dibawah pohon berdaun lebar dan berbuahkan semacam buah pir yang sarat dengan segala macam biji 4), pada saat itulah ia merenungkan berbagai macam teka-teki kehidupan. Semalam suntuk ia merenung dan pagi harinya ia tersentak karena ia telah menemukan kebenaran, Sidharta telah mendapat “Enlightenment” bagi pergumulannya mengenai kehidupan. Mulai saat itulah orang menyebut ia “Budha” atau “ orang yang mendapat penerangan”.
Pada saat itu, umurnya menginjak 35 tahun. Sisa umurnya yang 45 tahun dipergunakannya berkelana di sepanjang India Utara, menyebarkan filosofinya ke banyak orang dan akhirnya pengaruhnya pun dengan cepat meluas. Saat dia wafat pada tahun 483 S.M. sudah ratusan ribu orang menjadi pemeluk ajarannya. Kemudian tradisi oral mengenai ajarannya pun diwariskan dari generasi ke generasi.5) Kekayaan dari ajaran Budha yang terutama ini disebut Empat Kebajikan Kebenaran.

EMPAT KEBAJIKAN KEBENARAN (THE FOUR NOBLE TRUTH) 6)
Pencerahan yang dialami Budha telah membawanya pada kebenaran-kebenaran tentang kehidupan. Apabila diringkaskan maka pengajaran Budha dapat dibuat dalam empat proposisi utama yang memiliki tema sentral “penderitaan”. Penderitaan ini dapat dikatakan menjadi orientasi dasar dari Budhisme sepanjang masa dan dimana saja.
Pembahasan kita mengenai penderitaan akan mengikuti alur berikut: masalah (The Disease), penyebab (The Cause), penyembuhan/penghentian (The Cure) dan terakhir jalan keluar (The Medicine).7)

Masalah/penyakit: Penderitaan (Dukkha)
Dukkha adalah “penderitaan” itu sendiri. Hidup ini dipenuhi oleh realitas penderitaan sejak dari lahirnya manusia sampai pada kematian menjemputnya.8 Bagi Budha, lahir adalah penderitaan, menjadi tua adalah penderitaan, sakit adalah penderitaan, mati adalah penderitaan, kesedihan, ratapan, kesakitan dan ketidakbahagiaan, semuanya itu adalah penderitaan. Fakta penderitaan ini disadari oleh Budha sebagai bersifat universal, artinya semua orang mengalaminya, tidak peduli orang kaya, miskin, tua, muda, dst.9)
Konsep dukkha dalam pengajaran Budha dapat dibagi dalam tiga jenis. Pertama, penderitaan sebagai rasa sakit (pain). Ini adalah “self-evident suffering”. Ketika kita berada dalam sakit mental ataupun fisik, jelaslah bahwa terdapat dukkha. Bahkan ketika kita sedang menikmati sesuatu atau pada saat tidak ada sesuatu yang secara khusus membuat kita tidak bahagia, hal-hal selalu bisa berubah: apa yang kita nikmati dapat segera berlalu atau sesuatu yang tidak menyenangkan dapat muncul begitu saja. Inilah yang disebut dukkha sebagai perubahan. Selanjutnya, Budha juga berbicara mengenai dukkha sebagai kondisi. Dalam pengertian ini, Budha berbicara mengenai natur dari dunia yang bersifat tidak stabil dan tidak tetap. Dunia ini pada dasarnya berisi kesakitan dan kesenangan, penderitaan dan kebahagiaan, semuanya
saling kait-mengait dan membentuk realitas.10)

Penyebab penderitaan: Keinginan/kehausan (Tanha)
Budha sangat menekankan mengenai tanggungjawab manusia atas penderitaan yang dialaminya dalam dunia. Ia menyatakan bahwa pada umumnya keinginan atau “kehausan”11) dapat dianggap sebagai penyebab kepedihan hidup. Hal ini terjadi karena keinginan ini sendiri adalah sesuatu yang tidak dapat dipuaskan secara tuntas. Keinginan ini dapat digolongkan ke dalam tiga kategori: (1) keinginan untuk kesenangan sensual atau inderawi, misalnya: menginginkan benda-benda; (2) keinginan untuk eksistensi dan menjadi sesuatu, misalnya ingin menjadi seseorang dengan karakteristik tertentu atau ingin hidup kekal; (3) keinginan untuk noneksistensi. Artinya, kadangkala kita ingin untuk mati, dan kalau bisa memilih, maka kita memilih untuk tidak lahir di dunia ini.12) Keinginan-keinginan inilah yang menjadi penyebab dari adanya penderitaan.
Penghentian penderitaan: nirwana Dalam kehidupan sehari-hari, biasanya kita selalu berusaha untuk memenuhi dan memuaskan “keinginan” kita agar mencapai kebahagiaan. Akan tetapi, ketika kita melakukan hal ini maka kita sedang melekatkan diri kita pada hal-hal yang sebenarnya tidak dapat dipercaya, tidak stabil, berubah terus menerus dan tidak permanen. Sepanjang kita selalu berusaha untuk melekatkan diri pada hal-hal ini, sebenarnya kita sedang melestarikan penderitaan. Oleh karena itu, jikalau kita ingin melepaskan diri dari penderitaan, jalan menuju kepada hal itu adalah dengan cara melepaskan, atau membiarkan segalanya berlalu. Ini adalah solusi yang radikal dan sekaligus sangat sederhana. Jikalau “keinginan” adalah penyebab penderitaan, maka jalan penghentian penderitaan adalah dengan cara meninggalkannya, melepaskannya atau membiarkannya pergi. Inilah yang sebenarnya merupakan tujuan dari jalan Budha, pelepasan dari penderitaan, pencapaian kebahagiaan tertinggi, Nirwana.13)
Nirwana ini pada dasarnya berbicara mengenai “Extinction of Thirst” atau “padamnya keinginan”. Akan tetapi harus disadari bahwa Nirwana merupakan konsep yang jauh lebih rumit dan abstrak dari sekedar padamnya keinginan.14) Yang penting untuk diketahui adalah bahwa agama buddha percaya bahwa nirwana ini dapat dicapai manusia selagi ia masih hidup (sopadisesa nibbana) ketika seorang buddhis telah mampu melepaskan keinginnanya. Selain itu, Nirwana tentu juga bisa diraih ketika seseorang sudah meninggal (anopadisesa nibbana).15)

Jalan penghentian penderitaan: Jalan Tengah.
Jalan menuju pada penghentian penderitaan ini disebut Jalan Tengah (Middle Way) karena ia menghindari dua ektrem: ekstrem yang satu ialah mencari kebahagiaan melalui kesenangan dari indera yang bersifat “rendah, umum, tidak menguntungkan dan menjadi jalan bagi orang-orang pada umumnya” ; jalan lain adalah mencari kebahagaian melalui “self-mortification” dalam berbagai bentuk asketisme yang bersifat “menyakitkan, tidak layak dan tidak menguntungkan”. Sebenarnya Budha telah mencoba kedua ekstrem tersebut sampai akhirnya ia menyadari bahwa kedua jalan yang ekstrem tersebut adalah tidak berguna, dan hanya jalan tengah yang dapat membawa pada pencerahan, Nirwana. Jalan tengah ini biasanya juga disebut delapan jalan kebajikan (Noble Eightfold Path) karena terdiri dari delapan kategori atau pembagian yaitu:16)



TINJAUAN ATAS KONSEP PENDERITAAN DALAM “EMPAT KEBAJIKAN KEBENARAN”

Penderitaan (Dukkha)

Kecermatan Budha dalam melihat penderitaan sebagai fenomena yang perlu mendapatkan perhatian dalam pengajarannya adalah sesuatu yang tepat. Sesungguhnya, justru karena ia berbicara mengenai tema yang membumi inilah maka banyak orang mengikutinya. Siapakah yang tidak ingin lepas dari penderitaan? Siapakah yang tak ingin mendapatkan kebahagaian? Tentu saja semua orang menginginkannya. Maka dari itulah ajaran Budha mampu menarik simpati banyak orang.17)
Walaupun demikian, ada beberapa hal yang perlu kita tanggapi dari pemikiran Budha mengenai penderitaan atau dukkha ini.
1. Budha menganggap bahwa kelahiran manusia ke dalam dunia itu sendiri adalah suatu penderitaan, demikian pula proses menjadi tua, dan kematian. Bagi penulis, konsep demikian adalah konsep yang tragis dan tidak perlu dimiliki oleh manusia18, apalagi orang Kristen. Sebagai orang Kristen kita percaya bahwa hidup adalah suatu anugerah dari Tuhan, oleh karena itu, kelahiran anak adalah berkat bagi orang tua, dan kesempatan yang indah bagi manusia yang lahir itu untuk hidup bahagia dalam rencana Tuhan. Proses menjadi tua dan kematian juga tidak perlu dipandang secara pesimis sebagaimana diajarkan Budha. Memang benar bahwa, dalam prsoes menjadi tua biasanya terdapat ketakutan, kelemahan-kelamahan fisik yang makin meningkat dan masalah-masalah lain. Akan tetapi hal ini tidaklah berarti bahwa proses itu sendiri bukanlah sesuatu yang baik. Paulus dalam Flp. 1:21-22 bahkan ingin segera meninggalkan tubuh yang fana ini untuk bertemu dengan Tuhan Yesus. Proses menjadi tua dan kematian bagi orang Kristen adalah proses mendekati surga dengan segala kepenuhannya, tidak ada ratap tangis dan duka di dalamnya, hanya ada sukacita. Dengan pemahaman demikian ini maka seharusnya orang Kristen tidak perlu menilai proses menjadi tua ataupun kematian itu sendiri sebagai sesuatu yang buruk.19)
2. Berikutnya, pemahaman Budhisme mengenai dukkha sebagai perubahan. Konsep Budha mengenai perubahan segala sesuatu (impermanence) menyatakan bahwa hal-hal yang dapat menyebabkan kesukaan bagi kita saat ini dapat sewaktu-waktu meninggalkan kita dan berubah menjadi sesuatu yang tidak menyenangkan. Ini adalah adalah suatu pengajaran yang positif dan realistik. Heraclitus, sang filsuf Yunani juga mengajarkan bahwa “kita tidak dapat memasuki sebuah sungai yang sama dua kali”. Ada aliran yang senantiasa membuat perubahan dalam segala sesuatu. Sebenarnya Alkitab juga membicarakan tentang “kesementaraan” dari harta-kekayaan / materi dalam Mat 6:19. Kesementaraan ini membuat kita tidak layak untuk bersandar atau meletakkan kebahagiaan kita pada hal-hal yang fana seperti harta, dll. Akan tetapi, selain hal-hal diatas, jelas bahwa Alkitab juga menyatakan tentang beberapa hal yang tidak berubah misalnya : (1) Firman Allah yang tidak berubah selama-lamanya (Mat 5:18); (2) Tuhan tidak berubah (Mal. 3:6).
3. Dalam konsep dukkha sebagai kondisi, maka kita dapat sependapat dengan Budha yang menyatakan bahwa realitas penderitaan adalah fakta yang terjadi dalam dunia dan hadir disamping realitas kebahagiaan. Akan tetapi perlu dicatat bahwa realitas penderitan ini hadir sebagai sesuatu yang diijinkan Allah dan ini tidak bersifat kekal akan tetapi bersumber pada kejatuhan manusia dalam dosa (Kej. 3).

Keinginan/kehausan (Tanha)
Ada beberapa tanggapan yang bisa kita berikan mengenai konsep Budha atas “kehausan” atau keinginan yang kuat sebagai penyebab penderitaan.
1. Kontradiksi mengenai “keinginan” dalam pengajaran Budha. Di satu sisi Budha menganggap bahwa keinginan pribadi untuk suatu pemenuhan tertentu adalah jahat, akan tetapi sebaliknya Budha juga mendorong orang untuk memiliki keinginan dan mencari pencerahan pribadi. Menurut pengajarannya, seseorang seharusnya menginginkan untuk diselamatkan atau dibebaskan dari sikap berpusat pada diri sendri (selfishness) karena sikap inilah yang menyebabkan penderitaan. Akan tetapi kontradiksi moralnya ialah: seseorang harus menginginkan untuk dapat diselamatkan dari keinginan atau selfishness. Sementara itu, menginginkan untuk menyelamatkan diri sendiri adalah sama egoisnya dengan tindakan-tindakan lain yang pada akhirnya ditujukan untuk kepuasan diri sendiri. Jadi, jikalau seserorang ingin mendapat pencerahan ia tetap harus “ingin”, sedangkan “ingin” itu sendiri adalah suatu kesalahan yang justru mencegah pencerahan.20 Disinilah kita melihat adanya problem kontradiksi dalam pengajaran mengenai jalan pembebasan dari penderitaan.21)
2. Mengapa Sidharta Gautama, sang Budha sendiri justru memasuki Nirwana? Bukankah dengan demikian ia bertindak egois? Para biarawan biasanya menjawab dengan mengatakan bahwa pertanyaan diatas tidaklah relevan karena Budha bukanlah manusia saja melainkan juga memiliki sifat ilahi. Menurut mereka, Budha adalah manifestasi dari esensi ilahi yang ada/hadir di bumi. Dia bukanlah daging dan tubuh. Hanya nampaknya saja ia adalah manusia, sesungguhnya ia adalah ilusi, sebuah penampakan. Orang-orang berpikir bahwa mereka melihat dan mendengar seorang manusia, padahal bukan. Sidharta Gautama adalah Allah yang menunjukkan dirinya kepada dunia untuk memberitakan mengenai pencerahan.
Dalam pengajaran diatas, sebenarnya terlihat bahwa konsep inkarnasi mulai berkembang.
Budha adalah khayalan belaka, sebuah ilusi. Dan oleh karena ia bukan manusia maka ia dapat memasuki Nirwana. Dengan memberikan pengajaran sedemikian ini sebenarnya para pengikut Budha atau agama Budha sudah mengadakan penyesuaian besar (revisi) yang kedua dari pengajarannya yang mula-mula.22) Disinilah kita melihat kembali bahwa memang setiap masalah dari pengajaran agama Budha ini akhirnya dapat dicarikan jalan keluarnya oleh para pengikutnya. Akan tetapi mereka melakukannya dengan cara mengubah dan mengadakan revisi atas pengajaran Budha yang mula-mula. Pengikut Budhalah yang telah mengajarkan konsep bahwa Budha adalah Allah yang menjelma menjadi manusia, Budha sendiri tidak pernah dicatat mengajarkan hal yang demikian.23)
3. Tidak ada penjelasan yang memadai mengenai penderitaan fisik yang diluar kontrol manusia seperti bencana alam, terbunuh secara tidak sengaja, dll. Budha tampaknya kurang membedakan berbagai kategori penderitaan. Budha mengenai menyatakan bahwa penderitaan adalah akibat dari mengingini sesuatu secara kuat. Dengan ini sebenarnya Budha sedang berbicara mengenai penderitaan eksistensial akibat dari keinginan yang tidak terpenuhi atau terpenuhi sementara namun tidak terus menerus. Akan tetapi kita bertanya sekarang, bagaimana dengan penderitaan akibat bencana alam, tertabrak oleh pengemudi yang mabuk dan tertembak peluru nyasar. Kita tidak mengingini apapun tetapi penderitaan itu datang dengan sendirinya. Penderitaan dalam hal-hal diatas tidak datang akibat dari keinginan kita. Tetapi mungkin Budha akan menjawab, “terimalah itu semua sebagai realita hidup, dukkha adalah realita hidup manusia dan kondisi manusia”. Tetapi kita dapat bertanya mengenai sumber dari penderitaan yang demikian, mengapa ada bencana alam, mengapa ada dukkha sebagai realita hidup dan kondisi ? Disini Budhisme tampaknya tidak memiliki jawaban yang tuntas. Buku-buku mengenai budhime tidak menjelaskan darimana atau mengapa terjadi hal-hal yang demikian dalam hidup manusia. Budha hanya menyatakan bahwa itu merupakan realita dan kondisi dunia. Berbeda dengan itu, teologi Kristen memberikan jawaban yang memiliki koherensi di dalam banyak dokrtin untuk menjawab hal ini. Berikut ini adalah penjelasan Alkitab untuk penderitaan fisik (The Problem of Physical Pain/Evil).
1) Adam dan Hawa telah jatuh ke dalam dosa (Kej 3), dan semua manusia turut berdosa di dalam Adam (Rom. 5:12).
2) Konsekuensi dari dosa adalah kematian (Kej 2 dan Rom 6:23). Tetapi kejatuhan Adam dan dosa bukan hanya mengakibatkan adanya kematian, melainkan juga terkutuknya bumi (Kej. 3 dan Rom. 8). Dalam kutukan terhadap bumi ini inklusif di dalamnya ada bencana alam, kelaparan, dll. Kutukan terhadap bumi ini tidak akan berlalu sebelum
kedatangan Kristus yang kedua kali (Wahyu 21-22).
3) Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa fenomena bencana alam pun dapat dijelaskan oleh teologi Kristen dalam kaitannya dengan kehendak bebas manusia. Pilihan kehendak bebas Adam yang tidak taat kepada Allah, itulah yang mengakibatkan terkutuknya bumi sehingga terdapat problem penderitaan fisik.
Dengan pemahaman demikian, kita melihat bahwa teologi Kristen memberikan suatu
worldview yang lebih komprehensif dan lengkap dalam menjelaskan penderitaan fisik akibat bencana alam, dll.24)

Jalan Tengah: Delapan Jalan
Dalam pengertian tertentu, kita harus mengakui bahwa Budha sungguh adalah orang yang pandai dan bijak ketika mencetuskan jalan tengah ini. Seringkali memang, jalan di antara dua ekstrem merupakan jalan yang baik. Aristoteles, filsuf Yunani yang hidup setelah Budha juga mengatakan bahwa “jalan tengah” adalah pilihan yang baik. Ia memberikan contoh mengenai kemarahan. Bagi Aristoteles, tidak pernah marah sama sekali, dan sering marah adalah dua ekstrem yang buruk. Yang tepat untuk dilakukan oleh manusia adalah marah dengan alasan yang tepat, pada waktu yang tepat, terhadap orang yang tepat dan dengan cara yang tepat. Bukankah ini merupakan konsep yang baik? Pemikiran seperti ini tentu saja patut untuk kita hargai dan acungi jempol.
Selanjutnya, Budha mengajarkan mengenai “Delapan Jalan” yang sebenarnya dapat dirangkumkan dalam tiga kategori: (1) Kebijakan, termasuk di dalamnya, pengetahuan dan kehendak yang benar; (2) perilaku, termasuk di dalamnya adalah kata-kata, tindakan dan pekerjaan yang benar; (3) meditasi, termasuk di dalamnya usaha, pikiran dan konsentrasi yang benar. Apabila kita mengamati apa yang diajarkan Budha tersebut, sebenarnya kita juga melihat banyak kesejajaran konsep yang diajarkannya dengan pengajaran Alkitab yang tersebar dalam Pl maupun PB, misalnya: buah Roh dalam Galatia 5:22-23 dan Flp 4:8 tentang mengarahkan pikiran kepada segala sesuatu yang benar, mulia, adil, suci. Walaupun demikian, segera nampak bahwa masalah dengan apa yang diajarkan oleh Budha melalui “Delapan Jalan” ini adalah mengenai sumber kekuatan untuk melakukannya. Seperti kita ketahui, Budha mengajarkan bahwa manusia dengan kekuatan dan usahanya sendiri harus melakukan “Delapan Jalan” tersebut agar dapat melepaskan diri dari penderitaan. Disini kita melihat sisi humanis dari agama Budha.25) Akan tetapi dapatkah semua hal tersebut dicapai oleh manusia yang penuh dengan nafsu ini? Jikalau mungkin, sampai pada taraf mana? Sempurna atau sebagian?
Dari perspektif Kristen, jelas bahwa usaha dan kekuatan manusia untuk berbuat baik selalu akan mengalami hambatan. Pada dasarnya semua manusia berada dibawah hukum dosa yang membuat ia selalu cenderung untuk berbuat dosa dalam pilihan bebasnya (Rom. 6:1-14). Hal ini menyebabkan adanya hambatan internal dalam diri manusia yaitu nafsu dan kedagingan manusia itu sendiri yang cenderung berbuat jahat. Inilah yang sulit sekali untuk dikalahkan dan memang merupakan bagian dari pergumulan semua manusia termasuk orang Kristen sepanjang hidup.26) Namun demikian, kita patut bersyukur karena Allah telah mengaruniakan Roh-Nya kepada orang percaya sehingga Roh Allah itu akan memampukan kita untuk hidup menurut Roh dan menghasilkan kehidupan yang berkenan pada Allah (Rom. 8: 9-17; Bdk. Gal. 5:16-26). Berbeda dengan Budha yang mendorong usaha pribadi untuk mencapai kehidupan yang lepas dari penderitaan, Alkitab mendorong usaha kita untuk mengusahakan kekudusan secara terus menerus, tetapi bukan bersandar pada kekuatan sendiri saja, melainkan dengan bantuan dan pertolongan Roh Kudus.27)
Pertolongan dari Roh Kudus inilah yang akan memampukan kita untuk menempuh jalan yang dikehendaki Allah. Apabila Budha mengajarkan konsep “Delapan Jalan” maka sebagai orang Kristen kita memiliki “Tiga Jalan” yaitu “Iman”, “Pengharapan”, dan “Kasih”.28) Permulaan dari jalan Kristiani adalah penerimaan anugerah penyelamatan Allah dalam Yesus Kristus melalui iman (Saving faith). Melalui iman ini kita dibenarkan dihadapan Allah (Justification) dan dilayakkan menjadi anak-Nya (Adoption). Sebagai anak Allah kita layak untuk mendapatkan warisan kehidupan kekal di surga kelak. Ini adalah pengharapan kita yang pasti di masa mendatang (Glorification). Untuk itu selama hidup dalam dunia ini, kita harus terus menerus meresponi kasih Allah yang menyelamatkan kita tersebut dengan cara hidup dalam
kasih. Kasih adalah pemenuhan hukum Taurat, dan hidup dalam kasih akan membawa kita pada perilaku hidup yang diperkenan Allah, hidup dalam kekudusan (Sanctification). Dengan ini sebenarnya juga perlu ditegaskan bahwa perjuangan orang Kristen yang terutama adalah menaklukkan dosa dan segala ekspresinya, dan bukan melenyapkan penderitaan.29)

PENDERITAAN, SEBUAH PERGUMULAN UNIVERSAL
Agama Budha telah berusaha untuk memberikan solusi terhadap fenomena universal yaitu penderitaan. Bagi pengikut Budhisme, melepaskan diri dari keinginan dan menghidupi jalan tengah adalah jalan keluar untuk mencapai Nirwana, pembebasan dari penderitaan. Akan tetapi kita telah melihat bahwa solusi yang ditawarkan tersebut bukanlah tanpa masalah. Secara filosofis, kita melihat ada kontradiksi dalam konsep pembebasan dari keinginan ini. Secara teologis kita melihat bahwa manusia secara pribadi, tanpa pertolongan Roh Kudus adalah manusia berdosa yang terikat dengan hukum dosa yang bekerja dalam dirinya. Inilah yang menyebabkan bahwa usaha manusia pribadi akan gagal dalam mencapai kondisi “tanpa keinginan” yang dicita-citakan pengikut Budhisme.
Dengan tinjauan terhadap konsep Budha atas penderitaan yang terdapat dalam “Empat Kebajikan Kebenaran” ini tidak berarti bahwa tulisan ini telah memberikan jawaban atas problem penderitaan secara tuntas. Masalah penderitaan yang menjadi sub bagian dari Problem of Evil ini sebenarnya merupakan suatu masalah yang sampai saat ini masih menjadi pergumulan penting dari teologi dan apologetika Kristen.30) Berbagai pembelaan/teodise telah coba diberikan, akan tetapi formulasi jawaban yang tuntas belumlah ditemukan. Penulis berharap agar melalui tulisan ini, terdapat suatu kesadaran bagi orang percaya untuk mempelajari masalah ini dan dapat memberikan suatu apologia yang persuasif bagi orang yang tidak percaya. #

--- --- ---
DAFTAR PUSTAKA
Anderson, Sir Norman, ed. The World’s Religions. Grand Rapids: Eerdmans dan Leicester: IVP, 1987.
Braswell, Jr. George W. Understanding World Religions. Nashville: Broadman and Holman, 1994.
C. George Fry, James R. King, Eugene R. Swanger dan herbert C. Wolf. Great Asian Religions. Grand Rapids: Baker, 1984.
Ellis, Albert. Feeling Better, Getting Better, Staying Better. Jakarta: PT Elex Media Kompotindo, 2002.
Frame, John. Apologetika bagi Kemuliaan Allah. Surabaya: Momentum, 2000.
Gaer, Joseph. How The Great Religions Began. Chicago: Signet Book, 1956.
Geisler, Norman L. Baker Encyclopedia of Christian Apologetics. Grand Rapids: 1999.
Geisler, Norman L. Philosophy of Religion. Grand Rapids: Zondervan, 1982.
Gethin, Rupert. The Foundations of Budhism. New York: Oxford University Press, 1998.
Hart, Michael H. Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah Jakarta: Pustaka Jaya, 1997.
Hick, John. “Ketidakmutlakan Agama Kristen” dalam Mitos Keunikan Agama Kristen, Eds. John Hick dan Paul
F. Knitter. Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001.
Johnson, David L. A Reasoned Look At Asian Religions. Mineapolis: Bethany Hous Publisher, 1985.
McDermott, Gerald R. Can Evangelicals Learn from World Religions?. Illinois: IVP, 2000.
Moore, James R. “Some Weaknesses in Fundamental Budhism” dalam Evangelical Missions Quarterly Vol. 7/1.
South Pasadena: William Carey Library, 1970.
Mulyono, Djoko dan Santoso, Petrus. Studi Banding Agama Buddha dan Kristen. Indonesia: Free Prees, 2005.
Nash, Ronald H. Iman dan Akal Budi. Surabaya: Momentum, 2001.
Plantinga, Alvin C. God, Freedom, and Evil. Michigan: Eerdmans, 1974.
Rahula, Walpola. What The Budha Taught. New York: Grove Press, 1974.
Reymond, Robert L. A New Systematic Theology of the Christian Faith. Nashville: Thomas Nelson, 1998.
Smith, Huston. Agama-Agama Manusia. Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1999.
VaroMartinson, Paul. A Theology Of World Religions. Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1987.
Vroom, Hendrick. No Other Gods. Grand Rapids: Eerdmans, 1996.
Zuck, Roy B. ed., Vital Apologetic Issues. Michigan: Kregel, 1995.
--- --- ---
FOOTNOTE :
1) Masalah penderitaan (The Problem of Pain) adalah topik yang menarik dalam apologetika Kristen dan biasanya dimasukkan sebagai sub kategori masalah kejahatan (The Problem of Evil) yang lebih luas sifatnya (bdk.Norman L. Geisler, Philosophy of Religion [Michigan:Zondervan, 1982] 327-330).
2) Lih. Michael H. Hart, Seratus Tokoh Yang Paling Berpengaruh Dalam Sejarah (Jakarta: Pustaka Jaya, 1997) 48. Bdk. Joseph Gaer menggambarkan penderitaan yang disaksikan oleh Gautama dalam bentuk dialog, How The Great Religions Began (Chicago: Signet Book, 1956) 29-30.
3) Ed. Sir Norman Anderson, The World’s Religions (Grand Rapids: Eerdmans dan Leicester: IVP, 1987) 171.
4) Juga disebut pohon Bo, atau pohon Bodhi. Ibid, 171.
5) Lih. Hart, Seratus Tokoh 49.
6) Pembahasan yang panjang lebar mengenai topik ini terutama dalam dua buku yaitu : Rupert Gethin, The Foundations of Budhism (New York: Oxford University Press, 1998) 59-79, dan Walpola Rahula, What The Budha Taught (New York: Grove Press, 1974) 16-45. Buku-buku lain yang bersifat introduksi dan tidak membahas secara mendetail tetapi meringkaskannya dengan baik adalah: George W. Braswell, Jr, Understanding World Religions (Nashville: Broadman and Holman, 1994) 52-55; Huston Smith, Agama-Agama Manusia (Jakarta: Yayasan obor Indonesia, 1999) 129-135; Anderson, The World’s 172; David L. Johnson, A Reasoned Look At Asian Religions (Mineapolis: Bethany Hous Publishre, 1985) 119-122; Norman L. Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Grand Rapids: 1999) 788.
7) Mengikuti pembagian Gethin, The Foundations 59. Bdk. Pembagian yang mirip diberikan oleh Paul VaroMartinson, A Theology Of World Religions (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1987) 25.
8) Bagi Budha, hidup tanpa penderitan adalah istilah/kalimat yang berkontradiksi. Menurut Empat Kebajikan Kebenaran, sebenarnya mayoritas manusia mengalami penderitaan dalam sebagian besar waktu hidupnya di dunia (Eds. C. George Fry, James R. King, Eugene R. Swanger dan herbert C. Wolf, Great Asian Religions [Grand Rapids: Baker, 1984] 68-69).
10) Lih. Gethin, The Foundations 60-62. 10 Bdk. Rahula memberikan penjelasan yang lebih komprehensif mengenai dukkha sebagai kondisi (What The 19-20). Penulis Buddha lainnya membagi dukkha menjadi delapan jenis yaitu: kelahiran, proses penuaan, sakit, kematian, terpisah dari sesuatu yang anda cintai, berdekatan dengan
sesuatu yang anda benci, tidak memperoleh yang anda inginkan, siksaan pikiran yang disebabkan rasa sakit pada kelima organ indera (Djoko Mulyono dan Petrus Santoso, Studi Banding Agama Buddha dan Kristen [Indonesia: Free Prees, 2005] 65).
11) Ibid 29. Bdk. Gethin, The Foundations 70. Rahula dan Gethin menterjemahkannya “thirst” untuk menekankan suatu keinginan yang kuat seperti ketika kita kehausan. Lagipula ini merupakan terjemahan yang literal dari tanha. Kata kehausan ini mengkonotasikan keinginan yang kuat (strong desire). Walaupun demikian, demi kemudahan pengertian pembaca, penulis akan tetap memakai kata “keinginan” akan tetapi hal ini harus dimengerti sebagai suatu keinginan yang kuat.
12) Ibid, 70.
13) Gethin, The Foundations 74.
14) Rahula, What The 38. Nirwana ini biasanya dijelaskan dalam istilah-istilah negatif lain seperti Viraga:
ketiadaan keinginan, Nirodha: penghentian, dll. Dalam bagian selanjutnya, Rahula juga menjelaskan bahwa Nirwana ini bukanlah suatu tempat, situasi, kondisi atau wujud tertentu. Jadi istilah Budha masuk ke Nirwana setelah ia mati adalah sesuatu yang salah dan tidak ada di dalam teks kitab suci mereka (41).
15) Djoko Mulyono dan Petrus Santoso, Studi Banding 68.
16) Tabel diatas merupakan diadaptasi terutama dari Gethin, The Foundations 81 dan Rahula What The 48. Bdk. Penjelasan Smith, Agama-Agama 138-145. Penjelasan Smith tidak sistematis poin per poin akan tetapi disampaikan secara komunikatif.
17) Johnson, A Reasoned 130.
18) Bdk. Pendekatan psikologi modern juga menolak untuk mengakui penderitaan sebagai suatu fakta yang real yang di dalamnya manusia tidak dapat melakukan apa-apa untuk menolaknya. Albert Ellis, menekankan bahwa hal-hal yang terjadi hanya dapat menjadi penderitaan apabila kita secara aktif menghayatinya dan menerimanya demikian dalam hati, pikiran kita. Jadi, Ellis menekankan bahwa segala sesuatu yang buruk diluar diri kita hanya dapat menjadi penderitaan apabila kita memutuskan untuk menderita (Lih. Albert Ellis, Feeling Better, Getting Better, Staying Better [Jakarta: PT Elex Media Kompotindo, 2002] xi-xiii )
19) Selain kelahiran, proses menjadi tua dan kematian, Budha juga menganggap bahwa seseorang yang ingin melepaskan diri dari penderitaan harus pula memutuskan hubungan dengan dunia ini beserta segala rutinitasnya, termasuk di dalmnya adalah kehidupan keluarga dan hubungan seks. Pandangan ini tentu saja harus kita tolak sebagai orang Kristen. Yesus tidak pernah berbicara buruk mengenai hubungan seksual ataupun kehidupan keluarga, asalkan keduanya dijalani di dalam komitmen kasih, maka hal-hal itu adalah baik (Lih. Gerald R. McDermott, Can Evangelicals Learn from World Religions? [Illinois: IVP, 2000] 135-136). McDermott juga mencatat hal-hal positif yang dapat kita pelajari dari Budhisme (hal 154-156).
20) Memang ada usaha untuk menjawab hal ini dari para pengikut Budha. Misalnya, meeka mengatakan bahwa adalah mungkin untuk “ingin” sesuatu tanpa harus egois (selfish). Contohnya adalah kalau kita ingin diselamatkan agar dapat membantu orang lain (bukan hanya dirinya). Akan tetapi dengan menyatakan ini, sebenanrya mereka telah mengubah pengajaran Budha mula-mula kepada sesuatu yang baru dan berbeda
(Johnson, A Reasoned 131).
21) Lih. James R. Moore, “Some Weaknesses in Fundamental Budhism” dalam Evangelical Missions Quarterly Vol. 7/1 (South Pasadena: William Carey Library, 1970) 28. Moore berkata, “The contradicition appears full force if we say, ‘suppose we desire to eliminate desire’ ”
22) Johnson, A Reasoned 132.
23) Lih. John Hick, “Ketidakmutlakan Agama Kristen” dalam Mitos Keunikan Agama Kristen, Eds. John Hick dan Paul F. Knitter (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2001) 52.
24) Norman Geisler, Baker Encyclopedia of Christian Apologetics (Michigan: Baker 1999) 222-223.
25) Jadi walaupun Budhisme disebut sebagai agama, namun ini adalah agama yang tidak dimulai dengan Allah dan menuju fase dimana pertolongan Allah juga tidak diperlukan. Oleh karena itu, Moore menyebut Budha sebagai agama dengan prinsip humanis. ( “Some Weaknesses in Fundamental Budhism” dalam Evangelical Missions Quarterly 31).
26) Penulis percaya progressive sanctification tetapi bukan perfectionism.
27) Proses pengudusan secara progresif ini disebut Divine-human activities oleg Robert L. Reymond, A New Systematic Of The Christian Theology (Nashville: Thomas Nelson, 1998) 767.
28) Hendrick Vroom, No Other Gods (Grand Rapids: Eerdmans, 1996) 41.
29) Vroom, No Other 40.
30) John Frame berkata bahwa problem ini mungkin merupakan keberatan terhadap Teisme Kristen yang paling serius dan paling kuat (John Frame, Apologetika bagi Kemuliaan Allah [Surabaya: Momentum, 2000] 192). Zuck menempatkannya dalam urutan pertama dalam bagian problem-problem dalam kekristenan (Roy B. Zuck ed., Vital Apologetic Issues [Michigan:Kregel, 1995]10-18). Bdk. Nash, Iman dan Akal 271.
--- --- ---

Bukti-bukti Tentang Kebenaran Ajaran Kristen (Oleh: Paulus Teguh Kurniawan)

Bukti-bukti Tentang Kebenaran Ajaran Kristen (Oleh: Paulus Teguh Kurniawan)

Kita semua seringkali menganggap bahwa agama itu relatif. Bahwa agama itu bukan masalah benar atau tidak, melainkan cocok atau tidak. Memang ini pendapat yang wajar, sebab agama adalah kepercayaan, tidak bisa kita buktikan. Namun, setidaknya di antara semua agama, kristiani mempunyai banyak alasan yang dapat menjadi bukti bahwa di antara semua agama, kristen lah yang benar. Dalam artikel ini, penulis akan mencoba menjelaskannya, dengan menggunakan alkitab sebagai landasan. Semoga artikel ini bisa berguna bagi kerajaan Allah.

1. Doktrin Allah Tritunggal
Berbeda dengan agama-agama lainnya, kekristenan mempunyai konsep yang paling berbeda mengenai kepribadian Allah. Kekristenan mengajarkan bahwa Allah terdiri dari 3 pribadi, 1 hakikat. Doktrin ini seringkali membuat orang merasa aneh dengan ajaran kristen, dan ujung-ujungnya menganggap bahwa agama kristen salah. Namun sesungguhnya, justru doktrin ini bisa menjadi bukti tentang kebenaran ajaran kristen. Sebelum adanya agama kristen, semua orang berpikir bahwa, Allah itu 1 pribadi, 1 hakikat. Dan pemikiran tersebut yang menjadi salah satu dasar bagi sebagian besar agama lain. Sementara itu, kita semua tahu bahwa semua agama di bumi ini, diajarkan oleh manusia, yang dianggap mengetahui kebenaran Allah. Contohnya, islam diajarkan oleh muhammad, budha diajarkan oleh sidharta. Kristen? Diajarkan oleh Yesus, namun kita sebagai orang kristen, tentunya mengimani bahwa ajaran Yesus ini berasal dari Allah sendiri, sedangkan agama lain hanya berasal dari hasil pemikiran manusia sendiri. Bukti bahwa ajaran kristen ini berasal dari Allah bisa dilihat dalam doktrin Allah tritunggal ini. Seandainya ajaran kristen itu berasal dari hasil pemikiran manusia, tidak mungkin ajaran kristen mempunyai konsep bahwa Allah itu terdiri dari 3 pribadi, 1 hakikat. Seandainya ajaran kristen itu berasal dari hasil pemikiran manusia, tentunya kristen pasti mengajarkan bahwa Allah itu terdiri dari 1 pribadi, 1 hakikat. Namun ternyata, kekristenan mempunyai konsep yang sangat berbeda seperti ini, bahkan terkesan tidak masuk akal, ini membuktikan bahwa kekristenan memang berasal dari Allah sendiri. Seandainya Yesus bermaksud menciptakan agama berdasarkan hasil pemikirannya sendiri, tentunya Yesus akan menciptakan konsep yang lebih masuk akal mengenai Allah, yaitu bahwa Allah itu 1 pribadi, 1 hakikat. Selain itu, doktrin Allah tritunggal ini, tidak akan bisa dipahami sepenuhnya, ini di luar jangkauan pemikiran kita. Bukankah ini sesuai dengan fakta bahwa Allah itu tidak akan bisa kita pahami? Karena itu, justru konsep bahwa Allah itu 1 pribadi 1 hakikat, tidak sesuai dengan Allah yang sesungguhnya, sebab Allah yang sesungguhnya itu tidak mungkin bisa dipahami, baik kekuasaan-Nya maupun kepribadian-Nya.

2. Konsep Kasih Karunia Allah
Saya terlebih dahulu akan menjelaskan tentang apakah kasih karunia itu. Kasih karunia adalah kebalikan dari kasih bersyarat. Jika dalam konsep kasih bersyarat kita diajarkan untuk melakukan syarat-syarat tertentu supaya mendapat kasih, dalam kasih karunia sebaliknya: kita bisa mendapat kasih tanpa melakukan apa-apa. Kasih karunia inilah inti dari ajaran kristen. Ajaran kristen mengajarkan bahwa kita semua adalah manusia berdosa, dan kita sebenarnya hanya menjadi noda bagi Allah. Namun Allah tetap sangat mengasihi kita, walaupun kita tidak punya apapun yang membuat kita layak dikasihi. Allah bahkan rela menebus dosa-dosa manusia, semuanya demi manusia-manusia berdosa. Bukankah ini sangat indah? Ya, namun lagi-lagi, konsep ini sering membuat orang beragama lain bingung. Orang-orang beragama lain seringkali mengatakan, itu terlalu indah untuk menjadi kenyataan. Benarkah demikian? Tidak. Justru, hal ini terlalu indah, jadi PASTI benar. Kok bisa? Ya, serupa dengan poin pertama. Konsep kasih karunia Allah ini terkesan tidak masuk akal, jadi pasti bukan hasil pemikiran manusia. Sejak awal mula konsep tentang Allah muncul di peradaban manusia, semua konsep mengatakan, bahwa Allah itu bagaikan “manusia super”, yang tidak mungkin bisa sebegitu mengasihi ciptaan-Nya. Lalu kemudian, setelah sejarah bangsa Israel di perjanjian lama, muncul konsep yang lebih baik dan masih masuk akal, yaitu bahwa Allah mau mengasihi manusia, asalkan manusia mau berbuat baik dan mengasihi Allah. Kekristenan mengajarkan lebih jauh lagi, sampai di luar logika manusia. Apa mungkin Allah, Sang Mahakuasa dan Pencipta segala sesuatu, sampai rela menderita, menanggung penghinaan, siksaan, kematian, hanya demi manusia berdosa, yang konon hanyalah merupakan debu tanah? Tidak masuk akal. Namun sekali lagi, inilah bukti kebenaran ajaran kristen. Jika memang ajaran kristen itu berasal dari manusia, tidak mungkin Yesus menciptakan konsep yang tidak masuk akal seperti ini. Kecuali jika memang seperti itulah kebenarannya, yaitu bahwa Allah mempunyai kasih karunia. Seorang yang skeptik mungkin akan menyindir ,”berarti kita cukup percaya pada penebusan Yesus saja, lalu kita tinggal berbuat sesukanya, toh kita tetap selamat.”. Sebenarnya ini bisa dijawab dengan mudah, yaitu bahwa: Orang yang sungguh-sungguh percaya kepada penebusan Yesus, tidak mungkin berpikir seperti itu. Jika ada orang yang berpikir seperti itu namun mengklaim dirinya percaya pada penebusan Yesus, maka orang tersebut bukannya percaya, melainkan sedang berkhayal. Inilah yang sering disalahpahami orang. Agustinus pernah mengatakan, “kasihilah Allah, lalu berbuatlah sesukamu”. Berarti kita boleh membunuh, mencuri, dsb, asalkan mengasihi Allah? Tidak. Yang benar adalah, jika kita benar-benar mengasihi Allah, maka kita akan berusaha berbuat hal-hal yang memuliakan Allah.

3. Kesaksian para rasul
Kita bisa melihat bahwa dalam sejarah, ke-11 rasul yang menyaksikan tanda-tanda, kematian, dan kebangkitan Yesus, semuanya rela menderita sampai mati (kecuali Yohanes) demi mempertahankan keyakinan mereka. Seandainya ajaran kristen ini hanyalah karangan para murid, atau karangan Yesus, apa mungkin mereka bersedia bertindak sampai sejauh itu? Sejarah di alkitab memperlihatkan bahwa ke-11 murid justru bukanlah tipe orang yang pemberani, atau gampang dibohongi. Ke-11 murid semuanya lari meninggalkan Yesus di taman getsemani, sedangkan Simon Petrus menyangkal Yesus 3 kali. Tomas begitu skeptik, sampai tetap tidak mau mempercayai kebangkitan Yesus, meskipun teman-temannya sudah bersaksi tentang itu, kecuali jika dia sudah meraba sendiri bekas luka Yesus. Akhirnya? Mereka semua tidak pernah sekali pun merasa ragu-ragu atas apa yang mereka percayai. Mereka semua-kecuali Yohanes-mati sebagai martir. Jangan lupa dengan kesaksian Paulus. Paulus yang merupakan pembunuh orang kristen, begitu drastis mengalami perubahan, sampai-sampai rela mati demi mempertahankan imannya. Satu-satunya penjelasan yang masuk akal mengenai hal ini adalah apa yang mereka percayai memang merupakan kebenaran.

4. Sudut pandang kekristenan terhadap dosa.
Saya awali poin ini dengan kata-kata dari Philip Yancey, “kekristenan mempunyai sudut pandang paling realistis terhadap dosa.”
Berbeda dengan semua agama lain, di mana kita diajarkan untuk sebisa mungkin berbuat baik dan berbakti pada Allah supaya kita selamat. Ajaran seperti itu cenderung membuat kita jadi berbuat baik dengan pamrih, yaitu supaya kita selamat. Kekristenan bekerja dari arah sebaliknya: Kita harus mempercayai bahwa kita sudah pasti selamat, maka karena itulah kita berbuat baik, untuk membalas perbuatan Allah. Ajaran ini tidak akan membuat kita merasa pamrih dalam berbuat baik. Selain itu, kekristenan juga mempunyai sudut pandang yang lain terhadap dosa. Di agama lain kita diajarkan untuk berbuat baik sebisa mungkin, kekristenan justru mengajarkan bahwa kita sudah jatuh dalam dosa, sehingga kita sudah rusak total. Kita akan serba salah. Kita tidak akan mampu untuk membuat keadaan kita lebih baik, karena kita sudah jatuh dalam dosa. Karena itulah, kita membutuhkan penebusan Kristus supaya kita bisa menjadi lebih baik. Pertama, kita harus dengan rendah hati mengakui bahwa kita sudah jatuh dalam dosa dan tidak berdaya sama sekali, lalu dengan rendah hati memohon pertolongan Allah, yang sudah menebus dosa kita melalui Yesus Kristus. Jika kita dengan kekuatan kita sendiri berusaha berbuat baik, itu akan sia-sia saja. Fakta sejarah sudah membuktikan bahwa manusia jadi selalu serba salah. Kita membuat internet, namun ternyata riset menunjukkan bahwa situs yang paling banyak dikunjungi adalah situs porno. Kita mengadakan penelitian fisika, namun ternyata justru bom atom untuk membunuh manusia yang kita ciptakan. Usaha untuk membuat diri kita lebih baik tanpa pertolongan Tuhan juga sudah terbukti sia-sia. Dalam usaha untuk menciptakan masyarakat yang adil dan makmur, uni soviet dengan paham komunisnya menghancurkan 98% gereja, membunuh 42.000 imam. uni soviet mengadakan pencucian otak besar-besaran, membuat kelaparan untuk menewaskan jutaan orang. Namun hasilnya? 70% pernikahan di sana berakhir dengan perceraian, dan rata-rata wanita menjalani 4 aborsi. Saat terjadi bencana alam, pemerintah sulit memotivasi warga untuk ikut berbuat baik pada sesama. Kecanduan alkohol merajalela. Dan di saat seperti inilah, kekristenan justru berhasil. Setelah masa lalu yang kelam, para warga semakin menyadari pentingnya agama, khususnya kristiani. Hasil riset baru-baru ini menunjukkan bahwa 61% warga rusia menyatakan dirinya adalah orang kristiani. Kekristenan justru bisa bertumbuh di tengah-tengah kesulitan.
Sudut pandang kristen terhadap dosa juga sudah terbukti berhasil dalam mengatasi kegagalan manusia. Bagi para pecandu alkohol dan pecandu lainnya di amrik, pendekatan 12 langkah sangat sukses dalam menghilangkan kecanduan itu. Pendekatan ini cukup kuno, namun para psikiater, ahli farmakologi, dll, tidak sanggup meningkatkan program rohani ini, yang dirancang oleh beberapa umat kristiani pecandu alkohol 60 tahun yang lalu, dengan menggunakan dasar kekristenan. Sang pecandu harus terlebih dahulu mengakui ketidakberdayaannya, lalu menyerahkan diri pada Kuasa Yang Lebih Tinggi yang tidak kelihatan. Berikutnya, membiarkan Allah berkarya dalam kehidupan mereka. Bill Wilson, salah 1 pendirinya, mengatakan “Betapa beruntungnya kita, memahami demikian baik, paradoks ilahi bahwa kekuatan itu timbul dari kelemahan, bahwa keterhinaan itu mendahului kebangkitan kembali, bahwa kepedihan itu bukan saja harganya melainkan juga batu landasan kelahiran kembali secara rohani. Kembali pada poin kedua, Inti dari agama kristiani adalah konsep yang sangat tidak alami, yang disebut kasih karunia, yang berarti bahwa kita tidak mungkin berbuat apapun untuk mengkompensasikan dosa-dosa kita. Allah sendirilah yang sudah membayar penaltinya, dan kita tinggal menerimanya saja, dengan mempercayakan kesembuhan kepada-Nya. Kasih karunia adalah karunia cuma-cuma dari Allah, dan pertobatan adalah jalan untuk mengaksesnya.

Penutup
Demikianlah semua bukti yang saya ketahui. Bukti-bukti ini, tidak bisa menjadi bukti konkret tentang kebenaran kristen. Namun saya rasa bukti-bukti ini lebih dari cukup untuk menjadi alasan pada kebenaran kristen, sekaligus untuk tidak lagu berpatokan pada pikiran bahwa agama itu relatif. Sebab, kebenaran Allah itu absolut. Dan perlu saya jelaskan bahwa saya membuat artikel ini adalah untuk membantu teman-teman seiman dalam menggeluti iman mereka, sehingga saya harapkan artikel ini tidak dianggap sebagai “ajakan perang” untuk umat yang beragama lain. Soli Deo Gloria

Benarkah Yesus Tidak Mati Disalib?: Sebuah Pertanggung jawaban Iman Terhadap Pandangan Islam (Oleh: Bedjo Lie, M.Div.)

Benarkah Yesus Tidak Mati Disalib?: Sebuah Pertanggung jawaban Iman Terhadap Pandangan Islam (Oleh: Bedjo Lie, M.Div.)

Belum lama ini, penulis tertarik dengan sebuah buku kecil laris yang dikarang oleh Hj. Irene Handono. Buku ini secara terang-terangan menolak fakta kematian Yesus Kristus atau Isa Almasih di kayu salib. 1) Senada dengan itu, sebuah buku sensasional berjudul Jangan Ditunggu!!! Isa Bin Maryam Tidak Akan Turun Di Akhir Zaman (Ready or Not Jesus is Not Coming) yang ditulis oleh Huttaqi juga menegaskan keyakinan yang sama dalam salah satu bagiannya: Yesus atau Nabi Isa tidak dibunuh dan tidak disalib. 2)

Andaikata fakta kematian Yesus Kristus di kayu salib memang dongeng belaka, apakah yang akan terjadi pada kekristenan? Dengan mudah kita berimajinasi bahwa seluruh bangunan kekristenan akan runtuh pada saat yang bersamaan. Ah, itu kan hanya imajinasi! Mungkin Anda berpikir demikian. Akan tetapi, penegasan bahwa Nabi Isa tidak mati disalib benar-benar sebuah gema yang kuat dalam tulisan-tulisan Islam. Tentu saja hal ini adalah klaim serius yang perlu ditanggapi oleh orang Kristen.

Sebelum kita memasuki topik tersebut lebih dalam lagi. Mari kita mulai dengan tanggapan pembuka terlebih dahulu. Pertama, dalam konteks tren pluralisme teologis yang berusaha menyamaratakan semua agama, penulis ingin memberikan applause atas kegigihan pribadi-pribadi seperti Irene Handono dan teman-temannya yang mengumandangkan eksklusivitas teologi agamanya secara terbuka. Kedua, buku-buku yang bersikap skeptis dan mempertanyakan keyakinan Kristen seperti di atas seringkali mendatangkan manfaat positif bagi umat Kristen, yaitu bangkitnya kesadaran berapologetika. Oleh karena itu, pertama-tama, lebih baik kita mengucapkan matur nuwun kepada penulis buku-buku di atas.3)

Selanjutnya, matur nuwun saja rasanya tidak cukup. Oleh karena itu, dalam tulisan ini penulis ingin mewujudkan penghargaan tersebut dengan cara menegaskan perbedaannya dengan pandangan Kristen sambil tetap membangun rasa hormat terhadap pribadi-pribadi yang berbeda pandangan. Oleh karena itu, tulisan ini akan memaparkan pandangan Islam terhadap fakta kematian Yesus Kristus di kayu salib dan kemudian dilanjutkan dengan perspektif Kristen terhadap isu krusial ini. Terakhir, penulis ingin mengembangkan pengakuan atas
perbedaan doktrin sebagai dasar toleransi sejati dalam relasi antar umat beragama.

Penolakan Islam atas Fakta Kematian Yesus di Kayu Salib
Pandangan Muslim yang populer ini didasarkan pada penafsiran ayat Al Qur’an Surat Ani-Nisa’ 4:157-158 yang berbunyi:

Sesungguhnya Kami telah membunuh Al-Masih, Isa putra maryam, Utusan Allah, padahal mereka tidak membunuhnya, dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka salib dan bunuh) adalah orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka. Sesungguhnya orang-orang yang berselisih faham tentang (pembunuhan dan penyaliban) Isa, benar-benar dalam keragu-raguan tentang siap yang dibunuh itu, kecuali hanya mengikuti persangkaan belaka, mereka tidak pula yakin bahwa yang mereka bunuh adalah Isa. Tetapi sebenarnya Allah telah mengangkat Isa itu kepada-Nya dan Allah itu adalah Maha Besar dan Maha Bijaksana.

Berdasarkan ayat di atas, hampir semua Muslim percaya bahwa Isa tidak mengalami kematian akibat disalib melainkan diangkat Allah secara supranatural kepada-Nya.4) Walaupun demikian, karena ayat-ayat tersebut tidak menceritakan secara jelas mengenai cara Allah mengangkat Isa, maka dalam kalangan Muslim sendiri sedikitnya timbul dua pandangan utama.

Yesus Tidak Disalib Sama Sekali
Pandangan pertama ini menyatakan Isa tidak mengalami penyaliban sama sekali karena Allah telah menyelamatkan-Nya dengan cara membuat orang lain serupa dengannya. Para penganut pandangan ini terdiri dari berbagai golongan. Penafsiran yang paling umum adalah kepercayaan bahwa Yudas Iskariotlah orang yang diserupakan dengan Isa dan mengalami penyaliban. Para pendukung pandangan ini percaya bahwa keadilan Allah membuat Yudas Iskariot sebagai pengkhianat utusan Allah mendapat hukuman langsung dari Allah, yakni disiksa dan dibunuh di tiang salib.5) Proses penyerupaan ini dilakukan Allah pada waktu Isa akan ditangkap oleh orang-orang Yahudi di taman Getsemani. Pada waktu itu Isa telah menyelinap tersembunyi dan Yudas telah dijadikan serupa dengan Isa sehingga Yudaslah yang ditangkap dan disalibkan.6)

Penafsiran berikutnya menyatakan bahwa Simon dari Kirene adalah pengganti Isa di kayu salib. Pendukung pandangan ini percaya bahwa Isa dilepaskan dari usaha penyaliban pada waktu di tengah jalan dari istana Pilatus menuju ke bukit Golgota. Di tengah jalan ini pada mulanya Isa memikul salib-Nya sendiri tetapi kemudian ia ditukar dengan orang lain bernama Simon dari Kirene. Simon inilah yang akhirnya mati tersalib sedangkan Isa diangkat Tuhan ke langit.7) Selain kedua pandangan tersebut masih banyak lagi penafsiran lain mengenai figur pengganti Yesus.8)

Yesus Disalibkan Tetapi Tidak Mati
Berbeda dengan pandangan ortodoks di atas, para penafsir modern mengembangkan pandangan kedua sebagai alternatif atas pandangan pertama. Mereka berpendapat bahwa Isa memang disalibkan di bukit Golgota tetapi tidak sampai mati. Berdasarkan Surat Ani-Nisa’ 4:157 mereka percaya bahwa Isa hanya diserupakan saja kepada orang-orang Yahudi seakan-akan Ia sudah mati, padahal hanya pingsan saja. Jadi tidak ada orang lain yang diserupakan dengan Isa. Selanjutnya, dianyatakan bahwa Isa dikuburkan di pemakaman Yusuf Arimatea oleh Yusuf sendiri dengan ditemani oleh Nikodemus. Setelah Isa sadar dari pingsannya, ia dibantu Yusuf keluar dari kubur dengan tidak diketahui pengawal makam itu. Hal ini dapat terjadi karena para tentara Romawi baru mulai menjaga kubur Yesus sehari setelah Ia dikuburkan (Mat. 27:62-66). Oleh karena itu mereka telah tertipu dalam pengawalan ini. Setelah Yesus ke luar dari gua kubur tersebut, maka Isa menemui murid-murid-Nya selama 40 hari itu secara sembunyi-sembunyi.9) Perpisahan dengan murid-murid-Nya terjadi di dekat bukit Zaitun. Hasbullah Bakry mengutip pandangan ulama-ulama Ahmadiyah yang menyatakan bahwa Isa berdiam di Kasymir hingga meninggal di sana pada umur yang tua sebagai seorang yang terkenal saleh.10)

Dua Nada Satu Suara
Perbedaan dari kedua pandangan di atas amat jelas. Pandangan pertama percaya bahwa Yesus telah diselamatkan Tuhan sebelum mengalami penyaliban, sedangkan pandangan kedua percaya bahwa Yesus diselamatkan Tuhan dari penyaliban yang ia alami. Pandangan pertama percaya akan adanya figur pengganti Yesus yang mengalami penyaliban; sedangkan pandangan kedua tidak mempercayai adanya figur pengganti melainkan mengusung teori bahwa Yesus hanya pingsan dan tidak mati. Secara jujur kita harus memandang bahwa dua versi penafsiran ini amat berbeda dan saling bertentangan. Walaupun demikian, terdapat kesamaan yang hakiki dalam kesepakatannya untuk menolak fakta kematian Yesus di kayu salib.

Bagaimanakah respon kita sebagai orang Kristen terhadap kedua pandangan tersebut? Bagaimanakah seharusnya kita memberikan pertanggungan jawab atas iman kita dalam fakta sejarah yang paling krusial ini?

Penegasan Kristen atas Fakta Kematian Yesus di Kayu Salib
Orang Kristen perlu mengembangkan toleransi positif terhadap keyakinan Muslim yang bertentangan dengan keyakinannya. Tetapi jelaslah bahwa toleransi tidak berarti menyetujui pandangan orang lain. Kata-kata Frans Magnis Suseno memberikan pencerahan buat kita:

”Toleransi berarti bahwa, meskipun saya tidak meyakini iman-kepercayaan Anda, meskipun iman Anda bukan kebenaran bagi saya, saya sepenuhnya menerima keberadaanAnda. Saya gembira bahwa Anda ada, saya bersedia belajar dari Anda, saya bersedia bekerja sama dengan Anda.”11)

Dalam kaitan dengan fakta kematian Yesus Kristus di kayu salib, hukum logika non kontradiksi jelas tidak memungkinkan kebenaran posisi Kristen dan Muslim secara bersamaan. Alister E. McGrath menyatakannya dengan tegas, “if one is correct on this historical issue, the other is incorrect.”12) Sebagai implikasi lebih lanjut, kebenaran dari Al Qur’an maupun Alkitab dipertaruhkan dalam masalah penyaliban ini. Oleh karena itu, sebagai orang percaya, kita perlu dengan jelas memahami epistemologi yang kita gunakan dalam meyakini kematian Yesus di kayu salib. Dalam bagian ini penulis akan memberikan tiga argumentasi yang dapat menjadi pedoman orang percaya untuk meyakini kematian Yesus di kayu salib.

Argumentasi dari Alkitab
Pertama-tama harus diakui bahwa keyakinan orang percaya akan kematian Yesus didasarkan atas epistemologi wahyu yaitu Alkitab. Pemahaman orang percaya terhadap fakta kematian Yesus di kayu salib tidaklah didasarkan atas penafsiran yang rumit melainkan penalaran yang langsung atas narasi Injil dan banyak bagian lain dalam Alkitab. Ayat-ayat Alkitab berbicara lugas tentang kematian Yesus disalib.

“Yesus berseru pula dengan suara nyaring lalu menyerahkan nyawa-Nya” (Mat. 27:50); “Lalu Yesus berseru dengan suara nyaring: ‘Ya Bapa, ke dalam tanganMu Ku-serahkan nyawa-Ku.’ Dan sesudah berkata demikian, Ia menyerahkan nyawa-Nya” (Luk. 23:46); “Sesudah Yesus meminum anggur asam itu, berkatalah Ia: ‘Sudah selesai.’ Lalu Ia menundukkan kepala-Nya dan menyerahkan nyawa-Nya” (Yoh. 19:30).

Selanjutnya, koherensi dari kisah kematian Yesus ini juga tercermin dalam banyak fakta. Fakta-fakta ini tidak membuktikan kebenaran Alkitab melainkan menunjukkan bahwa Alkitab berisi kebenaran-kebenaran yang konsisten satu sama lain. Fakta pertama berkaitan dengan nubuatan Yesus mengenai diri-Nya sendiri. PB secara berulang kali menunjukkan bahwa kematian Yesus telah dinubuatkan oleh Yesus sendiri dalam berbagai kesempatan (Mat. 12:40; 17:22-23; 20:18; Mrk. 10:45; Yoh. 2:19-20; 10:10-11).13) Kematian Yesus dalam perspektif Alkitab bukanlah suatu kebetulan atau peristiwa naas yang mengejutkan melainkan inti dari misi Yesus datang ke dalam dunia. Selanjutnya, perlu ditegaskan bahwa nubuatan mengenai kematian Yesus pada dasarnya telah terkandung dalam ayat-ayat Perjanjian Lama yang berbicara mengenai kebangkitan Mesias dari antara orang mati (Mzm. 16:10; Yes. 26:19; Dan. 12:2).

Fakta kedua yang perlu diperhatikan adalah banyaknya saksi mata pada waktu penyaliban Yesus. Saksi mata pertama adalah para murid Yesus sendiri. Rasul Yohanes (Yoh. 19:26) dan beberapa pengikut Yesus seperti Maria, dan wanita-wanita lain berada di dekat penyaliban Yesus (Luk. 23:27; Yoh. 19:25). Berikutnya, kematian Yesus di kayu salib juga disaksikan oleh para tentara Romawi, dua orang penjahat yang disalibkan disamping Yesus (Mat.27:38), orang banyak (Mat. 27:39; Luk. 23:27) serta para pemimpin Yahudi (Mat. 27:41).

Dengan memperhatikan para saksi mata penyaliban Yesus tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa mayoritas dari mereka merupakan orang-orang Yahudi yang menghendaki kematian-Nya.14 Mereka begitu bernafsu untuk membunuh Yesus sehingga sebelum penyaliban itu sendiri berlangsung, orang-orang Yahudi telah berseru berkalikali di hadapan Pilatus agar Yesus disalibkan (Mat. 27:22-23). Orang-orang Yahudi itu bahkan berani berkata “Biarlah darah-Nya ditanggungkan atas kami dan atas anak-anak kami!” (Mat. 27: 25). Kebencian orang-orang Yahudi ini begitu kuat sehingga mereka benar-benar menginginkan kematian Yesus pada waktu disalib. Selain itu, kita harus mengingat bahwa tentara Romawi adalah orang-orang yang terlatih dalam menjalankan eksekusi sehingga mereka tidak akan salah mengidentifikasi korbannya.

Berdasarkan faktor-faktor di atas, adalah jelas bahwa Alkitab menerima fakta kematian ini sebagai peristiwa historis yang pasti. Oleh karena itu, khotbah Petrus juga disertai dengan pemberitaan yang tegas mengenai kematian Yesus yang disalibkan dan dibunuh oleh orang-orang Yahudi yang durhaka (Kis. 2:23-24). Berdasarkan hal ini kita melihat bahwa bagian-bagian dalam Alkitab saling menegaskan satu sama lain bahwa Yesus telah mati di kayu salib.

Selanjutnya, pandangan Kristen mengenai fakta kematian Yesus di kayu salib juga mendapatkan dukungan dari argumentasi eksternal. Argumentasi ini tentu saja tidak dapat dipandang sebagai suatu bukti yang obyektif dalam sudut pandang Muslim. Dalam kenyataannya argumentasi eksternal seperti kesaksian sejarah tetap saja dapat dipandang tidak konklusif karena memiliki kemungkinan kesalahan. Berdasarkan pertimbangan ini, maka argumentasi eksternal haruslah dipahami sebagai bagian dari argumentasi bahwa kebenaran Alkitab juga dapat ditemukan ekspresinya dalam bidang-bidang ilmu pengetahuan lain.15 Dengan kata lain, argumentasi eksternal ini menjadi ekspresi dari kebenaran Alkitab dalam dunia. Walaupun demikian, argumentasi ini sendiri tidaklah membuktikan atau mengesahkan kebenaran Alkitab.

Argumentasi Eksternal: Otoritas Sejarawan Non Kristen
Banyak orang termasuk orang Kristen tidak mengetahui bahwa fakta kematian Yesus di kayu salib bukan hanya dicatat oleh Alkitab tetapi juga diakui oleh banyak otoritas sejarawan sekuler. Tacitus (55-120 M), yang merupakan seorang sejarawan terbesar dari Romawi kuno berkata, “Christus, the founder of the name (Christians), was put to death by Pontius Pilate, procurator in Judea in the reign of Tiberius.” Nama-nama sejarawan lain yang menerima kematian Yesus akibat penyaliban adalah Suetinius, Pliny, Thallus, dan Phlegon. Mereka adalah sejarawan sekuler yang memiliki nama besar dan berotoritas dalam bidangnya. Tulisan mereka menunjukkan bahwa kebenaran proklamasi Alkitab dapat ditemukan dalam bidang ilmu sejarah.

Selanjutnya, otoritas lain yang amat penting untuk diperhatikan adalah sumber Yahudi. Talmud Babilonia menyatakan tentang Yesus demikian: “It has been taught: On the eve of passover they hanged Yeshu . . . they hanged him on the passover.” Dalam kalimat ini, kata “Yeshu” jelas mengacu pada Yesus dan kata “hanged” merupakan sebutan lain dari penyaliban (Luk. 23:39; Gal. 3:13). Selain itu, referensi mengenai penyaliban Yesus yang terjadi pada malam persiapan Paskah juga sesuai dengan kesaksian Alkitab (Yoh. 19:14). Pada tahap ini adalah penting untuk disadari bahwa para sejarawan sekuler maupun penulis Yahudi (Talmud Babilonia) tersebut bukanlah orang-orang yang mendukung kekristenan. Dalam kenyataannya, tulisan-tulisan mereka sebenarnya bernada negatif terhadap kekristenan. Mereka tidak memiliki motif keuntungan apa pun dalam menyatakan kematian Yesus di salib. Kesepakatan para lawan kekristenan dalam menerima kematian Yesus disalib sebagai fakta sejarah merupakan hal yang mendukung klaim Alkitab sebagai firman Allah.16)

Argumentasi Alkitab dan argumentasi eksternal di atas pada dasarnya lebih bersifat defensif daripada ofensif. Argumentasi defensif seperti di atas jelas diperlukan dalam hampir semua kondisi, namun argumentasi ofensif kadang-kadang diperlukan dalam kondisi tertentu.

Oleh karena terdapat dua pandangan yang berbeda dari kalangan Muslim mengenai peristiwa penyaliban Yesus, maka dalam bagian ini akan dikembangkan argumentasi sanggahan kepada penganut dari kedua pandangan ini secara berturut-turut.

Pembelaan Kristen terhadap pandangan bahwa Yesus Kristus diangkat Allah sebelum mengalami penyaliban
Dalam merespons pandangan ini, kita perlu secara jeli melihat adanya kesulitan dalam penafsiran Muslim terhadap Al Qur’an. Dalam Surat Maryam 19:15 diceritakan tentang Yohanes Pembaptis demikian: “Kesejahteraan atas dirinya pada hari dia dilahirkan dan pada hari dia meninggal dan pada hari dia dibangkitkan hidup kembali.” Berdasarkan ayat ini, tidak ada sarjana Muslim yang menyangkal bahwa Yohanes Pembaptis lahir, mati dan akan dibangkitkan. Kata kunci “inni mutawaf-feeka” yang berarti “meninggal” juga diartikan secara literal oleh semua Muslim.

Menurut Anis A. Shorrosh, seorang Kristen yang memiliki bahasa Arab sebagai bahasa ibunya, kata “inni mutawaf-feeka” ini memang selalu berarti kematian baik dalam penggunaannya di Al Qur’an seperti ayat ini maupun di luar Al Qur’an. Uniknya, dalam konteks dekat dari pernyataan Al Qur’an mengenai Yohanes Pembaptis, terdapat kata-kata Yesus yang nyaris sama dengan ayat yang mengacu pada Yohanes Pembaptis: “. . . dan kesejahteraan semoga dilimpahkan kepadaku pada hari aku dilahirkan, pada hari aku meninggal dan pada hari aku dibangkitkan hidup kembali” (Surat Maryam 19:33).17 Kata yang dipakai untuk “meninggal” dalam ayat ini adalah sama dengan yang dipakai untuk menggambarkan kematian Yohanes Pembaptis. Selain itu, dalam Al Qur’an juga terdapat ayat-ayat lain yang menggunakan kata “inni mutawaf-feeka” untuk menggambarkan kematian Yesus (Surat Al Maa-idah 5:117, Surat Ali Imran 3:55). Pandangan mengenai kematian Yesus secara jasmaniah ini bahkan didukung juga oleh sejumlah ahli tafsir Islam.18)

Jadi, di satu sisi Al Qur’an menyatakan, “. . . Sebenarnya Allah telah mengangkat Isa itu kepada-Nya dan Allah itu adalah Maha Besar dan Maha Bijaksana” (Surat Ani-Nisa’ 4:158). Kalimat ini banyak ditafsirkan sebagai penegasan bahwa Isa tidak mengalami kematian jasmani. Tetapi di sisi lain, Surat Maryam 19:33 menyatakan bahwa Yesus mengalami kematian jasmani. Bagi penulis, kedua ayat ini menunjukkan kesulitan bagi harmonisasi yang alami. Akibatnya, tidaklah mengherankan jika sarjana-sarjana Islam sendiri berbeda penafsiran tentang apakah Yesus mati sebagai manusia biasa atau diangkat Allah ke sorga.

Selanjutnya, dalam kaitan dengan pandangan pertama ini, maka orang percaya juga perlu memberikan kritik terhadap keberagaman penafsiran mengenai figur pengganti Isa yang disalibkan orang Yahudi. Pada dasarnya hal ini menunjukkan bahwa setiap versi cerita penggantian Yesus merupakan penafsiran spekulatif terhadap Al Qur’an itu sendiri. Selain itu, kita dapat mengajukan beberapa tanggapan atas kepercayaan adanya figur pengganti Yesus di kayu salib.

Pertama, jika Allah menyerupakan seseorang menjadi seperti Isa dan akhirnya ia harus disalib, bukankah hal itu akan menjadi kasus ketidakadilan dan fitnah bagi orang tersebut? Dari sudut pandang Allah, bukankah hal ini berarti suatu usaha penipuan terhadap orang banyak? Apakah hal yang demikian ini sesuai dengan integritas Allah?19) Kedua, jika maksud Allah adalah menyelamatkan Isa, mengapa Ia perlu membuat orang Yahudi tertipu dengan adanya orang lain yang perlu disalib? Bukankah Allah cukup mengangkat Isa tanpa perlu adanya pengganti Isa di kayu salib? Apakah gunanya bagi Allah sehingga Ia harus membuat orang lain menjadi serupa Isa dan menggantikannya disalib? 20)

Selanjutnya, jika Isa sebagaimana diakui Al Qur’an memang sanggup berbuat mujizat termasuk membangkitkan orang mati (Surat Ali Imran 3:49), mengapakah Ia tidak sanggup untuk melindungi diri-Nya sendiri jikalau Ia memang tidak ingin disalibkan sebagaimana dipercaya oleh banyak penafsir Islam? Kemudian, dari sudut pandang pengganti Isa, kita dapat bertanya demikian, “Jikalau orang yang diserupakan menjadi seperti Yesus itu masih dapat berpikir dengan normal, bukankah ia selayaknya akan memberontak dan menyatakan bahwa dirinya bukan Isa?” Dalam kenyataannya hal ini tidak tercatat menurut catatan keempat Injil maupun Al Qur’an.21)

Pada tahap ini, sedikitnya ada dua alternatif kemungkinan. Pertama, Allah telah menjadikan pengganti Yesus memiliki wajah baru sekaligus pikiran yang diprogram untuk berpikir bahwa dirinya adalah Isa, atau, Allah telah mengubah wajahnya dan membungkam mulutnya walaupun ia sendiri sadar bahwa dirinya bukan Isa? Walaupun demikian, dalam kedua kasus tersebut, Allah benar-benar telah membuat orang yang diserupakan itu menjadi robot yang tak berdaya. Jika peristiwa ini benar, hal ini tentu merupakan penganiayaan terhadap kesadaran dan kehendak bebas manusia.

Selanjutnya, adalah penting untuk menyadari bahwa pandangan pertama yang ini telah banyak ditinggalkan oleh para penafsir Islam Modern. Oleh karena itu, penafsiran kedua yang mengajukan teori bahwa Yesus hanya pingsan pada saat penyaliban, telah berkembang menjadi sebuah alternatif dari pandangan tradisional.

Pembelaan Kristen Terhadap Pandangan Bahwa Yesus Mengalami Penyaliban Namun Tidak Sampai Mati
Pandangan kedua dari Muslim terhadap peristiwa penyaliban Yesus adalah kepercayaan bahwa Yesus secara aktual memang mengalami penyaliban namun hanya pingsan dan tidak sampai mati (swoon theory). Dalam perspektif Al Qur’an sebenarnya pandangan ini terkesan dipaksakan karena Surat An Nisa’4:157 dengan jelas berkata “. . . padahal mereka tidak membunuhnya dan tidak (pula) menyalibnya, tetapi (yang mereka bunuh ialah) orang yang diserupakan dengan Isa bagi mereka.” Walaupun demikian, Ahmed Deedat seorang apologet Islam yang terkenal, secara kreatif telah mencoba untuk menyesuaikan penafsirannya bahwa Yesus hanya pingsan ketika disalib dengan kesaksian Al Qur’an tersebut. Strategi utamanya adalah meredefinisi kata “menyalibkan” sebagai “membunuh di kayu salib.” Dengan definisi ini, ia menyatakan bahwa walaupun Yesus sungguh-sungguh telah naik ke kayu salib, akan tetapi karena Ia tidak mati di sana, maka adalah sah untuk menyatakan bahwa Ia “tidak disalibkan” sesuai dengan kata-kata dalam Q.S. An Nisa’4:157-158 tersebut.22 Pandangan Deedat ini akhirnya cukup banyak diadopsi oleh para penafsir Muslim kontemporer lainnya.

Pada dasarnya ada beberapa tanggapan yang dapat diajukan berkaitan dengan pandangan ini. Sebagaimana telah dibahas sebelumnya, penganut pandangan kedua ini percaya bahwa
murid-murid Yesus pada akhirnya melepaskan Yesus untuk pergi mengembara ke suatu tempat, misalnya Kashmir menurut golongan Ahmadiyah. Hal ini tentu berarti bahwa murid-murid Yesus mengetahui bahwa Yesus tidak mati, bangkit maupun naik ke sorga.23 Dalam menanggapi hal ini, kita perlu mengakui bahwa sumber keyakinan kita adalah Alkitab yang secara jelas mencatat baik kematian (Mat. 27:50; Mrk. 15:37), kebangkitan (Mat. 28:1-10; Mrk. 16:1-14) maupun kenaikan Yesus Kristus ke sorga (Mrk. 16:19; Luk. 24:50-51).

Selanjutnya, Alkitab juga mengembangkan sebuah logika meyakinkan yang ditulis oleh Paulus. Dalam 1 Korintus 15: 1-20, rasul Paulus berargumentasi mengenai kebangkitan Yesus yang mengimplikasikan kematian-Nya (ay. 3). Argumentasi pertama yang diajukan Paulus adalah menyatakan bahwa kematian dan kebangkitan Yesus telah dinubuatkan dalam Perjanjian Lama (ay. 3-4).

Selanjutnya, Paulus menunjukkan bahwa kematian Yesus yang diikuti dengan kebangkitan dan penampakan diri-Nya telah disaksikan oleh kedua belas murid-Nya bahkan lebih dari 500 orang yang kebanyakan masih hidup pada masa Paulus menuliskan suratnya (ayat 5-6). Dengan ini Paulus tentu memaksudkan bahwa jika ada orang yang tidak percaya pada fakta kebangkitan Yesus, maka mereka dapat menemui para saksi mata ini.24)

Pada akhirnya, argumentasi Paulus yang terpenting adalah bahwa kebangkitan Yesus telah diberitakan oleh para rasul. Di sini Paulus berkata kepada jemaat Korintus bahwa, “andaikata Kristus tidak dibangkitkan maka sia-sialah pemberitaan kami dan siasialah juga kepercayaan kamu” (ayat 14) Selain itu, Paulus berkata, jika hal ini benar maka para rasul telah mendustai Allah (ayat 15) dan semua orang percaya adalah orangorang yang paling malang dari segala manusia (ayat 19). Dalam kenyataannya, tentu saja hal ini bukanlah kasus yang aktual melainkan hipotetis semata-mata. Para rasul bukanlah orang yang berdusta terhadap Allah dan berbuat kebodohan dengan memberitakan kebohongan kematian dan kebangkitan Yesus.

Pada tahap ini orang percaya perlu berpikir mengenai keuntungan apakah yang didapatkan murid-murid Yesus dengan memberitakan suatu berita yang mereka sendiri ketahui sebagai kebohongan, sampai menjadi martir? Tentu saja amat sulit untuk menerima hal ini dengan akal sehat. Akan tetapi, Alkitab dengan jelas menyatakan bahwa yang sesungguhnya terjadi tidaklah demikian. Paulus berkata, “Tetapi yang benar ialah, bahwa Kristus telah dibangkitkan dari antara orang mati, sebagai yang sulung dari orang-orang yang telah meninggal” (ay. 20).

Setelah melihat penegasan Alkitab tentang kematian Yesus dan kebangkitannya di atas, perlu juga dikritisi rasionalitas dari pandangan Muslim berdasarkan penafsiran Al Qur’an. Pertama, Surat An Nisa’ 4:157 dengan jelas berkata, “. . . mereka tidak membunuh dan tidak (pula) menyalibnya.” Jikalau para penganut teori pingsan ini meredefinisi kata “menyalib” dengan pengertian “membunuh di kayu salib” maka tentu saja terdapat pengulangan kata yang tidak perlu dalam ayat tersebut.

Parafrase ayat tersebut sesuai dengan definisi yang baru ini menjadi demikian: “mereka tidak membunuh dan tidak pula membunuhnya di kayu salib.” Dari sudut pandang gramatikal hal ini tentu tidak wajar. Penafsiran yang wajar tampaknya telah dilakukan pandangan tradisional yang menyatakan bahwa ayat tersebut berbicara mengenai dua hal: (1) orang-orang Yahudi tidak membunuh Isa; dan (2) orang-orang Yahudi tidak menyalibkan Isa. Di sini kita melihat bahwa pengertian yang diusahakan oleh Deedat dan penafsir Muslim kontemporer lainnya adalah suatu pemaksaan.

Selanjutnya, kita juga dapat mempertanyakan, “Apakah dalam pengembaraan-Nya Yesus sama sekali tidak mengetahui bahwa murid-murid-Nya telah berbohong dengan memberitakan penyaliban, kematian dan kebangkitan-Nya (Kis. 2:14-40)? Jikalau Ia memang mengetahui hal ini, bagaimana mungkin Yesus, seorang utusan Allah yang saleh (menurut pandangan Islam) dapat membiarkan murid-murid-Nya menyiarkan kabar bohong tentang diri-Nya tanpa berhasil untuk meluruskannya?

Paulus: Sang Penyesat Utama
Selain mengajukan beberapa argumentasi di atas, kita juga perlu untuk memahami pandangan Muslim yang populer mengenai agama Kristen. Para apologet Muslim sering kali berargumentasi bahwa penyelewengan berita yang meninggikan Yesus sebagai Tuhan dan Juruselamat selalu dikaitkan dengan Paulus yang dianggap sebagai penyesat. Fakta kematian, kebangkitan dan kenaikan Yesus dianggap sebagai rekayasa Paulus seorang diri.25) Sebagian dari Muslim bahkan berpendapat bahwa injil yang diberitakan Paulus berbeda dengan injil dari para rasul lainnya.26)

Dalam menanggapi tuduhan Muslim tersebut, orang percaya perlu menunjuk pada Alkitab yang mencatat bahwa berita kematian, kebangkitan, kenaikan dan ketuhanan Yesus bukanlah berita eksklusif Paulus, melainkan semua rasul Yesus (Yak. 2:1; 1Ptr. 1:3; 1Yoh. 3:16; Yud. 4). Dalam Kisah Rasul 2:14-40 diceritakan bahwa Petrus berkhotbah mengenai kematian (2:23), kebangkitan (2:124-32) kenaikan serta ketuhanan Yesus (2:33-36). Adalah penting untuk memperhatikan bahwa pada saat itu Petrus berkhotbah dengan disertai para rasul lainnya (2:14). Berdasarkan hal ini adalah jelas bahwa berita Petrus merupakan berita yang secara bersama-sama diyakini oleh para rasul lainnya. Tuduhan Muslim bahwa Pauluslah yang menciptakan doktrin kematian, kebangkitan, kenaikan dan ketuhanan Yesus Kristus tidak memiliki dasar argumentasi yang kuat dalam perspektif Kristen.

Membangun Toleransi Sejati

Kematian Yesus Kristus disalib adalah sebuah fakta sejarah yang di atasnya bangunan keselamatan orang Kristen didirikan. Bertentangan dengan hal itu, hampir semua umat Islam sepakat bahwa Yesus tidak mengalami kematian di kayu salib. Dua pandangan tersebut adalah salah satu dari sekian banyak aspek ajaran yang berbeda antara Kristen dan Islam. Fakta ini menggemakan suara yang makin terhimpit akhir-akhir ini: ”Semua agama tidak sama”. Penulis sungguh terkesan dengan usaha sebagian pembela ajaran Islam yang menegaskan perbedaan ajarannya dengan ajaran-ajaran lain termasuk Kristen. Menegaskan keyakinan akan keunikan ajaran suatu agama di tengah arus pluralisme teologis dewasa ini memang perlu nyali untuk dianggap ”fundamentalis” dan ”fanatik”. Keberanian dan kejujuran semacam ini perlu dihargai secara tulus.

Walaupun demikian, keberanian dan kejujuran dalam menegaskan keyakinan seseorang tentu saja harus disertai dengan sikap toleran dan hormat terhadap penganut agama lain. Dalam paradigma inilah setiap orang Kristen harus tetap teguh dalam keyakinannya atas fakta kematian Yesus di kayu salib sambil tetap menghargai pandangan yang berlawanan (demikian juga sebaliknya!). Perbedaan itu biasa, pertengkaran itu luar biasa (memalukannya!). Menegaskan perbedaan dan mengakui ”persamaan”27 adalah salah satu modal toleransi sejati tanpa topeng murahan ”semua agama sama”. #
--- --- ---


FOOTNOTE :
1) Judul buku yang dimaksud adalah Mempertanyakan Kebangkitan dan Kenaikan Isa Almasih (Indonesia: Bima Rodheta, 2004). Buku ini telah memasuki cetakan ke delapan.
2) Lih. hal. 36-37 (Penerbit Dua Lautan, 2006). Orang-orang Kristen memang sabar (atau cuek?). Diserbu dengan tulisan-tulisan seperti itu kok tidak ada yang demo ya? Coba kalau sebaliknya?
3) Tidak ketinggalan juga kepada Dan Brown dan National Geopraphic Society yang mempopulerkan Injil Yudas karena turut mendorong banyak orang Kristen masuk ruang seminar, kelas-kelas pembinaan doktrin serta belajar sejarah gereja.
4) Perkecualian amat sedikit. Mahmud Ayyub adalah contoh teolog Islam yang percaya bahwa Yesus memang mati disalib (William Montgomery Watt, Islam [Yogyakarta: Jendela, 2002] 88-89).
5) Pandangan ini dianut oleh Ichwan Hariyadi (Intelektual Muslim Versus Missionaris [t.k.: Pustaka Da’i, 2003]
305-306).
6) Lih. Bey Arifin. Maria, Yesus dan Muhammad (Surabaya: Bina Ilmu, 1985) 43.
7) Hasbullah Bakry, Isa dalam Qur’an, Muhammad dalam Bible (Jakarta: Firdaus, 1989) 46.
8) Lih. Imam Muchlas, Pandangan Al Qur’an Terhadap Agama Kristen (Surabaya: Al-Ihsan, 1982) 54-55.
9) Pandangan ini dianut oleh beberapa tokoh seperti Bakry, Isa dalam Qur’an 46-53; Abul Ata, Debat Kairo: Muslim versus Ahli Kitab (Jakarta: Radja Pena, 1991) 46-96; dan Ahmed Deedat dalam bukunya yang amat populer di kalangan Muslim: The Choice: Dialog Islam-Kristen (Jakarta: Pustaka Al Kautsar, 2003)409-516.
10) Isa dalam Qur’an 47.
11) Menjadi saksi Kristus di Tengah Masyarakat Majemuk (Jakarta: Penerbit Obor, 2004) 142.
12) A Passion for Truth (Downers Grove: InterVarsity, 1996) 216.
13) Dean C. Halverson, “Islam” dalam The Compact Guide to World Religions (ed. Dean C. Halverson; Minneapolis: Bethany, 1996) 117.
14) Bdk. Norman L. Geisler dan Abdul Saleeb. Answering Islam: The Crescent in the Light of The Cross (Grand Rapids: Baker, 1995) 274.
15) Bdk. John M. Frame, Apologetika bagi Kemuliaan Allah (Surabaya: Momentum, 2000) 28-29.
16) Lih. Josh McDowell, The New Evidence That Demands a Verdict (Nashville: Thomas Nelson, 1999) 119-136.
17) Anis A. Shorrosh, Kebenaran Diungkapkan: Pandangan Seorang Arab Kristen Tentang Islam (Jakarta: Kelompok Kerja Philia Jakarta, 1988) 103.
18) Lih. Muchlas, Pandangan Al Qur’an 63-64. Muchlas mengutip banyak ahli tafsir Islam yang mengartikan kata “mutawaf-feeka” ini sebagai kematian literal yang alamiah. Walaupun demikian, Muchlas menolak penyaliban Yesus sebagai penyebabnya. Ia percaya bahwa terdapat orang lain yang menggantikan Yesus dan akhirnya Yesus mati sebagai manusia biasa di Kashmir sebagaimana pandangan kaum Ahmadiyah. Dalam kenyatannya beberapa ahli tafsir Islam lainnya menolak mengartikan kematian Yesus di sini secara literal. Hal ini jelas merupakan usaha untuk mengupayakan konsistensi penafsiran Muslim ortodoks yang percaya bahwa Yesus diangkat Allah dan oleh sebab itu tidak mengalami kematian.
19) Bdk. Kenneth Cragg, Azan, Panggilan dari Menara Masjid (Jakarta: Gunung Mulia, 1973) 341.
20) Bdk. Josh McDowell dan John Gilchrist, The Islam Debate (California: Campus Crusade for Christ, 1983)
108.
21) Bdk. McDowell dan Gilchrist, The Islam 107; McGrath, A Passion 216-217.
22) McDowell dan Gilchrist, The Islam 112-113.
23) Lih. Bakry, Isa dalam Al Qur’an 47.
24) Frame, Apologetika 78-79.
25) Bakry, Isa dalam Qur’an 55-72; Bdk. Munir, Islam Meluruskan 93-191. Mayoritas pembela ajaran Islam memang anti Paulus. Paulus dianggap sebagai pendiri agama Kristen sekarang ini dan bukan Yesus. Tidak heran jika Injil Barnabas yang menjadi favorit bagi sebagian umat Islam menyebut Paulus sebagai penyesat dalam pasal pertamanya (Terjemah Injil Barnabas [Surabaya: Bina Ilmu,....] 1).
26) Munir, Islam Meluruskan 111-125.
27) Persamaan yang dimaksud adalah kemiripan ajaran agama-agama di level permukaan (misalnya: Golden Rule yang ditemukan dalam berbagai tradisi agama), tetapi tidak dalam arti persamaan yang hakiki dalam satu atau seluruh aspek ajaran agama-agama. Penulis percaya bahwa agama-agama saling konflik dalam epistemologi dan seluruh aspek wawasan dunianya

ANALISA KRITIS TERHADAP KITAB-KITAB INJIL NON-KANONIK

ANALISA KRITIS TERHADAP KITAB-KITAB INJIL NON-KANONIK (1): INJIL YUDAS

Pendalaman Alkitab GKRI Exodus, 27 Maret 2007
Yakub Tri Handoko, Th. M.
Kontroversi seputar Injil Yudas mulai mencuat ke publik melalui pemberitaan National Geographic pada bulan April 2006, walaupun beberapa sarjana mengaku sebelumnya pernah melihat atau ditawari naskah kuno tersebut oleh pedagang barang kuno. Pasca pemberitaan ini, bak bola salju, isu tentang Injil Yudas terus menggelinding memancing reaksi dari berbagai kalangan. Berbagai seminar mulai diadakan, baik dalam tingkat populer (untuk jemaat awam) maupun akademis (untuk para teolog). Bagaimana proses ditemukannya Injil Yudas? Apakah manuskrip itu benar-benar otentik (kuno)? Bagaimana konsep tentang Yesus dalam Injil Yudas? Apakah pengaruhnya bagi kekristenan? Bagaimana kita menyikapi isu ini? Pertanyaan-pertanyaan ini akan menjadi fokus pembahasan kita kali ini.
Penemuan Injil Yudas
Keberadaan Injil Yudas seharusnya tidak menimbulkan kekagetan yang luar biasa bagi orangKristen, seolah-olah kitab ini baru diketahui sekarang. Irenaeus, bapa gereja yang hidup pada abad ke-2 M, dalam bukunya Against Heresies pernah menyebut keberadaan Injil Yudas, walaupun ia tidak mencatat apa isi kitab kuno itu. Dia hanya menyatakan kalau kitab ini adalah sesat dan sejarah fiktif (fictitious histories).
Isu modern tentang Injil Yudas berkaitan dengan sebuah penemuan kitab kuno yang di dalamnya terdapat Injil Yudas di dekat El Minya, Mesir, pada tahun 1970-an oleh seorang pencari barang kuno Mesir yang sekarang sudah meninggal dunia. Manuskrip Injil Yudas yang ditemukan ditulis dalam bahasa Mesir Coptic pada awal abad ke-4 M (teks asli dari Injil Yudas dipercaya ditulis dalam bahasa Yunani pada pertengahan abad ke-2 M). Tahun 1978 orang tersebut menjual kitab kuno ini kepada Hanna, kolektor barang kuno di Kairo. Sekitar tahun 1980 sebagian besar koleksi Hanna, termasuk kitab kuno yang berisi Injil Yudas itu, dicuri melalui sebuah upaya perampokan dan dibawa keluar dari Mesir. Setelah berkoordinasi seorang kolektor barang antik di Genewa, Hanna akhirnya berhasil mendapatkan kitab itu kembali.
Hanna adalah orang pertama yang menunjukkan kitab kuno ini kepada para ahli dan mereka mengakui otentisitas dan signifikansi dari barang kuno tersebut. Pada tahun 1983, Stephen Emmel dan dua orang temannya yang ahli dalam tulisan-tulisan kuno dipanggil untuk menyaksikan manuskrip ini di sebuah hotel di Genewa, namun ketiganya dilarang untuk mengambil foto atau catatan. Ketiganya langsung mengenali bahwa manuskrip itu sangat tua dan penting, tetapi mereka tidak mengetahui bahwa kitab itu berisi Injil Yudas (mungkin karena mereka hanya diberi waktu 30 menit untuk melihat kitab kuno itu). Pertemuan tersebut berakhir tanpa adanya transaksi karena harga 3 juta dollar US yang diminta Hanna
dianggap terlalu tinggi. Tahun 1984 Hanna mencoba menjual kitab kuno itu lagi di Amerika.
Usaha ini kembali gagal dan Hanna akhirnya menyimpan kitab itu di sebuah kotak deposit keamanan (safe-deposit box) di Hicksville, New York selama 16 tahun. Akhirnya seorang pedagang barang antik dari kota Zurich yang bernama Frieda Nussberger- Tchacos membeli kitab kuno tersebut pada bulan April 2000. Ia selanjutnya menyerahkan barang itu kepada Beinecke Rare Book and Manuscript Library untuk diuji dan bila memungkinkan sekalian dijual. Seorang ahli papirus dari Universitas Yale yang bernama Robert Babcock meneliti barang itu dan memastikan bahwa Tchacos memiliki salah satu
salinan/terjemahan Injil Yudas yang selama ini hanya diketahui para sarjana dari pernyataan bapa gereja Irenaeus. Sekalipun penemuan ini sangat mencengangkan, namun Universitas Yale tidak mau membeli kitab itu.
Tidak lama kemudian, Tchacos berusaha menjual kepada seorang pedagang barang kuno dari Amerika bernama Bruce Ferrini. Tchacos diberi sebuah cek kosong. Dari pengalaman ini ia yakin bahwa Ferrini tidak memiliki cukup uang untuk membeli barang kuno itu. Dengan bantuan beberapa pedagang barang kuno yang terkenal, Tchacos berhasil mendapatkan kembali kitab itu dari tangan Ferrini. Setelah dua kali kegagalan dalam usaha menjual kitab kuno ini dan karena keadaan kitab itu yang makin memburuk, Tchacos pada bulan Februari 2001 menyerahkan kitab ini kepada Maecenas Foundation for Ancient Art di Basel, Swiss, untuk direstorasi dan diterjemahkan. Organisasi ini selanjutnya bekerja sama dengan National Geographic Society (Washington) dan Waitt Insttitute for Historical Discoveries (California).
Selanjutnya manuskrip Injil Yudas tersebut dipamerkan kepada publik di National Geographic Museum, sebelum akhirnya dikirim ke Cairo’s Coptic Museum untuk disimpan secara permanen.
Isu seputar Injil Yudas semakin menjadi wacana publik melalui pemberitaan National Geographic maupun terjemahannya ke dalam bahasa Inggris yang diterbitkan pada tahun 2006 (The Gospel of Judas. Edited by Rodolphe Kasser, Marvin Meyer, and Gregor Wurst with Additional Commentary by Bart D. Ehrman. Washington, D.C.:National Geographic Society, 2006). Di Indonesia, terjemahan Injil Yudas diterbitkan oleh Penerbit Gramedia pada tahun 2006 juga.
Otentisitas
Otentisitas berhubungan dengan pertanyaan apakah manuskrip Injil Yudas yang ditemukan benar-benar berasal dari abad permulaan (kuno). Pertanyaan seperti ini sangat wajar dikemukakan, karena beberapa penemuan arkheologi yang dulu diklaim berasal dari abad kuno ternyata hanyalah produk abad-abad yang lebih modern. Beragam jenis pengujian ternyata memang menunjukkan bahwa manuskrip Injil Yudas yang ditemukan benar-benar berasal dari abad permulaan.
1. Pengujian radiocarbon (C14) di laboratorium Universitas Arizona di Tucson terhadap papirus dan kulit pengikat kitab menunjukkan kisaran tahun 220-340 M. Sebagai informasi, laboratorium ini adalah laboratorium yang sama yang dipakai untuk mengukur usia Naskah Laut Mati.
2. Analisa forensik terhadap tinta secara ekstensif dan tes gambar multispektral merujuk pada periode yang sama.
3. Bukti kontekstual – isi, gaya bahasa dan jenis huruf – menunjukkan bahwa manuskrip ini sejaman dengan berbagai naskah Gnostik kuno yang ditemukan di Nag Hammadi, Mesir. Semau naskah tersebut kemungkinan besar ditulis pada abad ke-3 dan ke-4 M.

Dari beragam jenis pengujian di atas, otentisitas manuskrip Injil Yudas yang ditemukan merupakan hal yang tidak bisa dibantah. Apa yang ditemukan memang berasal dari abad permulaan. Tingkat kemungkinan adanya seseorang pada abad modern yang menuliskan manuskrip tersebut adalah sangat kecil: ia harus memiliki papirus dan tinta kuno; ia juga harus menguasai tata bahasa Coptic yang hanya dikuasai oleh segelintir ahli saja; ia harus mengikat semua lembaran tersebut dengan kulit kuno.
Walaupun manuskrip Injil Yudas yang ditemukan memang berasal dari abad kuno, namun hal ini tidak berarti apa yang ditulis adalah benar dan berotoritas. Kita perlu mengetahui bahwa ada banyak tulisan kuno - sebagian bahkan jauh lebih kuno daripada Injil Yudas - yang sekarang berhasil ditemukan, tetapi hal itu tidak berarti bahwa semua yang tertulis di dalamnya adalah benar. Kekunoan suatu tulisan tidak berkaitan dengan ketepatan isi dari tulisan tersebut. Berbagai pengujian di atas hanya memastikan bahwa manuskrip yang ditemukan bukanlah hasil rekayasa orang modern dan dengan demikian semakin menguatkan pendapat para ahli bahwa manuskrip tersebut adalah salah satu terjemahan dari versi asli bahasa Yunani yang disinggung oleh Irenaeus dalam bukunya Against Heresies.
Rekonstruksi teks
Apakah manuskrip Injil Yudas yang ditemukan dan sekarang diterjemahkan bisa mewakili naskah asli yang dipercayai ditulis dalam bahasa Yunani? Kita sulit menjawab pertanyaan ini. Manuskrip Tchacos merupakan satu-satunya manuskrip Injil Yudas yang ditemukan, sehingga kita tidak bisa membuat perbandingan untuk merekonstruksi teks aslinya. Kita juga tidak boleh melupakan fakta bahwa manuskrip yang ditemukan hanyalah terjemahan, bukan salinan. Sebagai sebuah terjemahan, manuskrip tersebut pasti melibatkan unsur interpretasi. Selain faktor di atas, keadaan manuskrip yang ditemukan juga bisa dikatakan buruk, sehingga sangat tidak memadai untuk mencapai tahap kepastian apakah manuskrip itu sesuai dengan naskah aslinya. Pada saat Maecenas Foundation for Ancient Art memanggil Kasser dan ahli yang lain untuk memeriksan, merestorasi dan menerjemahkan manuskrip tersebut, keadaannya cukup parah. Pengikat kulit yang menghubungkan lembaran-lembaran papirus yang ada sudah lepas. Beberapa halaman papirus sudah terpecah-pecah menjadi ratusan fragmen. Sentuhan sedikit saja akan membuat lembaran papirus hancur menjadi sobekan-sobekan kecil. Beberapa halaman mulai menghitam, sehingga kalimat yang ada di dalamnya sulit untuk dikenali. Susunan halaman dari kitab ini juga tidak sesuai dengan aslinya. Kemungkinan besar si penjual sangaja meletakkan lembaran-lembaran yang masih bagus di bagian depan sehingga menarik perhatian calon pembeli. Begitu buruknya kondisi kitab kuno tersebut, sampai-sampai membuat Rodolphe Kasser, salah seorang ahli yang terlibat dalam rekonstruksi dan terjemahan Injil Yudas, mengatakan bahwa mereka membutuhkan sebuah lompatan iman yang ditopang dengan pengharapan untuk merekonstruksi kitab itu. Usaha rekonstruksi yang dilakukan ahli rekonstruksi Florence Darbre dan ahli bahasa Coptic Gregor Wurst ini dianggap sangat memuaskan (90-95% berhasil direkonstruksi), walaupun sebagian baris tetap tidak bisa direkonstruksi karena lubang pada papirus. Selain Injil Yudas, kitab kuno lain yang ditemukan adalah Apokaliptis Yakobus Pertama (First Apocalypse of James), Surat Petrus kepada Filipus (A Letter of Peter to Philip) dan fragmen dari sebuah kitab yang diberi nama Kitab Allogenes (The Book of Allogenes).

Yesus dalam Injil Yudas: sebuah kontroversi
Injil Yudas tidak berisi banyak narasi seperti yang ditemukan dalam kitab-kitab injil kanonik. Injil Yudas terfokus pada percakapan rahasia antara Yesus dan Yudas Iskariot seminggu sebelum peristiwa penyaliban Yesus, walaupun kita juga bisa mengetahui konsep-konsep lain yang tersirat dalam percakapan rahasia ini, misalnya konsep tentang Allah, penciptaan, Kristus dan keselamatan. Menurut Injil Yudas, Yudas bukanlah pengkhianat. Sebaliknya, ia adalah sahabat dan pahlawan bagi Yesus. Dalam sebuah percakapan rahasia, Yesus meminta tolong kepada Yudas, “engkau akan mengorbankan manusia (daging yang bersifat materi) yang melingkupi aku”. Ungkapan ini merujuk pada upaya Yesus untuk membebaskan jiwa- Nya dari tubuh-Nya yang jahat. Dengan menyerahkan Yesus kepada musuh-musuh-Nya, Yudas justru telah membantu Yesus melaksanakan rencana Allah. Cerita kontroversial tentang Yesus seperti ini sebenarnya bukanlah sesuatu yang baru. Dari dulu sampai sekarang Yesus memang selalu menjadi pusat kontroversi. Yang membuat isu tentang Injil Yudas menjadi semakin populer adalah pandangan para sarjana liberal tentang apa yang diajarkan dalam Injil Yudas. Menurut mereka, Injil Yudas bukan hanya memberikan alternatif lain tentang figur Yudas, namun tulisan kuno ini juga “membuktikan” bahwa pada masa awal gereja, kekristenan belum memiliki keseragaman konsep. Upaya untuk menyeragamkan teologi kekristenan baru dilakukan setelah kekristenan diterima sebagai agama resmi negara pada awal abad ke-4 melalui Edict Milan yang dikeluarkan oleh Kaisar Konstantinopel. Dengan kuasa yang semakin besar, kekristenan ortodoks dianggap telah menindas dan memusnahkan semua kitab maupun ajaran lain, termasuk Injil Yudas. Tidak heran, mereka menyebut Injil Yudas sebagai injil yang hilang. Berdasarkan pemahaman seperti ini, mereka berpendapat bahwa kisah tentang Yesus dalam Alkitab hanyalah salah satu versi dan tidak bisa mewakili figur Yesus yang sesungguhnya. Dengan kata lain, Yesus di dalam Alkitab adalah Yesus ciptaan sekte Kristen yang dominan. Semua ini terangkum dalam pernyataan Kasser sebagai berikut: "kita dapat menganggap ini sebagai sebuah mujizat nyata bahwa [karya tulis kuni seperti ini – khususnya yang diancam oleh kebencian pihak mayoritas pembaca pada masa itu yang memandang hal ini sebagai sebuah aib dan skandal, yang ditentukan untuk dimusnahkan,…tiba-tiba muncul dan dibawa kepada terang”.

Analisa kritis terhadap Injil Yudas
Bagaimana kita menyikapi isu seputar penemuan Injil Yudas ini? Respon pertama adalah kita tidak perlu terkejut. Tidak ada yang baru di bawah matahari (Pkh 1:9). Sebagaimana sudah disinggung secara sekilas, berbagai konsep tentang Yesus yang berbeda dengan Alkitab telah muncul dari masa ke masa. Bapa gereja Origen (abad ke-3 M) menulis sebuah buku untuk menentang pandangan Celsus (175 M), seorang pengikut neo-platonisme, yang menuduh Yesus lahir dari perselingkuhan Maria dengan tentara Romawi serta memiliki kuasa dari ilmu sihir Mesir. Beberapa tulisan para rabi abad ke-3 sampai ke-6 M juga menyiratkan hal yang sama. Yang penting bukanlah berapa banyak versi tentang Yesus yang muncul. Yang paling penting adalah di antara semua versi tersebut manakah yang paling otentik (sesuai dengan Yesus yang asli)?

Ujian kredibilitas kitab kuno
Sekarang marilah kita menguji kredibilitas Injil Yudas berdasarkan kriteria yang biasa dipakai untuk menguji kitab kuno. Ada 3 (tiga) ujian yang harus dilakukan:
(1) Bibliographical test (ujian bibliografi): apakah interval waktu antara peristiwa-penulisan penyalinan dekat? Apakah jumlah salinan memadai untuk dipakai sebagai perbandingan dalam merekonstruksi naskah aslinya?
(2) Interval evidence test (ujian bukti dari dalam): apakah suatu tulisan menunjukkan indikasi yang kuat bahwa penulisnya serius dengan fakta yang dia ungkap?
(3) External evidence test (ujian bukti dari luar): apakah ada sumber-sumber lain di luar tulisan tersebut yang meneguhkan apa yang ditulis?
Aplikasi dari tiga kriteria di atas menghasilkan konklusi seperti terlihat dari tabel berikut ini:

Kitab Injil Kanonik:
1. Peristiwa dan penulisan dilakukan pada abad ke-1 M. Kehidupan Yesus antara 6 SM – 28 M, Perjanjian Baru ditulis antara akhir 40-an sampai akhir 80-an.
2.Salinan tertua ditulis tahun 125 M
3.Jumlah salinan mencapai lebih dari 5000
4.Kitab-kitab injil memiliki rujukan waktu, tempat dan jabatan tokoh yang jelas, sehingga menunjukkan keseriusan penulisnya terhadap fakta (kebenaran catatan tersebut dapat dicek)
5.Beberapa ayat tampak sulit dimengerti menurut perspektif iman ortodoks, misalnya Yesus tidak tahu kapan Ia akan datang kembali (Mat 24:36//Mar 13:32). Hal ini mengindikasikan kesetiaan penulis terhadap tradisi yang ada, walaupun itu sekilas sulit dipahami dalam kerangka berpikir teologis penulis.
6.Arkheologi dan para penulis kafir kuno menyebutkan beberapa hal yang sama yang dicatat dalam Perjanjian Baru

Injil Yudas:
1.Jarak antara “peristiwa” (jika yang dicatat adalah benar) dan penulisan lebih dari satu abad.
2.Salinan tertua ditulis pada abad ke-3 atau ke-4 M.
3.Jumlah salinan hanya satu
4.Tidak ada rujukan tempat, waktu, dsb. Injil Yudas didominasi oleh percakapan, itupun disebut sebagai “percakapan rahasia”
5.Semua yang ada dalam Injil Yudas menunjukkan warna Gnostisisme yang kental dan konsisten. Tidak ada satu bagian pun yang tampak berpihak pada iman ortodoks.
6.Tidak (belum) ada bukti eksternal yang meneguhkan, karena memang tidak ada rujukan historis yang diberikan.

Warna Gnostisisme dalam Injil Yudas
Pemikiran Gnostik kemungkinan besar sudah muncul sejak abad ke-1 M, karena secara esensial pemikiran Gnostik bersumber dari konsep dualisme Hellenis yang sudah umum pada abad ke-1 M. Hampir semua sarjana umumnya berpendapat bahwa pemikiran Gnostik baru menjadi sebuah “isme” (paham) pada abad ke-2. Pemikiran ini terus membawa pengaruh yang cukup besar, baik dalam konteks kekristenan maupun di luarnya.
Apakah yang dimaksud Gnostisisme? Istilah “gnostisisme” berasal dari kata Yunani gnwsis yang berarti “pengetahuan”. Istilah ini sesuai dengan karakteristik utama Gnostisisme yang mengagungkan pengetahuan secara mistis dan rahasia dari allah kepada manusia. Dalam Gnostisisme, seseorang dianggap rohani apabila dia telah berhasil mendapat wahyu yang khusus dari allah. Ketika ajaran ini bercampur (bersinkretis) dengan kekristenan, tokoh-tokoh yang diangkat sebagai penerima wahyu khusus dari Allah adalah para tokoh Alkitab yang tidak terlalu terkenal, misalnya Yudas Iskariot, Maria Magdalena, Filipus dan Thomas. Hal ini mungkin sebagai upaya protes dan serangan terhadap kekristenan ortodoks yang melandaskan wahyu pada sejarah (saksi mata) dan diketahui oleh publik. Ini pula yang membuat isi yang “diwahyukan” dalam Gnostisisme berbeda dengan ajaran kekristenan
ortodoks.
Ciri khas lain dari ajaran ini adalah dualisme Hellenis yang menganggap materi bersifat jahat, sebaliknya yang non-material adalah baik. Mereka percaya di dunia ada dua kekuatan yang saling berjuang untuk mengalahkan satu sama lain, yaitu kekuatan materi (jahat) dan roh (baik). Allah yang bersifat roh (baik) tidak mungkin menciptakan materi yang jahat. Pencipta materi adalah Demiurgos, yaitu kekuatan ilahi yang memiliki roh sekaligus materi. Keselamatan manusia pun dipahami dalam konteks dualisme ini. Keselamatan adalah keterlepasan dari tubuh (materi).
Dua konsep di atas tercermin dengan jelas dalam beberapa pernyataan Yesus dalam Injil Yudas.
(1) Injil Yudas diawali dengan pernyataan “Catatan rahasia tentang wahyu yang Yesus katakan dalam percakapan dengan Yudas Iskariot selama seminggu sebelum ia merayakan Paskah”.
(2) Allah yang menciptakan dunia ini adalah allah yang berbeda dengan yang disembah Yesus. Ketika murid-murid Yesus berdoa kepada allah, Yesus justru menertawakan mereka.
(3) Yesus tidak dilahirkan sebagai manusia. Ia hanya menampakkan diri/muncul di bumi.
(4) Yesus meminta Yudas Iskariot membantu Dia untuk membebaskan diri dari tubuh (materi) yang jahat.
(5) Tidak ada cerita tentang kebangkitan Yesus secara badani.
(6) Yudas Iskariot disebut “akan melebihi semua murid” dan dianggap sebagai roh ke-13.
Istilah “injil”
Kata “injil” (euangelion) dipakai dalam beragam konteks. Kata ini bisa merujuk pada kabar baik secara umum, misalnya kabar kemenangan dalam peperangan maupun kelahiran anak penguasa. Dalam Alkitab kata ini dipakai untuk kabar keselamatan melalui karya Yesus Kristus. Dalam periode selanjutnya, kata euangelion juga dipakai oleh para bapa gereja untuk menyebut empat kitab yang menceritakan kehidupan (tindakan dan ucapan) Yesus. Berdasarkan penggunaan kata euangelion di atas, penyebutan “Injil Yudas” sebenarnya tidak tepat, baik dari sisi isi maupun jenis tulisan. Dari sisi isi, Injil Yudas mengabaikan beberapa elemen penting dari injil, yaitu kelahiran (inkarnasi) dan kebangkitan Yesus Kristus. Dari sisi jenis tulisan, Injil Yudas hanya membahas percakapan rahasia antara Yesus dengan Yudas Iskariot selama seminggu sebelum Yesus disalibkan.
Penyeragaman teologi Kristen?
Apakah benar Injil Yudas merupakan “injil yang hilang”? Apakah benar bahwa gereja mulai menyeragamkan teologi setelah mendapatkan kekuasan secara legal dari negara? Benarkah usaha kanonisasi Alkitab yang hanya menerima 27 kitab Perjanjian Baru merupakan bukti penindasan yang dilakukan golongan Kristen mayoritas?

Semua pertanyaan di atas ternyata hanyalah dugaan tanpa dasar dari para sarjana liberal. Tidak ada bukti historis apapun yang mendukung dugaan itu. Sebaliknya, ada beberapa bukti kuat yang meruntuhkan dugaan tersebut.
(1) 27 kitab yang diterima dalam kanon semuanya ditulis pada abad ke-1 M dan secara konsisten dan intensif dikutip oleh bapa-bapa gereja awal dan diakui sebagai firman Allah, padahal waktu itu kekristenan masih menjadi minoritas dan terus dianiaya.
(2) Bapa-bapa gereja awal sejak dini sudah memiliki sikap yang jelas terhadap berbagai tulisan yang muncul. Jauh sebelum upaya kanonisasi yang resmi pada abad ke-4 M, mereka sudah memiliki “patokan” kitab-kitab apa saja yang secara tradisi bersumber dari ajaran Yesus dan para rasul. Usaha untuk memilah-milah ini didorong oleh beberapa faktor:
a. Penganiayaan. Waktu itu banyak orang dianiaya karena memiliki kitab-kitab relijius tertentu. Orang Kristen ingin memastikan bahwa apa yang mereka miliki adalah firman Tuhan yang benar, sehingga sekalipun mereka harus menderita karena memiliki kitab-kitab itu, mereka merasa pantas untuk melakukannya.
b. Ajaran sesat. Ajaran sesat selalu menjadi problem bagi gereja sejak awal. Ajaran sesat ini tidak hanya menyebarkan ajaran secara lisan, tetapi secara tertulis juga. Banyaknya kitab yang muncul (dan sekaligus saling berkontradiksi) menuntut orang Kristen untuk mengetahui dengan pasti manakah kitab yang benar-benar firman Allah.
c. Pembacaan kitab suci dalam ibadah. Orang Kristen mengadopsi liturgi ibadah Yahudi yang mencakup pembacaan kitab suci secara publik. Tradisi ini mendorong mereka untuk mengetahui sejak dini kitab-kitab apa saja yang diakui sebagai firman Allah dan bisa dibaca dalam ibadah.
(3) Dalam daftar kitab-kitab yang diakui oleh bapa-bapa gereja awal (sebelum kekristenan menjadi kekuatan mayoritas), tidak ada satu kitab “injil” gnostik apapun yang dimasukkan ke dalamnya. Secara khusus bapa gereja Irenaeus (abad ke-2 M) bahkan mengelompokkan Injil Yudas sebagai tulisan gnostik yang harus ditolak.
Dari semua penjelasan di atas kita dapat menyimpulkan bahwa Injil Yudas bukanlah injil yang hilang. Injil ini adalah injil yang sudah lama diketahui oleh para pemimpin Kristen abad ke-2 M. Kitab ini juga sudah ditolak, jauh sebelum kekristenan menjadi kekuatan mayoritas. Penolakan ini bukan didasarkan pada pertimbangan politik atau keinginan untuk menyeragamkan ajaran Kristen. Penolakan ini merupakan upaya untuk memurnikan kekristenan.